-->

Jumat, 02 Maret 2018

Satu Jalur itu Simbol Pengingkaran Terhadap Demokrasi ,, Di Tentang Kader PDI P ,,

Satu Jalur itu Simbol Pengingkaran Terhadap Demokrasi ,, Di Tentang Kader PDI P ,,

DENPASAR,Balikini.Net - Anggota DPRD Bali dari Fraksi PDIP asal Kuta Selatan Wayan Disel Astawa secara tegas mengeritik cara-cara PDIP di Bali untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan membodohi rakyat. Ia mengakui jika PDIP itu kuat dan tampil sebagai partai pemenang pemilu di Bali. Namun cara PDIP merebut kekuasaan kali ini sangat tidak elegan, tidak edukatif dan cenderung membodohi rakyat. "Kalau PDIP itu kuat tentu saja kuat. Tetapi sekarang setiap tahun daya pikir masyarakat terus berubah, berpendidikan, masyarakat semakin pintar. Sekarang hajatan gubernur di Bali ini bukan memilih partai tetap memilih figur. Merekan memilih seorang pemimpin Bali yang bisa mengayomi rakyat Bali. Bukan seorang pemimpin yang membodohi rakyat Bali dengan memberikan secara instan-instan itu. Instan yang dimaksud adalah gelontoran uang, sumbangan ke banjar dan sebagainya. Sama saja kalau kita mengkonsumsi makanan. Kalau makanan itu diberi pupuk kimia maka akan ada penyakit. Semestinya harus cari yang organik yang menyehatkan tubuh," ujarnya di Denpasar, Jumat (2/3-2018).

Menurutnya, sebagai partai pemenang di Bali, ia berharap PDIP perlu menempatkan antara Pilgub dan Pileg pada tempatnya, pada porsinya. Seharunya PDIP tidak mencampuradukan antara Pilgub dan Pileg. "Harapan saya penempatan antara Pilgub dan Pileg itu berbeda. Dan PDIP tidak bisa membedakan itun," ujarnya. Pilgub itu koalisi banyak partai karena UU mengamanatkan apabila tidak mencapai 20 persen maka partai harus berkoalisi. Sementara kalau Pileg itu rakyat memilih partai politik. Kalau dalam Pilgub harus berkoalisi maka disana adalah rakyatlah yang memilih gubernurnya. Penentu adalah rakyat bukan partai. "Walaupun PDIP menang di Bali namun PDIP tidak bisa mendikte orang untuk satu jalur dalam demokrasi. Itu namanya pengingkaran terhadap demokrasi bila kita mendikte orang untuk satu jalur. Hak memilih dan dipilih tidak boleh dipasung. Biarkan rakyat memilih pemimpinnya sendiri. Rakyat tidak boleh diarahkan. Katanya kita revolusi mental, reformasi. Apakah kita harus kembali melihat kekurangan ke belakang di Orde Lama, Orde Baru, bagaimana kekurangan kita di masa lalu. Tentu saja tidak. Kita harus bergerak ke arah yang lebih baik," ujarnya.

Berangkat dari kondisi itu, Disel menegaskan, jika di Kuta Selatan pihaknya tetap memberikan pencerahan agar masyarakat di Kuta Selatan dan Bali agar tidak mudah terintimidasi, tidak mudah diarahkan, apalagi diiming-imingi dengan sumbangan dan bantuan. Di Kuta Selatan rata-rata masyarakatnya sudah cerdas, pendidikan sudah lebih tinggi. Pendidikan mereka minimal SMA hingga sarjana. Mereka sudah paham. "Ini harus mulai pelan-pelan diarahkan agar masyarakat itu bisa berdaulat di bidang politik. Harus dimulai dari masyarakat kecil. Kalau orang sudah berdaulat secara politik, baru kita bisa berdikari secara ekonomi. Kalau hanya bersumber dari hibah, hibah, hibah dalam pembangunan masyarakat, tentu kita tidak mandiri, hidup terus bergantung pada bantuan hibah, Bansos dan sebagainya," ujarnya.


Kalau hidup hanya tergantung, maka masyarakat yang saat ini menghadapi MEA, masyarakat akan kalah. Berbudaya itu asasnya adalah gotong royong. "Sekarang harus konsep harus pilih A, pilih B, maka demokrasi akan terus kerdil, terus berada di bawah, tidak maju-maju negeri ini. Masyaraktnya terus tergantung," ujarnya.(ks/r4*)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved