-->

Minggu, 02 September 2018

Politik di Indonesia Masih Patriarkhi, Pencalonan Perempuan Bukan Prioritas

Politik di Indonesia Masih Patriarkhi, Pencalonan Perempuan Bukan Prioritas

[ foto voa ]
Studi tentang perempuan dalam pilkada serentak 2015 dan 2017, dibandingkan dengan tahun 2018, yang dilakukan Yayasan Satunama Yogyakarta menunjukkan patriarki dalam politik di Indonesia masih kuat sehingga pencalonan perempuan tidak diprioritaskan.

YOGYAKARTA Balikini.Net - Kristina Viri, peneliti Yayasan Satunama Yogyakarta, dalam diskusi di Yogyakarta Rabu siang (15/8) memaparkan hasil studi komparasi pilkada serentak 2015, 2017 dengan tahun 2018 dalam melihat patriarkhisme politik di Indonesia.

Temuannya menunjukkan, politik di Indonesia masih patriarkhis dan berujung pada tidak diprioritaskannya perempuan dalam pencalonan politik.

“Struktur politik yang patriarkhi berujung dengan tidak diprioritaskannya perempuan dalam kandidasi (pencalonan) politik dan elitisme politik yang mengharuskan perempuan berkompetisi baik dengan aktor laki-laki maupun sesama perempuan dengan modal finansial, politik dan sosial yang kuat. Kandidasi perempuan dalam pilkada serentak 2018 meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2015 dan 2017 namun masih di bawah 10 persen, sehingga kandidasi perempuan di internal partai politik masih harus terus didorong,” papar Kristina.

Temuan lainnya, kandidat perempuan yang maju dalam pilkada serentak 2018 didominasi oleh aktor yang dekat dengan lingkar kekuasaan dan kecenderungannya kini meningkat. Jumlah kandidat perempuan juga naik dari 23 persen pada tahun 2015 menjadi 24 persen pada tahun 2017 dan mencapai 42 persen pada tahun 2018.


“Pada pilkada 2018 terlihat kecenderungan progresif pada posisi yang diperebutkan oleh calon perempuan. Yaitu 52 persen memperebutkan posisi kepala daerah, dan prosentase ini naik jika dibandingkan dengan pilkada serentak sebelumnya. Prosentase calon perempuan yang memiliki perspektif jender atau memiliki program-program yang terkait dengan perempuan pada pilkada serentak 2018 mencapai 40 persen tetapi prosentase caon perempuan yang memiliki kedekatan dengan elit dominan kecenderungannya meningkat,” tambah Kristina.

Rany Widayati, Ketua Kaukus Perempuan Parlemen DPRD DIY menilai minimnya perempuan di politik termasuk anggota legislatif merupakan kegagalan kaderisasi di partai politik. Laki-laki juga masih sulit menerima keterlibatan perempuan. Di DPRD DIY hanya ada 7 perempuan dari total 55 anggota. Partai politik umumnya masih memasang calon perempuan hanya untuk meningkatkan perolehan suara.

“Sebenarnya nomor urut itu tidak signifikan karena sekarang berdasarkan perolehan suara terbanyak tetapi untuk masyarakat yang ada di pelosok desa sana karena masih terbatasnya pengetahuan, masih banyak yang buta huruf maka nomor menjadi penting. Angka, mereka lebih mudah tahu daripada huruf,” ujar Rany.

Rany telah menjadi anggota legislatif 3 periode berturut-turut dan masih dicalonkan untuk periode ke-4 pada pemilu 2019 dan selalu dengan nomor urut 1 karena dinilai dekat dengan konstituen. Menurut Rany, pendidikan politik perempuan mendesak untuk dilakukan segera agar lebih banyak perempuan berkiprah di politik.

“Bagaimana pentingnya partisipasi perempuan di dalam politik, didalam pengambilan kebijakan. Perempuan masih sangat tertinggal di bidang politik sehingga perlu pemahaman-pemahaman khusus bagi perempuan agar kemudian paham politik, terutama politik praktis dan hilangkan kesan bahwa politik itu kotor. Harapan saya pada pemilu 2019 perempuan di legislatif akan naik tetapi masih berat, karena sekarang orang masih pragmatis, orang melihatnya mana yang ada uang itu yang dipilih. Ini akan sangat mengurangi calon perempuan karena perempuan ada keterbatasan dana,” tukas Rany.


Dewi Chandraningrum, aktivis perempuan yang juga mantan pemimpin redaksi Jurnal Perempuan mengatakan, gagalnya kaderisasi internal partai politik juga telah membuat banyak perempuan berkualitas tidak memiliki akses berkiprah di dunia politik.

Menurut Dewi, kesetaraan politik harus diperjuangkan dengan cara mendukung calon perempuan maupun mereka yang berperspektif perempuan.

“Saya bisa katakan tantangannya adalah modalitas, bukan hanya finansial tetapi juga relasi politik. Kalau dia ada dalam dinasti politik maka modalitasnya kuat, ada relasi politik, ada basisnya politik, ada partai gitu. Langkah yang harus ditempuh apa, ya seperti di negara-negara maju, kita lakukan fund-raising (penggalangan dana) jadi mendukung calon itu dan kita menyumbang mereka,” pungkasnya. [sub/voa / ms/em]

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved