-->

Minggu, 28 Oktober 2018

Apa Itu Tumpek Landep

Jembrana .Balikini.Net - Umat Hindu di Bali, meyakini Tuhan memiliki berbagai manifestasi yang dikenal dengan nama Dewa. Hal inilah diantaranya yang membuat hingga Bali dikenal dengan sebutan Pulau Dewata.

Bali juga disebut Pulau Sorga karena diantaranya memiliki berbagai keindahan, sehingga menjadi destinasi wisata dunia, dimana tempat-tempat indahnya sungguh dijadikan agenda kunjungan dalam perjalanan tour bahkan wisata sepiritual karena yang tak kalah pentingnya Bali memiliki berbagai macam keunikan dalam adat dan budaya.

Umat Hindu di Bali yang mayoritas beragama Hindu, akan melaksakan upacara persembahyangan berdasarkan perhitungan dan berpatokan pada sarana suci yang sering disebut dengan upakara, hari suci, tempat suci dan orang suci.

Adapun diantaranya, adalah dengan menggelar upacara pada hari atau rahinan Tumpek Landep.

Jro Mangku Suardana, salah seorang Pemangku Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Sabtu (27/10) mengatakan bahwa kata Tumpek sendiri berasal dari "Metu" yang artinya bertemu, dan "Mpek" yang artinya akhir, jadi Tumpek merupakan hari pertemuan wewaran Panca Wara dan Sapta Wara, dimana Panca Wara diakhiri oleh Kliwon dan Sapta Wara diakhiri oleh Saniscara (hari Sabtu). Sedangkan Landep sendiri berarti tajam atau runcing, maka dari ini diupacarai juga beberapa pusaka yang memiliki sifat tajam seperti keris. Dimana Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep.

Jadi dalam konteks filosofi, Tumpek Landep ini merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian, umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai–nilai agama dan dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah serta memilih mana yang baik juga mana yang tidak baik.

Pada hari Tumpek Landep ini akan dilakukan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa Pasupati. Dimana setelah mempertingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunya ilmu pengetahuan, tentunya setelah itu umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau mendapatkan ketajaman pikiran dan hati.

"Saat hari Tumpek Landep ini dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan Keris. Namun, seiring perkembangan zaman, makna Tumpek Landep ini menjadi semakin bias dan kian menyimpang dari makna sesungguhnya. Dimana saat ini, masyarakat justru memaknai Tumpek Landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang. Sah-sah saja pada rainan Tumpek Landep ini melakukan upacara terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep ini sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri". jelasnya.

Menurutnya, jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada hari atau rahinan Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan. Tumpek landep adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Inilah mengapa saat rainan Tumpek Landep ini dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur. Disamping itu, umat hendaknya melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, guna memohon anugraha dari Dwa Siwa sebagai Ida Sang Hyang Pasupati agar berkenan memberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi keluarga dan juga masyarakat.

Bagi para seniman, Tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon Taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari masyarakat serta mampu menyampaikan pesan-pesan moral guna mendidik dan mencerdaskan umat.

"Maka sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja. Jangan sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambahan namun melupakan inti pokok dari rerainan tersebut", tegasnya. 

Sabtu, 22 September 2018

Jangan Gengsi Cintai Joged

Bali kini - “Joged itu bukan sekadar tari pergaulan yang hanya diakui Bali bahkan UNESCO mengakui, generasi muda jangan menjauhi joged karena itu milik kita,” tutur Eva Anggreni selaku pembimbing garapan bertajuk Eling dari SMP PGRI 3 Denpasar.

Kalangan Madya Mandala Taman Budaya, Denpasar pada Jumat, 21 September 2018 kembali disemarakkan oleh garapan dari SMP PGRI 3 Denpasar dan SMP PGRI 2 Denpasar. Permasalahan dalam Tari Joged Bumbung tak hanya sebatas pada berkembangnya aliran joged tak wajar yang dikenal oleh masyarakat sebagai joged jaruh atau joged porno. Namun, kesadaran masyarakat untuk memerangi joged jaruh juga perlu menjadi sorot perhatian. “Joged jaruh yang mencemari joged bumbung jangan dijadikan alasan bahwa semua tari joged itu porno,” jelas Eva Anggreni. Sebagai seorang guru seni budaya, Eva paham betul bahwa Tari Joged sejatinya adalah tari pergaulan yang amat fleksibel dan klasik, sehingga pemahaman masyarakat akan joged bumbung dengan pakem-pakem yang asli perlu diingatkan, khususnya generasi muda yang akan meneruskan kelestarian budaya Bali. 
Melalui garapan teatrikal bertajuk Eling, SMP PGRI 3 Denpasar berusaha mengingatkan bahwa joged sebagai tari peragulan memiliki pakem-pakem tradisi khas yang patut dijaga. “Kebanyakan orang tua merasa resah kalau anaknya nonton joged, keresahan itu justru membuat anak muda semakin enggan untuk menonton joged,” keluh Eva. Melihat permasalahan itu, sebagai pembimbing Eva pun berusaha memberi pemahaman kepada siswa-siswinya bahwa kesenian joged bukanlah untuk dijauhi, melainkan kini kesenian joged tengah merindukan sosok pelestari. SMP PGRI 3 Denpasar yang dipimpin oleh I Made Suada ini pun tak hanya mempersembahkan garapan teatrikal, tari penyambutan khas SMP PGRI 3 Denpasar ‘Tari Aswelalita’ pun menjadi pembuka yang manis dan ramah. Garapan ini pun setidaknya melibatkan 70 orang siswa-siswi dari 7 (tujuh) ekstrakurikuler.
Mengangkat tema senada, SMP PGRI 2 Denpasar pun turut mengimbau bahwa keberadaan joged klasik perlu dilestarikan. “Bagaimana mengantisipasi joged porno, melawan joged porno dengan joged klasik itulah yang ingin kami sampaikan,” jelas Made Yudana selaku guru pengawas garapan SMP PGRI 2 Denpasar. Sekolah yang dipimpin oleh I Gede Wenten Aryasuda ini hanya menyiapkan 45 orang siswa dalam gelar Bali Mandara Nawanatya III dengan waktu persiapan hanya sebulan. Namun, Yudana pun mengungkapkan sumbangsih dana dari pemerintah untuk sekolah-sekolah perlu ditingkatkan guna menunjang garapan berkesenian para seniman muda.
Menepis joged jaruh kembali pada masyarakat Bali sendiri. Masyarakat Bali mutlak bertanya pada diri sendiri, “Sudahkah saya tidak gengsi mencintai joged?” Jawabannya patut dibuktikan dengan aksi bukan hanya sekadar ambisi agar Joged Bumbung klasik dengan pakem tradisi bukanlah hanya sekadar ilusi.
Bekal Untuk Melangkah
Keberadaan Bali Mandara Nawanatya III sebagai sarana berekspresi seniman muda dari berbagai sekolah di Bali pun turut dirasakan oleh Putu Lasmini, Kepala Sekolah TK Kartika VII-14. “Melangkah ke jenjang yang selanjutnya pasti memerlukan ketrampilan seni dan dari Nawanatya ini tak hanya anak TK semua kalangan pelajar se-Bali pun mendapatkan bekal untuk melangkah,” jelas Lasmini. Pementasan anak TK pada Bali Mandara Nawanatya III pada Jumat, 21 September 2018 berlangsung di Kalangan Angsoka Taman Budaya, Denpasar. TK Kartika VII-14 mempersembahkan 4 (empat) garapan diantaranya Tari Pendet, Tari Baris, Tari Gopala, dan Mapelalian Balapan Bakiak. Tak hanya TK Kartika VII-14, TK Lebah Sari yang dipimpin A.A Raka Sudani pun turut menuturkan hal senada, “Ini adalah sarana anak-anak mengenal budaya dan mengenal diri mereka dan teman-temannya,” jelas Sudani. Sebagai penampil kedua, TK Lebah Sari mempersembahkan 4 (empat) garapan yakni Dolanan Bebek Putih Jambul, Tari Puspanjali, Tari Jaranan, dan Tari Janger. Keduanya pun mengharapkan agar Nawanatya sebagai wadah berkesenian para pelajar se-Bali terus berlangsung dan dilanjutkan meski dengan nama atau waktu yang berbeda.

Selasa, 27 Maret 2018

Makna Tumpek Landep


Tumpek Landep  :  Tonggak Penajaman Pikiran untuk kesidhian
Oleh : I K. Satria
Bali Kini - Mesti kita pahami, bahwa hari suci bukan saja sebagaui hari dimana kita diwajibkan untuk melakukan pemujaan, namun juka diberikan keleluasaan untuk memberikan makna terhadap hari suci itu secara luas. Memaknai tumpek sebagai hari suci bukan karena kebetulan, bukan juga karena adanya warisan pemahaman dan tradisi, tetapi hari itu adalah hari yang ‘tenget’ dimana mewajibkan manusia untuk mensucikan. Mensucikan bhuwana agung yang disimbulkan dengan ritual, dan mensucikan bhuwana alit dengan melakukan ritual dalam diri melalui pikir, kata dan laku sehari-hari. Keluasan makna hari suci khususnya tumpek landep sampi melenceng jika kita lihat kini. Hari dimana kita diharapkan menajamkan kekuatan fikiran berubah menjadi hari dimana kekayaan dipamerkan berbalut ritual syukur, hari dimana benda tajam dimuliakan untuk memohon pasupati berubah menjadi hari yang megharuskan memiliki benda gaib baru untuk dimohonkan tuah. Benarkah Tumpek Landep adalah hari mengupacarai mobil, motor, perabotan rumah tangga, dan benda tajam lainnya?

Sebelumnya kita baca ayat suci dalam Lontar Sundarigama berikut sebagai bahan pijakan : “kunang ring wara landep, saniscara kliwon, pujawalin Bhatara Siwa, mwah yoganira Sang Hyang Pasupati, pujawalinira Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adanan, iwak sata putih, sarupane wenang, gerang, terasi bang, sedah woh aturakna ring sanggar. Yoganira Sang Hyang Pasupati, sesayut pasupati, sesayut jayeng perang, sesayut kusuma yudha, suci , daksina, peras ajuman, canang wangi, tadah pawitra , reresik astawakna ring sarwa dewa lalandep ing aperang, kalinggania ikang wang, apasupati landeping idep, samangkana lekasakna sarwa mantra wisesa, dhanur dara, uncarakna ring bhusana ning paperangan kunang, minta kasidhian ring sang hyang pasupati.
Arti bebasnya : Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah : Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam putih, dan boleh juga sebulu (berbagai warna), Gerang, terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.

Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan. Demikian juga menurut ajaran dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati, ilmu tentang persenjataan, juga dalam bhusana untuk dimohonkan kesidhian kepada Sang Hyang Pasupati. 

Berdasarkan wejangan suci diatas bisa kita pahami bahwa pada saat tumpek landep adalah hari dimana ada dua hal yang mestinya dilakukan yaitu Pujawali Bhatara Siwa, dan beryoganya Sang Hyang Pasupati. Memang ini dibedakan sebagai bentuk kewenangan beliau di alam semesta ini. Dipujanya Bhatara Siwa sebagai bentuk penganugerah kasih dan kekuatan kepada manusia, rasa syukur kita lakukan dengan melakukan pemujaan di Sanggar atau Merajan masing-masing. Hal ini yang perlu kita pahami, bahwa selama ini yang melakukan pemujaan di hadapan mobil, motor, dan benda mewah lainnya adalah keliru sebab dalam teks suci ini kita sudah diharapkan melakukan pemujaan di Sanggah, bukan tempat lainnya yang mampu mengurangi makna baik dalam hari suci tumpek landep.

Selanjutnya adalah bahwa pada hari ini adalah hari dimana Ida Sang Hyang Pasupati melakukan yoga semesta, sehingga umat diharapkan untuk melakukan pemujaan dengan mempersembahkan sesuatu yang intinya memohon ‘pasupati’ terhadap diri manusia utamanya pada pemikirannya. Pikiran adalah kunci dari pelaksanaan hari Suci Tumpek landep ini. Bisa kita pahami bahwa pada saat wuku sebelumnya adalah wuku watugunung dimana ilmu pengetahuan kita mohonkan dan selanjutnya kita memohonkan kekuatan terhadap ‘sarana’nya berupa pikiran kehadapan guru (pagerwesi, hari guru menurut hindu). Setelah memperoleh anugerah gurulah kita memperoleh ketajaman dalam hal berfikir, maka disini guru kemudian disebut dengan Gunathita yang artinya orang yang telah mampu mengatasi Tri Guna dalam dirinya. Selanjutnya adalah Rupawarjitha yang artinya orang yang telah memahami ketuhanan yang tak berwujud atau sudah mampu memperoleh penerangan. Setelah memperoleh anugerah dari gurulah kita akan memperoleh ketajaman pikiran yang kemudian kita peringat pada saat Tumpek Landep.

Apa sebenarnya maksud dari ketajaman kemudian untuk memperoleh kesidhian? Ini adalah untuk menjawab bahwa pada saat Tumpek landep adalah keliru kita melakukan pemujaan terhadap benda-benda mewah penyerta kehidupoan berupa mobil, mtor, sepeda, isi perabotan dapur, sebab itu adalah bagian dari kesejahteraan yang akan lebih tepat dilakukan pada saat Hari Suci Tumpek Kuningan. Landeping idep itulah sesungguhnya yang ditekankan pada saat Hari Suci yang jatuh pada Saniscara Kliwon wuku landep ini. Tajamnya pemikiran bisa kita lihat dengan tajamnya kecerdasan atau utamanya pemikiran untuk melakukan segala sesuatu yang utama. Cerdas memandang sebuah persoalan dengan penuh pertimbangan baik dan buruk serta sadar untuk melakukan kebaikan itu sebagai laku hidup buka laku yang ada pada angan-angan, sebab dewasa ini banyak orang pintar tetapi tidak cerdas, tidak tajam untuk mengurai permasalahan dengan budaya laku yang baik. Artinya banyak yang pintar yaitu tahu akan kebenaran tetapi menyimpang pada tataran perilakunya. 
Ketajaman pemikiran inilah yang akan mampu menjadikan manusia pada posisi yang jelas seutuhnya. Manusia yang mengetahui sekaligus menjalankan apa yang ia ketahui, mampu menggunakan ketajaman fikiran untuk usaha yang bertujuan untuk mempermudah hidup. Inilah yang menghasilkan ciptaan teknologi untuk kemudahan. Segala apa yang ada ini adalah karena tajamnya fikiran memandang sesuatu. Kita tahu bunga memang indah, tetapi jika tidak manusia yang memelihara dan ‘membaikan’ bunga maka bukan keindahan yang diperoleh tetapi justru sebaliknya. Kita tahu mobil adalah hasil dari pemikiran tajam, pesawat, dan benda lainnya, namun jika salah menggunakan maka juga akan mendapatkan masalah dengan hal tersebut. 
Jika kita lihat pelaksanaannya, maka pada hari ini seluruh umat hindu memuliakan dirinya dengan menyembah kepada Hyang Pasupati di sanggah kemulan, natab sesayut jayengperang, kusuma yuda dan sesayut pasupati. Artinya pada saat ini kita memohon agar selalu jaya dalam melakukan peperangan hidup melawan segala macam musuh yaitu kama, loba, krodha, moha, mada, matsarya. Hal lain agar mampu menginjak dan mengalahkan segala macam klesa.  Antara lain awidya yaitu ketidakmampuan memahami diri sendiri dan alam semesta, asmita, yang artinya ego yang tak terkendali. Raga yang artinya selalu menganggap sumber kebahagiaan ada di luar diri, selanjutnya adalah dwesa yang menganggap sumber duka ada di luar diri, abhiniwesa yaitu takut akan ketiadaan jika panca klesa dan sad ripu ini bisa dikalahkan dan dikuasa maka akan menghasilkan manusia yang penuh pencerahan mengingat tumpek landep bersamaan dengan Purnama kedasa. 

Selanjutnya adalah natap sesayut kusuma yudha adalah agar manusia diberikan kekuatan dan kebijaksanaan agar bisa bersaing dan terhindar dari perilaku menyimpang seperti korupsi, dan lain-lain. Nilai kebijaksanaan itulah yang memberikan pencerahan dan kekuatan pada seseorang sehingga penuh wibawa karena kebijaksanaannya. Selanjutnya adalah natap pasupati, yaitu setelah mampu menang dari segala musuh dan klesa serta mampu memperolehkewibawaan akibat dari kebijaksanaan maka perlu di pasupati agar ketiga hal ini terasah, terperbaharui dengan baik dan ujungnya akan memperoleh kesidian. Bisa dipahami pula bahwa ketiga sesayut ini juga memberikan penajaman terhadap ketajaman pikiran (pasupati), ketajaman kata sebagai bagian dari kebijaksanaan akibat kemenangan dalam berbagai klesa dan musuh  (kusuma yudha), dan ketajaman dalam perilaku agar cerdas mengenal kebaikan dan melakukannya (jayeng perang). Bukankah dengan tajamnya ketiga hal itu akan membuat manusia hebat? Selamat merayakan hari suci tumpek landep plus purnama kedasa.



Kamis, 22 Maret 2018

Cetik Racun Gaib dari bahan Alam

REPORTER BALI KINI  : Nyoman Suamba 

BALI KINI  - Hingga kini cetik masih menjadi momok. Di setiap kesempatan, orang-orang dengki dan sakit hati hendak melampiaskan keinginannya. Ibarat ungkapan “Lempar batu sembunyi tangan,” orang-orang yang membubuhi cetik dapat dengan leluasa “cuci tangan” dari kejadian itu. Ia dapat dengan leluasa melampiaskan keinginannya tanpa harus diketahui orang lain. Kalaupun nanti jatuh korban, yang kena adalah pihak penyelenggara pesta atau yang punya hajatan. Sebab seseorang kena cetik setelah makan hidangan yang disajikan saat pesta. Lebih celaka lagi kalau reaksi cetik itu instan. Artinya, setelah dimakan, cetik langsung meledak dan membunuh. Kalau hal ini terjadi, sudah barang tentu pihak penyedia makanan yang dituduh. Lain halnya kalau cetik itu lebih halus. Ia bereaksi setelah beberapa tahun kemudian. Tentu hal ini masih dapat ditelusuri melalui orang pintar.
Cetik ditransfer lewat media makanan. Cara itulah yang paling jitu dipakai agar dapat masuk ke dalam tubuh karena cetik adalah racun. Bagaimana meracun orang kalau racun tidak dimakan? 
Selain lewat pesta, penyaluran cetik kadangkala juga lewat makanan di warung-warung makan. Karena itu, hati-hatilah makan dan berbelanja di warung-warung penganan. Sebab bisa jadi Anda menjadi kelinci percobaan untuk menguji kedahsyatan cetik.
Kejadian ini pernah dialami Ketut Rempuh, warga Jalan Jayagiri, Denpasar. Ceritanya berawal ketika ia merantau ke Pulau Serangan untuk berguru pada salah seorang tokoh kebatinan. Karena lama tinggal di desa tersebut, tentu ia sudah tak asing lagi bagi warga sekitarnya. Warga tahu bahwa Ketut Rempuh adalah murid salah seorang tokoh kebatinan warga setempat. Di antara warga tersebut, tentu tidak semuanya menaruh simpati kepadanya. Ada yang suka, tetapi ada juga yang benci. Karena tahu dia belajar ilmu kebatinan, tentu ada di antara warga setempat yang hendak mencoba, sampai di mana kemampuan murid tokoh kebatinan yang tersohor di desanya.
Suatu ketika, menurut penuturan Ketut Rempuh, ia hendak berbelanja di warung. Melihat lezatnya jajan Bali di pagi hari, ia bermaksud minum kopi ditemani jajan di warung. Tidak ada perasaan was-was, karena penampilan pedagangnya tidak mencurigakan. Selain yang berjualan masih muda, dagangannya juga terlihat bersih. Sayangnya, saat menyuguhkan kopi dan jajan, si pedagang menunduk, seolah takut memperlihatkan wajahnya.
Ketika kopi dan jajan disuguhkan, mendadak seekor lalat besar hinggap di jajan yang dihidangkan untuk Ketut Rempuh. Ia mencoba mengusir lalat tersebut, tetapi setelah diusir lalat tersebut kembali hinggap di jajan.
Kejadian itu membuat perasaan Ketut Rempuh tidak enak. Ia merasa was-was, sebab di desa tersebut rawan terhadap hal-hal magis. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,  ia menyisihkan sedikit jajannya untuk seekor anjing yang kebetulan lewat di hadapannya. Diberi suguhan jajan, anjing kampung yang memang kerap kelaparan langsung menyantapnya. Entah bagaimana, setelah memakan jajan, anjing itu langsung pontang-panting seperti menahan sakit perut. Dari mulutnya keluar busa, dan anjing itu langsung mati.
Si pedagang jajan langsung  tertunduk tanpa sepatah kata pun, kendati Ketut Rempuh berkali-kali menanyakan, kenapa anjing itu mati setelah makan jajan. Dongkol bercampur takut, buru-buru Ketut Rempuh membayar kopi dan jajan yang belum sempat dinikmatinya, tetapi si pedagang enggan menerimanya. Ketut Rempuh langsung pergi dan tidak berani lagi membeli makanan di pedagang jajan itu.
Wartawan Bali Kini  (BK) juga punya pengalaman unik soal racun gaib ini. Ketika upacara ngaben di rumah tetangga, BK menyempatkan diri untuk hadir. Selain untuk mengucapkan belasungkawa  yang mendalam karena almarhum mati mendadak, juga untuk membantu pelaksanaan ritual. 
Saat rangkaian upacara dilangsungkan di rumah, menjelang jenasah dibawa ke kuburan untuk kremasi, seluruh kerabat dekat almarhum, para undangan termasuk BK disuguhkan makan siang dengan cara prasmanan. Saking banyaknya, para undangan harus sabar menunggu giliran mengambil makanan. Ketika giliran sampai pada BK, tanpa rasa curiga BK mengambil nasi berikut lauk untuk kemudian menuju tempat duduk semula.
Baru saja BK hendak menyantap makanan di piring dengan sendok makan, terlihat sebuah benda aneh bergerak-gerak bercampur dengan nasi yang masih panas. BK urung memasukkan makanan ke mulut, tetapi memilah-milah nasi untuk melihat benda apa gerangan yang bercampur dengan nasi itu. Ketika dilihat lebih seksama, ternyata benda itu adalah ulat putih. Bentuk dan ukurannya hampir sama dengan beras. Semula BK mengira ulat itu jatuh dari pohon karena tempat duduk persis berada di bawah pohon. Ketika BK mengorek-ngorek nasi dalam piring dengan sendok, ternyata jumlahnya makin banyak. BK mengira  daging dan sayurnya yang basi sampai berulat. Karena kurang paham, BK memperlihatkan kepada rekan lain yang tengah lahap menyantap makanan. Saat diperlihatkan nasi berisi ulat, muka rekan yang ada di samping BK langsung merah padam. Kemudian rekan di samping ini membisiki kawan yang lain. Serentak orang-orang yang duduk di deretan bangku BK  mengamati nasinya. Lalu tanpa komando, semuanya menaruh makanan yang sudah telanjur disantap dan beranjak dari tempat duduk. Mereka juga mengisyaratkan agar BK mengikutinya. Setelah di luar barulah salah seorang rekan tadi memberitahu, bahwa ulat di nasi itu adalah cetik. Entah untuk siapa cetik itu dialamatkan, yang jelas BK luput dari racun maut itu.
Rekan lainnya menduga, mungkin racun itu untuk mengacaukan suasana agar yang punya gawe terlihat jelek di mata masyarakat. Namun belakangan barulah BK tahu, kalau pihak keluarga yang punya hajatan ada selisih pendapat.

Rawan
Pesta makan dalam sebuah hajatan memang kerap dijadikan ajang untuk menebar cetik. Selain lebih gampang karena umumnya cetik diantar lewat perantara makanan, pelakunya juga akan sulit ditebak. Pasalnya, ketika orang terkena cetik, orang awam akan langsung menuding yang punya gawe sebagai pelakunya. Padahal, kesempatan itu hanyalah digunakan sebagai mediator.
Dan bukan rahasia lagi, kalau setiap kali ada jamuan makan, pikiran orang Bali akan tertuju pada cetik. Perasaan waswas dan antisipasi untuk menjaga segala kemungkinan, pasti dilakukan. Setidaknya, sebelum makan mereka berdoa dulu. Atau menyisihkan sedikit makanannya untuk persembahan agar nasi itu terbebas dari cetik. Kalau ia belajar kebatinan dan punya bekal ilmu, sebelum makan pasti didahului dengan pembacaan mantra-mantra magis. Sedangkan yang lebih praktis, mereka memakai cincin sebagai penolak cetik atau racun seperti cincin batu giok dan taring gajah.
Cara paling sederhana untuk mengetahui makanan berisi cetik, menurut keyakinan  masyarakat Bali, jika berupa minuman harus dilihat apakah minuman itu dapat memantulkan bayangan. Kalau terlihat, berarti terbebas dari cetik. Kalau minuman itu tidak memantulkan bayangan, berarti ada cetiknya. 

[ FOTO / BENDA GAIB ]


Cetik Basang Be dan Sungut Api
Terbuat dari Racun Ikan Laut

Beberapa jenis ikan laut merupakan sarana ampuh untuk membuat Cetik Basang Be dan Sungut Api karena ikan tersebut sudah mengandung racun secara alami. 

Ada seratus delapan cetik dikenal di Bali, tetapi antara yang satu dengan lainnya berbeda baik karakter, bahan maupun daya kerjanya untuk menghancurkan. Salah satu cetik yang terkenal sangat ampuh adalah Cetik Basang Be.
Cetik ini dibuat dari jeroan ikan laut yang mengandung racun, di antaranya ikan Nyempuh dan Buntek. Jeroan ikan ini ditaruh di dalam botol dicampur dengan nasi yang sudah basi. Kemudian ditanam selama satu bulan tujuh hari (empat puluh dua hari). Jeoran ikan dan nasi basi ini akan mengalami fermentasi untuk menghasilkan cairan yang mengandung racun secara alami. Bahan cetik ini dicampur lagi dengan lateng (jelatang) laut lalu ditanam selama 21 hari. Setelah itu barulah cetik siap digunakan.
Racun ini akan makin ampuh jika disertai dengan mantra-mantra penestian (bagian dari ilmu hitam) dan sesaji sebagai pengurip (pemberkatan). Jika racun ini sampai masuk ke dalam tubuh seseorang, kekuatan mantra ini akan bekerja mengacaukan pikiran sehingga penyakitnya sulit untuk disembuhkan.
Cetik ini biasanya ditaruh di kopi, teh atau minuman lainnya. Namun jaman dulu, racun ini ditaruh di pantat gelas karena orang minum kopi panas biasanya menggunakan lepekan (alas berupa piring). Racun yang ditaruh di pantat gelas akan menempel di piring. Ketika kopi dituangkan ke piring, racun itu akan larut dan diminum.   

Rendaman Beras
Cetik Basang Be memang terkenal sebagai racun yang mematikan. Jika terkena serangannya, dalam waktu 24 jam bisa membuat tubuh gemetar, mual hingga muntah darah karena racun ini akan mengganggu fungsi ginjal, hati, dan jantung. Jika ginjal terkena serangan, akan membuat mual dan memuntahkan cairan berwarna hijau kebiruan. Sedangkan jika racun menyerang hati, akan mengalami muntah darah berwarna kehitaman. Bila sampai masuk ke jantung, akan membuat gelisah, terkejut dan mati mendadak dengan tubuh berwarna kebiruan.
Tanda-tanda orang terkena serangan Cetik Basang Be, biasanya hidung terasa tersumbat, tidak bisa mencium bau dan mati rasa. Setelah beberapa menit, tubuh sempoyongan dan pandangan mata kabur atau berbayang. Mulut bau seperti ikan laut yang sudah lama.
Jika pertanda itu terlihat, cara penanggulangannya adalah dengan memberi minum minyak cukli dan ratusan wisia dicampur dengan air kelapa gading.  Bila tidak memiliki ramuan minyak ini, cara sederhana penanggulangannya adalah dengan meminum tujuh gelas air rendaman beras. Jika racun ini keluar, bisasanya ditandai dengan diare bercampur darah hitam.


Cetik Sungut Api
Cetik bukanlah racun biasa tetapi racun yang sudah dilamari dengan kekuatan gaib. Jadi efeknya tidak hanya sebatas keracunan tetapi juga serangan gaib di bagian tubuh tertentu. Oleh karena merupakan racun gaib, cetik bisa dikendalikan seperti Cetik Sungut Api.
Disebut Cetik Sungut Api, karena cetik ini memberi efek panas seperti patil api.
Cetik yang terbuat dari racun ikan ini dioperasikan dengan mantra ketika masuk lewat makanan dan minuman.
Ada dua jenis ikan yang digunakan untuk meramu cetik ini, yaitu ikan lele yang hidup di air tawar dan ikan Nyempuh Barong yang hidup di laut. Percampuran kedua bahan racun ini melambangkan penyatuan antara daratan dan lautan yang diyakini memiliki kekuatan gaib mematikan. Yang terpenting dari pembuatan cetik ini agar memiliki kekuatan gaib adalah memilih hari baik yaitu pada saat hari Kajeng Kliwon. 
Kedua material cetik ini dimasukkan ke dalam botol, dicampur dengan jamur yang tumbuh di parutan kelapa lalu ditanam di tungku dapur selama satu setengah bulan untuk menyerap energi api. 
Setelah tenggang waktu tersebut, cetik diangkat dan dialasi dengan cawan lalu ditutup dengan daun pisang agar kekuatan gaibnya tidak hilang.
Reaksi cetik ini sangat cepat. Ketika masuk ke dalam tubuh lewat makanan atau minuman, akan membuat kepala menjadi pusing, perut mulas dan tubuh menggigil seperti demam. Gejala ini terjadi setiap hari terutama pada pagi hari, hingga keluar mimisan. Jika tidak segera diobati, dalam batas waktu satu bulan, cetik ini akan merusak organ tubuh dan menyebabkan kematian. 
Kekuatan gaib yang menyertai cetik ini akan membuat orang yang terkena serangannya tidak bisa tidur nyenyak karena tiap malam dihantui mimpi-mimpi buruk seperti dicari makhluk-makhluk berwajah mengerikan.
Orang yang terkena cetik ini biasanya diobati dengan kuwud (degan) semambuh alias air kelapa muda sebanyak dua butir. Setelah itu dibuatkan air perasan batang pisang yang diminum secara rutin tiap hari sampai gejala-gejala sakit itu reda dan racun ikan tersebut hilang. [r5/sm]

Selasa, 20 Maret 2018

Ratusan Ogoh -ogoh Meriyahkan Nyepi Di Papua

Papua , Balikini.Net - Rangkaian pelaksanaan hari raya Nyepi di Papua berjalan lancar dan meriah. -Ratusan umat Hindu dari berbagai lapisan bersama sama melaksanakan kegiatan Catur Brata Penyepian. Sebagaimana pelaksanaan upacara Mecaru atau pembersihan di Taman Imbi Kota Jayapura, Jumat (16/3) yang kemudian dilanjutkan dengan pelepasan pawai Ogoh-ogoh oleh Wakil Walikota Jayapura, Rustam.

Menurut salah seorang tokoh Hindu setempat I Nyoman Cantiasa umat Hindu di Jayapura ada sekitar 500 orang baik TNI, Polri dan masyarakat sipil. "Dalam pelaksanaan Nyepi tahun ini kita membuat lima Ogoh-ogoh, 4 berukuran besar dan 1kecil," jelas mantan Danrem 163 Wirasatya yang kini menjabat Kasdam XVII/Cendrawasih ini. Masyarakat Papua menurutnya sangat antusias dan menikmati tontonan pawai ogoh-ogoh ini. "Ini pertunjukan yang baru pertama di tanah Papua. Selama ini mereka melihat hanya melalui media. Kini bisa melihat Ogoh-ogoh di Bali tanpa harus ke Bali," ujarnya. 

Ditambahkan Brigjen Cantiasa untuk pembuatan ogoh-ogoh di Papua didesain sedemikian rupa sehingga sangat menarik. "Untuk para personel yang mengangkat ogoh-ogoh menggunakan pakaian adat Bali kombinasi Papua sehingga ada kolaborasi dan nilai persatuan sebagai anak bangsa," tambah Brigjen Cantiasa. (tim/r4)

Senin, 05 Maret 2018

Makna Dibalik Hari Raya Saraswati Bersamaan Dengan Nyepi

Jembrana,Balikini.Net  - Bali yang dikenal sebagai Pulau Dewata memiliki banyak sekali aturan-aturan baik dalam menjalankan tradisi ataupun budaya. Inilah yang membuat Bali menjadi unik bahkan hingga terkenal di Manca Negara karena dihadapkan hal ini, umat tetap santun dalam pelaksanaannya. Salah satunya, Bali mengenal banyak hari raya yang dikenal dengan istilah rahinan, diantaranya ada hari raya Galungan dan Kuningan, hari raya Pagerwesi, hari raya Saraswati, hari raya Siwaratri dan seterusnya.

Dalam pelaksanaan hari raya layaknya yang juga dilakukan oleh umat lain, pada intinya semua akan melaksanakan hari raya ini dengan nuasa keramaian. Hingga menjadi hal berbeda khususnya dengan pelaksanaan hari raya Nyepi.

Mengapa demikian, karena hari raya Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi ini sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Namun, dalam pelaksanaan Nyepi ini tidak seperti perayaan tahun baru Masehi. Dimana, tahun baru Caka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa, karena umat harus melaksanakan Catur Bratha Penyepian, diantaranya amati gni (tidak menyalakan api atau amarah), amati lelungan (tidak bepergian), amati lelanguan (tidak melalukan pesta atau kemeriahan = berupasa) dan amati karya (tidak bekerja). Hingga semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, bahkan seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, mungkin terkecuali untuk Rumah Sakit.

Lalu bagaimana jika kebetulan pelaksanaan hari raya yang umumnya dilakukan dengan kemeriahan seperti di atas apabila berbenturan dengan pelaksanaan hari raya Nyepi.

Hal inilah yang terkadang membuat kebingungan bagi sebagian umat Hindu di Bali.

Jro Mangku Suardana yang akrab dipanggil Jro Mangku Suar, Sabtu (2/12) di sela-sela aktifitasnya memimpin persembahyangan umat sebagai salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi menjelaskan, terjadinya benturan atau pelaksanaan hari raya seperti hari raya dijelaskan di atas jatuhnya bisa bersamaan dengan pelaksanaan Nyepi, ini adalah karena penetapan hari raya bagi umat Hindu di Bali didasarkan atas beberapa perhitungan yang mengacu pada Wariga. Yakni, ada perhitungan jatuhnya hari raya yang menggunakan wewaran (harian), juga ada yang menggunakan pawukon atau wuku (mingguan), ada yang hitungan atas pananggal/pangelong (lima belas harian) dan juga ada yang menggunakan perhitungan sasih (bulan) bahkan ada hitungan yang menggunakan dawuh (waktu/jam).

Menurutnya, umat tidak harus bingung ketika menghadapi atau melaksanakan hari raya seperti dijelaskan di atas jika jatuhnya bersamaan dengan hari raya Nyepi. Seperti misalnya, hari raya Saraswati yang nantinya jatuh pada hari Sabtu tanggal 17 Maret 2018 kebetulan bersamaan dengan pelaksanaan hari raya Nyepi. "Ini kan tinggal diaksioma, yang biasa disebut dengan Alahing Sasih yakni Wewaran alah dening Wuku, Wuku alah dening Pananggal/Panglong, Pananggal/Panglong alah dening Sasih, Sasih alah dening Dauh, Dauh alah dening Sang Hyang Triodasa Saksi. Sekarang tinggal realisasi, bahwa hari raya Saraswati jatuh berdasarkan Wuku sementara Nyepi berdasarkan Sasih, jelas hari raya Saraswati tidak harus dirayakan karena pada prinsipnya dalam Wariga perhitungan Wuku alah dening Sasih dan ini berlaku untuk semua rerahinan yang berbenturan, jelasnya gunakan aksioma Alahing Sasih ini. Hingga rasanya tidak dipandang perlu harus berisi parum (rapat) begini begitu lagi, apalagi sampai menggelar pesamuhan karena apanya yang harus diruwetkan lagi sebab uger-uger (peraturan) itu sudah dibuat serta oleh para lelangit (leluhur) Bali", jelasnya.

Ditambahkannya, uger-uger (peraturan) ini sudah berjalan sejak ratusan tahun silam. Disini para lelangit (leluhur) kita tidak pernah ruwet menjalankan hal ini, sebab sebelum berucap dan bertindak pastinya beliau-beliau sudah berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil sikap atau keputusan agar para generasinya tetap bisa dengan solid melaksanakan apa yang telah dipakemkan. "Hingga terkait rerahinan, beliau juga sudah membuat penentuan padewasan seperti apa yang telah ditetapkan menurut sebagian besar dalam teks Wariga", imbuhnya.

Jro Mangku Suar yang juga masih aktif sebagai anggota TNI dan hingga sekarang berdinas di Timintel Korem 163/Wirasatya ini juga mengingatkan pentingnya hidup saling menghargai guna dapat senantiasa melestarikan tradisi, seni maupun budaya, dengan hidup berbhineka karena di era globalisasi ini manusia akan dihadapkan pada sisi kehidupan yang semakin kompleks, demi Ajeg Bali hingga di masa depan nanti. (Arn)

Rabu, 14 Februari 2018

Alat Music Mandolin Pupuan Peninggalan Saudagar China Bangkit Kembali

Alat music Mandolin di desa Pupuan peninggalan saudagar china mampu memangil hujan bangkit kembali , selain suaranya yang merdu  

Tabanan ,Balikini.Net - Alat musik Mandolin yang merupakan alat musik peningalan pada masa penjajahan Jepang oleh saudagar Tionghoa yang kini hanya temukan  di desa pupuan .
Alat musik petik jenis kecapi  dengan 12 nada itu hampir punah kemudian direkonstruksi tahun 2010.

Dengan memodifikasi dari 12 nada menjadi 21 nada Mandolin kemudian dikolaborasikan dengan gitar, bass, suling, perkusi jimbe, perkusi chimes.dengan kombinasi itu akhirnya keturunan Pan Sekar salah satu pewaris alat music yang ditinggal ( I Ketut Lastra – almarhum ) membentuk group musik mandolin yang awalnya bernama Bungsil Gading. Alat music yang juga dikenal Kramat itu mengingat setiap pementasan selalu di awali hujan bahkan juga sering di sebut alat music pemagil hujan .

Kebangkitan alat music Mandolin di desa pupuan yang hamper punah tersebut berawal saat pementasan Bungsil Gading ternyata memikat hati dari Manajer E- Productinon Ngurah Manik seperti yang diungkapanya rebo 14 /2 di warung be jawa tabanan ,, Saat menghadiri prosesi pernikahan di Wihara di Pupuan pertengahan tahun 2017 Saya sangat tertarik, dengan alunan music mandolin bahkan jatuh cinta  Apalagi kombinasikan dengan alat musikm lainya .’’ Ujarnya .
Ia kemudian mengajak Bungsil Gading bergabung dengan E- production. Setelah melalui komunikasi yang panjang akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk bekerjasama memperkenalkan music tradisional itu agar bisa bersaing dengan music lainya bila perlu go internasional .
Mandolin sendiri berasal dari kata Mandarin yang lama kelamaan berubah cara pengucapannya menjadi mandolin, karena alat musik tersebut dulunya sangat cocok dan sering dimainkan untuk membawakan melodi bernuansa mandarin.
Seriring perkembangan jaman dan sentuhan I Ketut Lastra, mandolin saat ini menjadi alat musik yang tidak hanya memainkan nada-nada bernuansa mandarin tetapi nada yang lebih luas. 
Dengan di rangkulnya mandolin oleh Gita Bhaskara diharapkan terus berkembang  dan bisa menjadi duta budaya Tabanan  Kedepanya, pihaknya berharap Gita Bhaskara bisa berbicara banyak di  tingkat nasional maupun internasional.

Hal senada juga disampaikan Ajik Kobar dari E-production yang juga menciptakan lagu lagu bagi Gita Bhaskara. [dr/r4]



Kamis, 18 Januari 2018

Maraknya Serangan Desti di Bali

[foto / wisatawan di ramal ]
Maraknya Serangan Desti di Bali
Sebagai Ajang Pelampias Iri Hati dan Kebencian
Laporan : Suamba


Kematian akibat serangan desti banyak terjadi di Bali karena lalu lintas desti hampir tiap detik terjadi, bahkan lebih marak dari santet di Jawa. Bagaimana bentuk desti tersebut?

Penyakit akibat serangan desti memang masih marak terjadi. Lalu lintas peredarannya hampir tiap hari. Mungkin tiap detik, ada saja orang yang mengaku terkena serangan desti. Banyak penyakit didomplengi bahkan diawali oleh serangan desti, tetapi tidak jelas siapa dan dimana pelakunya apalagi orang yang memproduksi penyakit tersebut. Hanya saja dukun kerap memberi isyarat bahwa orang yang menyerang dengan desti adalah masih kerabat dekat.
Perseteruan antar dukun yang mengobati dengan dukun pembuat desti hampir tiap hari terjadi, bahkan tiap detik. Tak terelakkan, perang malam pun hampir tiap hari terjadi, mirip seperti perang santet di Jawa, tetapi tidak terpublikasi secara luas. Hanya kalangan penekun ilmu gaib dan  para psikolog inilah yang mahfum terhadap perang gaib yang terjadi di Bali.
Desti mirip dengan santet di Jawa. Desti digunakan untuk tujuan menyakiti bagian tubuh hingga pikiran manusia. Menurut Prof. Dr. Ngurah Nala, M.P.H, desti adalah suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Uniknya, beberapa penyakit yang didiagnosa secara medis seperti jantung, kanker, stroke, hepatitis dan lain-lain, juga banyak diakibatkan oleh desti.
Tokoh spiritual Yudhi Suryawan berpendapat, serangan desti akan merasuk ke dalam darah kemudian menjadi endapan dan gumpalan darah, lalu menjadi penyakit tertentu yang tampak secara medis. Tetapi juga muncul dalam bentuk penyakit aneh yang tidak bisa terdeteksi secara medis.
Kata Ngurah Nala, desti biasanya memanfaatkan sarana atau benda-benda dari orang yang akan disakiti seperti rambut, kuku, tanah bekas injakan kaki, pakaian atau perhiasan. Intinya adalah benda-benda yang pernah dialirkan energi oleh seseorang yang akan disakiti. Sebagai mediator adalah angin, telur, air, kertas, permata, hingga keris yang dirajah atau diberi gambar magis sesuai penyakit yang dikehendaki si pengirimnya. Dengan mantra-mantra, benda-benda tersebut dikirim dari jarak jauh.
Contohnya, rambut orang yang akan disakiti dibungkus dengan kain yang telah dirajah, kemudian dibakar. Dengan kekuatan mantra-mantra benda-benda tersebut diubah menjadi inmaterial atau energi lalu dikirim ke orang yang dituju. Selang beberapa waktu, orang yang dituju akan jatuh sakit. Bisa berawal dari sakit ringan kemudian makin hari makin parah, atau langsung sakit keras seperti stroke, perut melilit-lilit, dan gila. Tidak akan diketahui apa dan siapa yang menyebabkan dia sakit, hanya dukun atau balian yang bisa memproteksi sekaligus memusnahkan penyakit tersebut sehingga si sakit menjadi sembuh.
Cara lainnya adalah dengan merajah nama orang yang akan disakiti di telur ayam. Telur diikat dengan benang merah, kemudian dibungkus dengan kain, lalu ditanam di areal yang sering dilalui oleh orang yang akan disakiti. Jika benda itu dilangkahi atau diinjak, ibarat ranjau, ia akan meledak dan menyakiti. Desti ibarat rimut control, ia hanya berfungsi pada TV tertentu, bukan TV lain. Ia akan menyasar orang yang sudah menjadi targetnya, karena namanya sudah disebutkan dalam mantra-mantra atau rajah yang ditulis di medianya.
Bila memakai air sebagai media penyalur desti, air harus ditaruh di tempurung kelapa dan di atasnya diberi sehelai daun ilalang muda. Daun ditekuk sampai sebagian ujungnya berada di atas air dan pangkalnya berada di atas tempurung. Sesaji dihaturkan di dekat tempurung dan diberi asap kemenyan. Dengan melafalkan mantra-mantra tertentu, sang dukun membayangkan wajah orang yang akan disakiti muncul di air dalam tempurung. Ketika wajah itu sudah tervisualisasi, sang dukun menikam bayangan itu. Dengan demikian, orang yang menjadi target akan jatuh sakit.
Ritual untuk menyakiti dengan desti biasanya dilakukan saat tengah malam karena pada saat itu,  saudara batin meninggalkan badan sehingga lebih mudah dimasuki kekuatan lain.

Desti Sata Wiring
Salah satu jenis desti berbahaya, menurut Yudhi, adalah desti sata wiring. Desti ini memakai sarana tulang paha ayam biying (merah). Sarana ini diberi rajah dan mantra, kemudian ditanam di areal yang akan dilalui oleh orang yang dituju. Bila sarana dilangkahi, orang yang dijutu akan merasa panas di celah pori-pori telapak kaki. Selang satu bulan, barulah desti ini kembali bekerja menyerang organ tubuh mulai kaki, ulu hati, jantung sampai otak. Setelah otak dikuasai, berulah efeknya terasa maksimal seperti tubuh lemah, letih dan terus bergetar. Bila terlambat menangani, desti berkahir dengan penyakit lumpuh atau stroke.
Kekuatan desti sata wiring ini bisa berpindah pada orang yang hendak mengobati jika dukun tidak memiliki pengetahuan cukup. Serangan baliknya terasa seperti sengatan listrik tegangan tinggi. Namun sebetulnya cara penangannya sangat mudah, hanya dengan bawang tanpa siung (bawang nunggal)  yang diusapkan di pusar, ubun-ubun, tengkuk, dan kaki bagian bawah, ketika kaki terasa panas saat pertama menginjak sarana desti sata wiring.[BL/r5]

Minggu, 17 Desember 2017

Rai Mantra “Nyatua Dicarik”

Denpasar, Balikini.Net - Untuk menanamkan kecintaan terhadap warisan para leluhur dan meningkatkan semangat mencintai aksara dan sastra bahasa Bali dalam penguatan konsep-konsep budaya terutama kepada generasi muda, khususnya anak-anak, Pemerintah Kota Denpasar bersinergi dengan Penyuluh Bahasa Bali Kota Denpasar mengadakan sebuah festival yang bertajuk “Nyatua di Carik” (bercerita di sawah), Minggu pagi (17/12) di Ekowisata Subak Sembung Peguyangan. Kegiatan Festival ini dihadiri dan dibuka langsung Walikota Denpasar I.B. Rai Dharmawijaya Mantra, ditandai dengan membunyikan “krepuak”. Tampak hadir juga dalam kesempatan ini, Sekda Kota Denpasar, A.A.N. Rai Iswara, Ketua WHDI Kota Denpasar, Ny. Antari Jaya Negara, Ketua DWP Kota Denpasar, Ny. Kerti Iswara, Camat Denpasar Utara, Nyoman Lodra dan Seniman Pendongeng Bali, Made Taro.

Walikota Rai Mantra dalam sambutannya mengatakan, kegiatan festival nyatua dicarik ini sangat bagus, anak-anak kembali dikenalkan dengan cerita-cerita anak bali dengan sastra bahasa bali, apa lagi dikemas dengan susasana sawah yang membuat anak-anak akan kembali bisa mencintai lingkungan terutama sawah. Selain belajar menyatua bali, anak-anak juga bisa ikut bermain permainan tradisional disawah, dan bisa membentuk karakter anak untuk cinta terhadap budaya dan lingkungannya sendiri, terutama dalam penguatan jati diri dalam bentuk sastra bali.

“Kegiatan dalam penguatan konsep budaya ini sangatlah penting, sebab yang harus diperhatikan lebih jauh adalah mengenai aksara dan sastra bali, dikarenakan disini ada bahasa dan tatwa yang bukan hanya untuk dilestarikan melainkan harus dikuatkan yang pada akhirnya diharapkan memaknai etika yang didapatkan dalam sastra itu sendiri. Karena isi didalam sastra berisikan sebuah pembentukan prilaku dan karakter kita sebagai masyarakat Bali”, ujar Rai Mantra. Dimana semua akar budaya ini harus bisa terus tumbuh kuat dan dikembangkan terus, melalui beberapa aktifitas kegiatan-kegiatan yang tentunya disesuaikan dengan kesenangan masyarakat maupun anak-anak itu sendiri. Untuk menumbuhkan dan menguatkan konsep budaya ini sejak setahun yang lalu, Pemkot sudah melaksanakan  setiap hari Rabu pegawai dilingkungan Pemkot menggunakan bahasa bali, mengingatkan bahasa ibu (bali) sebagai bahasa yang memang warisan adiluhung dan jangan sampai terlupakan. Sebab didalam bahasa bali itu banyak sekali terdapat makna etika hidup yang sangan baik, yang semua ini harus kita jaga agar tidak punah, apalagi dijaman digitalisasi dan globalisasi seperti ini.

Sementara Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kota Denpasar, Kadek Rika Aripawan, mengatakan, kegiatan festival nyatua di carik ini di ikuti anak-anak Sekolah Dasar (SD) se-Kota Denpasar. Adapun festival ini di ikuiti oleh 39 Desa/Kelurahan dan 78 anak-anak dari masing-masing  Desa/Kelurahan, yang dipandu oleh maestro seniman dongeng Made taro.

Salah seorang peserta Kadek Winda Paramita asal desa Ubung Kaja mengaku sangat senang dengan adanya kegiatan nyatua di sawah. "Saya sangat senang dengan kegiatan nyatua seperti ini, apalagi ini kali pertamannya saya merasakan belajar disawah dengan masuk kedalam lumpur sambil belajar, ternyata sangat mengasyikkan, sangat berbeda dengan disekolah", ungkapnya. (ays’/r6)

Sabtu, 09 Juli 2016

Peduli Sampah Plastik dituangkan dalam kesenian Anak Anak Di Bali

Tari Peduli Sampah Pelastik (balikini.net )
Balikini.Net- Memadu padankan kemampuan berekspresi dan improvisasi argumen dalam menghibur sudah mulai ditanamkan sejak usia dini. Seperti yang ditampilkan dalam pertunjukkan dolanan anak anak yang dibawakan oleh anak anak tingkat taman kanak kanak dan playgroup ini yang tergabung dalam sanggar praja kerti duta kabupaten buleleng, dalam memeriahkan pesta kesenian bali ke 38 tahun 2016, di kalangan ayodya, jumat 8/7.

kesenian kali ini melibatkan 7 penabuh, 5 pengiring tembang atau gerong dan 17 penari. dolanan anak anak ini di bina oleh Dayu komang sadrika. dolanan ini mengangkat alur cerita tentang kepedulian masyarakat terhadap kondisi sampah plastik yang kian mengkhawatirkan, tidak hanya kurang peduli terhadap pemilahan sampah, namun pembuangan sampah yang sembarangan juga sangat mengkhawatirkan lingkungan saat ini. sehingga untuk mendukung gerakan cleac and green dari pemerintah, dolanan ini memadukan kesenian Goak goakan, tarian dan seni suara yang dikemas selama dua jam.(pro/r6)

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved