-->

Rabu, 27 September 2017

Belajar Welas Asih Dari Fenomena Gunung Agung

Belajar Welas Asih Dari Fenomena Gunung Agung

Balikini.Net - Ketika aktivitas Gunung Agung di Kabupaten Karangasem dinyatakan meningkat, seketika itu juga ketakutan akan datangnya bahaya muncul. Ketakutan akan datangnya berbagai permasalahan juga mengemuka. Permasalahan tersebut mulai dari proses pengungsian, logistik, tempat pengungsian hingga masalah MCK dan keselamatan hewan peliharaan. Berbagai praduga menjadi bumbu, cerita, baik yang melihat dari sisi logika, ilmiah hingga spiritual.

Peningkatan status awas (level IV) pada 22 September 2017 dan diserta perluasan daerah rawan bencana berdampak pada peningkatan jumlah pengungsi. Berdasarkan data Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali hingga Selasa (26/9/2017) pukul 12.00 Wita tercatat jumlah pengungsi ancaman erupsi Gunung Agung mencapai 75.673 jiwa. Jumlah tersebut melebihi perkiraan  jumlah penduduk yang harus dievakuasi yaitu 62.000 jiwa sesuai pernyataan Wakil Bupati Karangasem. Pada 27 September 2017 jumlah pengungsi dilaporkan telah mencapai 82.825 jiwa

Derasnya arus pengungsian menyebabkan desa-desa di kawasan radius bahaya lengang. Hanya terdapat warga yang secara sadar dan sukarela bertahan untuk menjaga harta benda warga lainnya dari oknum-oknum usil. Kesadaran kembali untuk menjaga wilayah desa ditengah ancaman erupsi Gunung Agung. Kesadaran untuk membaktikan diri pada pertiwi kendati nyawa terancam. Kesadaran yang muncul tanpa adanya perintah, imbalan ataupun harapan akan balas jasa.

Kesadaran akan rasa kemanusian dan welas asih juga serta merta muncul di daerah pengungsian. Apalagi lokasi pengungsian tidak hanya ada di wilayah Kabupaten di sekitar kabupaten Karangasem. Lokasi pengungsian juga tersebar hingga Denpasar, Badung dan daerah lainnya. Secara merta merta juga warga masyarakat menawarkan tempat tinggal bagi para pengungsi Gunung Agung. Tentu ini bukan sebuah kebetulan, namun sebuah kesadarann yang muncul dan telah diwarisankan sejak lama bahwa hidup di Bali adalah “menyama braya”. Menyama braya menjadi konsep yang sangat universal karena memiliki makna plural dengan menghargai perbedaan dan menempatkan orang lain sebagai keluarga. Semangat menyama braya mengingatkan bahwa hidup perlu bermasyarakat dan bersosialisasi, sehingga terdapat kesadaran untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain. Kesadaran yang tulus untuk menolong para pengungsi juga seakan menjadi bantahan terhadap ungkapan yang selama ini mengatakan bahwa “nyame sube nyameh” (saudara yang tak lagi bersaudara).

Bantuan yang datang bukan semata sebatas tempat pengungsian. Berbagai bentuk bantuan dari rasa welas asih terkumpul di posko-posko pengungsian. Bantuan berupa beras, pakaian hingga selimut. Bahkan seorang petani organik melalui media sosial mengaku siap untuk memberikan bantuan sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan lauk bagi pengungsi. Semua bantuan yang diberikan kepada pengungsi jelas terlihat tanpa harapan adanya balasan. Semangat welas asih untuk membantu mendadak begitu tinggi dan ibarat sebuah keajaiban.

Dibalik sebuah kejadian tentu ada saja pihak yang memanfaatkan situasi demi keuntungan sesaat. Para pemilik ternak terpaksa menjual ternaknya dengan harga murah karena berpikir tak memiliki tempat aman untuk menaruh ternah. Harga ternak menjadi sangat murah karena prilaku oknum yang lupa rasa kemanusiaan. Namun dibalik semua kejadian tersebut, kembali gelombang welas asih memberikan naungan. Satu-per-satu datang tangan-tangan welas asih yang bersedia memberikan tempat penampungan ternak milik pengungsi. Bukan sebatas memberikan tempat, tangan-tangan welas asih tersebut juga bersedia membantu bekerjasama menyediakan pakan ternak. Apakah ini keajaiban atau rasa welas asih tersebut mulai tumbuh setelah terbenam diantara ego pribadi. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengakui bahwa modal sosial dan gotong royong masyarakat Bali luar biasa besar. Masyarakat secara spontan memberikan bantuan kepada pengungsi. Banyak pihak yang menyediakan rumahnya menjadi tempat pengungsi. Membantu evakuasi sapi dan menyediakan lahan untuk tempat pengungsian sapi. Bantuan permakanan dan dapur umum didirikan serta mendistribusikan ke masyarakat. Konsep "sister village" atau desa kembar langsung dipraktekkan saat ribuan masyarakat mengungsi dimana desa-desa yang aman menerima pengungsi dari desa-desa yang berbahaya.

Sutopo mengakui bahwa masyarakat Bali merupakan masyarakat  yang tangguh menghadapi bencana karena memiliki daya antisipasi. Mengingat.biasanya sulit sekali mengajak masyarakat untuk mengungsi dari gunung api. Bahkan saat gunung sudah Meletus, banyak masyarakat yang tetap tidak bersedia mengungsi. Sekarang masyarakat di sekitar Gunung Agung mengungsi secara mandiri.

Pada bagian lain, viral di media sosial terkait sambutan Bupati Klungkung yang sarat rasa welas asih saat menyapa para pengungsi. Dalam kutipan sambutan yang viral di media sosial tersebut Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengungkapkan semeton (saudara) bukan pengungsi, semeton bukan sengaja untuk meminta bantuan, semeton bukan peminta belas kasihan. Semeton adalah utusan bhatara sesuunan (dewa) untuk menguji rasa menyame braye sebagai karakter asli nyama Bali. Kata-kata Bupati Klungkung tersebut menunjukkan begitu tingginya rasa persaudaraan. Meletakkan rasa persaudaraan yang kuat sebagai sesame mahluk ciptaan tuhan.

Fenomena Gunung Agung seakan menjadi jalan untuk merekatkan rasa persaudaraan dan mengimplementasikan rasa kemanusiaan dalam kehidupan saat ini. Fenomena Gunung Agung seakan mengingatkan kembali bahwa Bali memiliki Konsep Tri Hita Karana. Konsep yang selama ini sering terucap tetapi sangat sudah diimplementasikan. Akhirnya Fenomena Gunung Agung menjadi momentum untuk kembali mengimplementasikan Tri Hita Karena dalam kehidupan keseharian. (mul/r5)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved