-->

Rabu, 12 Juni 2019

Akademisi Pandang Belum Ada Sistem, yang Ada Jenis Upah

Akademisi Pandang Belum Ada Sistem, yang Ada Jenis Upah

DENPASAR,BaliKini.Net - Akademisi Universitas Maha Saraswati yang memiliki spesialisasi ketenagakerjaan memandang  saat ini belum memiliki sistem pengupahan terhadap tenaga kerja, namun yang dimiliki hanya jenis-jenis upah.

Dr. I Wayan Gede Wiriawan, S.H., M.H. mengatakan,  berdasarkan hasil riset dan kajian dalam pandangan akademis, Indonesia belum memiliki sistem pengupahan, yang diterapkan di Indonesia adalah  jenis-jenis upah. Misalnya upah minimum, upah sektor, struktur dan skala upah dan sebagainya.

Berbicara  menyangkut sistem, terkait pengupahan ini menyangkut tiga hal.
 Pertama hal terkait regulasi khusus, yang mengatur tentangvsiatem oenguoahan itu.  Kedua perlu dibuatkan personil-personil, baik sebagai pelaksana atau pengawas. Dan yang ketiga, akan terbentuk kultur budaya.  

"Bahwa ketika berbicara sistem upah, ini lho apa yang diatur sistem  pengupahan. Ini semua diharapkan diatur secara khusus. Siapa yang akan menerapkan  sistem upah minimum, siapa yang diatur menjalankan sistem upah sektoral, dan struktur skala," terang Wiriawan yang juga dilibatkab staf ahli dalam pembentuka Ranperda ketenagakerjaan.

Disebut Wiriawan bahwa nantinya ada upah yang tertinggi disebut upah layak. Dimana upah yang dimaksud adalah upah yang menentukan kewajaran dan keadilan. 

"Namun kenyataan yang terjadi dilapangan,  upah minimum menjadi upah rata-rata bahkan dibeberapa tempat menjadi  maksimum. Banyak perusahaan yang sudah bisa memberi upah yang jauh lebih tinggi, ketika sudah mengikuti upah yang ditetapkan pemerintah tidak menaikkan upah," terangnya.

Perusahaan berpikir ketika dia sudah menjalankan  upah minimun, dia berpikir sudah tidak melanggar aturan, padahal gaji yang diberikan baru sebatas minimum.

Dalam hal ini peran serta  negara harus hadir membuat sistem pengupahan.Sebagai contoh ketika perusahaan yang memiliki pekerja 1000, apakah wajar menerapkan upah minimum bahkan berpuluh- puluh tahun.

Berbicara di Bali, hanya mengikuti regulasi nasional, upah yang ada adalah pengupahan, bukan sistem pengupahan. Kalau berbicara upah secara umum harus ada regulasi dalam sistem pengupahan.

Banyak hal terkait ketenagakerjaan, belum berbicara outsourcing. Menurut kajian akademik, outsourcing di Indonesia bukan menjual jasa melatih seseorang merubah yang belum profesional menjadi profesional dan memiliki keterampilan tertentu. Apa bedanya dengan jual beli manusia.

Banyak hal dalam persoalan ketenagakerjaan yang harus mendapat sentuhan dari pemegang kebijakan. Harapan sebagai akademisi jangan berpikir dogmatika murni, hanya perpanjangan tangan dari regulasi yang masih menimbulakan permasalahan, tentu permasalahan yang muncul sama.

"Dalam pembuatan Ranperda ini kita harus berpikir out the book atau berpikir diluar normatif murni," tandasnya.*/r5

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved