-->

Selasa, 12 Juni 2018

Salah Kaprah, Ini Pergantian Hari Menurut Kalender Bali

Jembrana (Balikini.Net) - Ternyata masih banyak umat Hindu khususnya di Bali yang belum paham benar, kapan sebenarnya pergantian hari menurut perhitungan Wariga. Jika hal ini belum dipahami benar maka terjadi kesalah-pahaman dan kaitannya adalah akan menjadi penyebab kesalahan pemilihan hari baik, kesalahan penentuan hari suci (rahinan) ataupun kesalahan penetapan wetonan (oton) seorang anak, dan sebagainya.

Seperti umum diketahui, anak-anak Bali yang beragama Hindu sejak lahir sampai dewasa, hingga masalah ritual pribadinya akan selalu dikaitkan dengan Wariga. Disinilah, maka hari ulang tahun boleh saja tidak dirayakan, namun wetonan adalah wajib untuk diperingati dengan ritual keagamaan.

Menurut Jro Mangku Suardana, Pemangku Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, yang dimaksudkan dengan Wariga itu adalah Wewaran, dari Eka Wara sampai Dasa Wara dan Wewaran ini dikaitkan dengan Wuku yang berjumlah tiga puluh serta pergantian hari menurut Wariga adalah pada pagi hari (saat matahari terbit), untuk gampangnya ditetapkan lebih kurang setiap pukul 06.00 pagi, pukul 12.00 siang dan pukul 18.00 sore, walaupun sesungguhnya ini sering tidak tepat. Misalnya, saat dimana kedudukan matahari berada di Selatan Katulistiwa, pukul 18.00 sore matahari masih nampak di Barat, jadi sesungguhnya belum Sandhyakala. Tetapi karena dianggap rumit untuk menyesuaikan dengan tenggelamnya matahari, maka Puja Trisandya-pun tetap berkumandang di televisi pada pukul 18.00.

Maka penetuan pergantian hari disini juga akan berdampak pada pengantian Sasih (Bulan) dalam Kalender Caka, hingga pelaksanaan hari suci (rahinan) seperti misalnya raya Nyepi akan dimulai sejak pukul 06.00 pagi sampai pukul 06.00 pagi keesokan harinya disebut Ngembak Geni. Hal inilah hendaknya senantiasa diingatkan kepada seluruh umat agar jangan sampai baru pukul 00.01 warga sudah mulai meledakkan ketikusan (mercon), menyuarakan kentongan dan sebagainya dengan maksud mengisyaratkan hari telah berganti pagi dan ini yang selalu terjadi (salah kaprah), karena Nyepi baru berakhir pada saat matahari terbit (Ngembak Geni).

Demikian juga pada penetapan kelahiran anak, kalau ada anak yang lahir lewat tengah malam, misalnya pukul 03.00 sampai mendekati pukul 06.00 dini hari, anak itu weton-nya mengikuti hari kemarin, bukan mengikuti hari yang akan datang sebagaimana perhitungan Kalender Masehi dan inilah yang sering tidak diketahui.

Akibat kesalah-pahaman dalam menentukan pergantian hari menurut Wariga ini hingga banyak yang salah weton (salah hari otonan) dan ini akan berpengaruh pada “watak sang anak” karena setiap hari ada peruntungannya dan ada pantangannya. Apalagi kalau terjadi beda Wuku, misalnya, anak yang lahir hari Minggu dini hari menurut Kalender Masehi, seharusnya adalah milik hari Sabtu menurut Wariga. Karena antara Sabtu dan Minggu sudah beda Wuku. Perwatakan Wuku sangat beda maka pengaruhnya pun besar.

"Saya berikan contoh yang akan berakibat luas. Misalnya hari ini, Sabtu 8 Februari 2014, wuku Ugu. Jika ada bayi yang lahir lewat tengah malam nanti, misalnya, pukul 03.00 atau pukul 05.00, maka weton-nya tetap Sabtu (Saniscara) Pon Wuku Ugu. Bukan mengikuti hari Minggu (Redite) Wage wuku Wayang. Kalau salah menentukan pergantian hari karena terpengaruh tahun Masehi, dan anak itu ditetapkan weton Minggu Wage wuku Wayang, maka anak itu harus dibuatkan upacara Pangelukatan Wayang dengan runtutan penubahan Wayang Sapu Leger. Padahal seharusnya itu tak terjadi", jelasnya.

Kesalahan penentuan hari otonan (weton) ini sering terjadi dan umumnya kalau keluarganya menyadari kesalahan itu, pada saat weton-nya diadakan Perubahan Weton dan ini banyak dilakukan, upacaranya juga tidak jelimet, hanya menambah beberapa sesajen.

Masalah hari ulang tahun, tentu mengikuti Kalender Masehi, karena ulang tahun tidak berdasarkan Wariga (tak memakai hari dan wuku), tetapi memakai tanggal. Kalau anak itu lahir seperti contoh di atas, ulang tahunnya tetap saja 9 Februari, karena pergantian Tahun Masehi adalah pukul 00.00 tengah malam.

Pergantian hari itu berbeda-beda menurut kalender. Pergantian hari  Tahun Masehi pada saat tengah malam, pukul 00.00. Sedang Tahun Hijrah yang digunakan umat Islam (dan sekarang diikuiti pula oleh Tahun Jawa), pergantian harinya dimulai magrib pada hari tersebut. Jadi, malam hari ini setelah magrib adalah milik hari esoknya. Karena itu umat Islam, misalnya, menyebut malam Jumat itu adalah hari Kamis malam yang biasa dikenal di Bali.

Jro Mangku Suardana juga menjelaskan, dalam perhitungan Wariga Bali juga dikenal istilah Wuku dimana Wuku ini adalah bagian dari suatu siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali yang berumur 7 (tujuh) hari  atau 1 (satu) pekan. Dalam siklus Wuku ini berumur 30 pekan atau selama 210 hari yang masing-masing Wuku memiliki nama tersendiri. Perhitungan dalam Wuku atau Pawukon (dalam bahasa Jawa) masih digunakan di Jawa dan Bali, terutama untuk menentukan hari baik dan hari buruk serta terkait dengan Weton (Oton). Adapun ide dasar perhitungan menurut Wuku adalah bertemunya dua hari dalam sistem Pancawara (Pasaran) dan Saptawara (Pekan) menjadi satu. Sistem Pancawara atau Pasaran terdiri dari 5 (lima) hari diantaranya dimulai dari Umanis (Legi), Pahing, Pon, Wage dan berakhir Kliwon sedangkan sistem Saptawara terdiri dari 7 (tujuh) hari diantaranya dimulai hari Senin (Soma), Selasa (Anggara), Rabu (Budha), Kamis (Wrehaspati), Jumat (Sukra), Sabtu (saniscara) dan berakhir pada hari Minggu (Redite). Dalam satu wuku, sudah pasti akan berakhir pada hari Sabtu. Pertemuan antara hari Pasaran dan hari Pekan ini misalnya seperti Sabtu Kliwon, jika di Bali biasanya disebut Tumpek salah satunya terjadi dalam wuku Kuningan dan karena dalam siklus satu Wuku berakhir pada hari Sabtu maka keesokan harinya yakni hari Minggu tidak lagi Wuku Kuningan namun sudah berganti Wuku lain yakni Wuku Langkir, sehingga selama ini umat menjadi salah kaprah jika kesesokan hari setelah hari Tumpek Kuningan itu menyebut hari Umanis Kuningan tetapi yang benar adalah hari Minggu (Redite) Umanis Wuku Langkir.

"Demikian, semoga tidak ada lagi yang salah kaprah dan juga menentukan Weton (Oton) anaknya jika lahir menjelang dini hari", tutup Jro Mangku Suardana (!)

Jumat, 01 Juni 2018

Bekraf Bawa Indonesia Untuk Pertama Kalinya Hadir Di MIDEM Prancis

Jakarta,Balikini.Net - Pertama kalinya Indonesia hadir di Marche International du Disque et de l’Edition Musicale (MIDEM) 2018 yang akan berlangsung pada tanggal 5-8 Juni 2018 di Cannes, Prancis. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mendukung kehadiran Indonesia dalam kegiatan ini sebagai salah satu langkah dalam membangun keberlanjutan ekosistem perekonomian kreatif di Indonesia, khususnya pada subsektor musik.

“Keikutsertaan Indonesia untuk yang pertama kalinya pada MIDEM 2018 merupakan sebuah kebanggan bagi kita,” ujar Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Puji Mulia Simanjuntak.

MIDEM merupakan sebuah pameran musik internasional dengan format business to business (B2B) yang diikuti oleh label dan publisher internasional, music distributor, musisi, produser, film-makers, perusahaan teknologi dan start-up, hingga game developers dan animators.

MIDEM memiliki misi untuk mendukung pengembangan bisnis dan inovasi yang dilandaskan pada 4 (empat) nilai dasar, yaitu kerja sama, kreatifitas, pemberian inspirasi dan edukasi serta inovasi di bidang musik. MIDEM 2018 menjadi ajang global bergengsi yang paling dinanti untuk berbagi inspirasi, menciptakan peluang kolaborasi dan membangun hubungan profesional bersama.

Keikutsertaan Indonesia ini merupakan hasil kerjasama Bekraf dengan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI). ASIRI didirikan pada Februari 1978 dengan membawa semangat membangun dan mengembangkan atmosfir bisnis di dalam industri musik dan rekaman. ASIRI memiliki 82 anggota yang terdiri dari perusahaan rekaman, dimana di antaranya terdapat 3 label asing besar dan sisanya adalah label lokal.



Untuk mensukseskan dan mengenalkan musik di Indonesia, Bekraf juga akan melakukan beberapa kegiatan, seperti: pembangunan Pavilun Indonesia, Indonesia Panel, dan Speedmeeting, serta pemasangan promosi Indonesia di mega billboard di kota Cannes.

Paviliun Indonesia akan mendisplay dan mempromosikan pelaku kreatif subsektor musik Indonesia yang sebelumnya sudah pernah mengikuti pameran-pameran internasional lainnya, seperti: Kuassa, Anymo Guitar, dan Seruni Audio. “Selain itu, kami juga membawa pelaku industri musik yang berasal dari latar belakang perusahaan rekaman, publisher, artist management, sampai dengan music event organizer,” tambah Joshua.

Indonesia panel akan diisi oleh narasumber dari berbagai bidang industri musik Indonesia. Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Pesik juga berkesempatan untuk menjadi salah satu speaker di acara Indonesia Panel ini. Pada bagian speedmeeting, Indonesia akan diwakili oleh beberapa peserta perwakilan dari label, artist management, music promotor, asosiasi dan music license company.

Joshua menjelaskan musik adalah salah satu subsektor prioritas yang ditetapkan Bekraf. Oleh karena itu, keikutsertaan Indonesia pada MIDEM 2018 ini diharapkan mampu memberikan stimulan bagi industri musik di Indonesia. Selain itu, musik Indonesia dapat semakin dikenal pada level internasional. Sehingga semakin banyak pelaku pada industri musik dari seluruh dunia yang menanamkan investasinya di Indonesia.

Senada dengan Joshua, menurut Ketua ASIRI Gumilang Ramadhan terdapat dua kubu besar yang berpengaruh di indutri musik dunia yaitu Amerika dan Eropa, “karena satu dan hal lain, sangatlah sulit untuk menembus pasar Amerika. MIDEM merupakan kesempatan untuk industri musik Indonesia menembus pasar Eropa,” ujarnya. (Kris/r4)

Rabu, 30 Mei 2018

Kecerdasan Buatan Deteksi Kanker Kulit Lebih Baik daripada Dokter

Seorang dokter sedang memeriksa pasien untuk mendeteksi kanker kulit, di Sydney, 7 Mei 2002. (foto:dok)

Balikini.Net - Komputer bisa mendeteksi kanker kulit lebih baik dari dokter spesialis kulit, menurut para peneliti, Selasa (29/5), seperti dikutip oleh kantor berita AFP.

Sebuah tim dari Jerman, Amerika Serikat dan Perancis mengajarkan sebuah sistem kecerdasan buatan untuk membedakan lesi kulit yang berbahaya dengan yang tidak berbahaya dengan menunjukkan lebih dari 100 ribu gambar.

Mesin tersebut, yang disebut dengan jaringan syaraf konvolusional atau CNN, kemudian diuji melawan 58 dokter spesialis kulit dari 17 negara. Cara pengujiannya, yaitu dengan menunjukkan berbagai gambar melanoma yang ganas dan tahi lalat yang jinak.

Lebih dari setengah dokter spesialis yang mengikuti tes dikategorikan sebagai "pakar" dengan pengalaman lebih dari lima tahun, 19 persen memiliki pengalaman antara dua dan lima lima tahun, sedangkan 29 persen adalah pemula dengan mengantongi jam praktek kurang dari dua tahun.

"Sebagian besar dokter spesialis tidak bisa mengungguli CNN," kata tim peneliti dalam tulisan yang diterbitkan di jurnal Annals of Oncology.

Dokter spesialis rata-rata mendeteksi secara akurat 86.6 persen kanker kulit dari gambar, dibandingkan dengan 95 persen oleh CNN.

"CNN hanya terlewat mendeteksi beberapa melanoma. Artinya, CNN punya sensivitas lebih tinggi daripada dokter kulit," kata penulis studi tersebut, Holger Haenssle dari Universitas Heidelberg dalam pernyataannya.

CNN juga "lebih sedikit melakukan kesalahan mendiagnosa tahi lalat jinak sebagai melanoma ganas…hasilnya, pembedahan yang tidak diperlukan juga lebih sedikit."

Kinerja para dokter kulit membaik ketika mereka diberi informasi mengenai para pasien dan lesi kulit yang mereka derita.

Tim peneliti mengatakan Kecerdasan Buatan atau AI bisa menjadi alat yang berguna untuk mendeteksi kanker kulit dengan cepat dan mudah, hingga bisa mempercepat tindakan pembedahan sebelum kanker menyebar.

Ada sekitar 232 ribu kasus baru melanoma dan 55.500 kematian akibat kanker kulit setiap tahunnya, kata mereka.

Namun mesin tidak akan sepenuhnya menggantikan para dokter manusia. Alat ini lebih berperan sebagai alat bantu.

Melanoma yang muncul di beberapa bagian kulit seperti jari-jari, jari-jari kaki dan kulit kepala, sangat sulit untuk diambil gambar. Kecerdasan buatan mungkin akan kesulitan mengenali lesi ‘atipikal’ atau jenis-jenis yang para pasien sendiri belum tahu. [sub voa/ ft/dw]

Kamis, 28 Desember 2017

Indonesia dan 65 Juta Ton Sampah Tanpa Dipilah

Pelan namun pasti, sampah menjadi masalah besar bagi Indonesia. Sayangnya, belum ada kesadaran mengelola sampah, karena pedoman umum yang ada adalah sampah harus dibuang. Padahal, seharusnya tiap rumah tangga memilah sampahnya sebelum membuang.

Balikini.Net - Setiap dua hari sekali, Cucun, warga Sariharjo, Sleman, Yogyakarta, berkeliling kampung untuk mengumpulkan sampah dari rumah warga. Bersama saudaranya, Cucun membuka jasa pembuangan sampah. Ada 150 rumah yang harus didatangi. Setiap rumah membayar antara Rp 30 ribu- Rp 40 ribu per bulan, tergantung volume sampah yang harus dibuang. Segala macam barang ada di bak belakang mobil tuanya, mulai dari sisa makanan rumah tangga, plastik, kertas bekas, potongan kayu, sisa bahan bangunan sampai daun dan ranting.
Kalau selesai ini, penuh baknya. Kalau tidak bisa diangkut sehari, ya nanti beda hari, terus saya buang ke penampungan sampah. Lumayanlah hasilnya. Itu nanti saya ambil barang yang bisa dijual lagi, bisa buat menambah pendapatan,” kata Cucun, yang melayani warga Sariharjo, di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sampah rumah tangga yang diambil Cucun adalah gambaran apa yang ada di rumah-rumah di Indonesia secara umum. Biasanya, warga memiliki satu tempat sampah di bagian dapur, di mana semua sisa makanan, plastik bekas, kemasan produk rumah tangga, dibuang menjadi satu. Di halaman depan, juga hanya ada satu tempat sampah besar. Di dalam tempat sampah besar itu, sampah dapur akan dijadikan satu dengan sampah dari bagian rumah yang lain.
Memilah sampah memang belum menjadi budaya. Ini tidak terlepas dari kebiasaan di masa lalu, di mana setiap rumah khususnya di pedesaan, memiliki satu lubang besar di sudut halaman mereka. Di lubang itulah sampah dibuang, kadang kemudian dibakar atau ditimbun.


Namun, kini model penanganan sampah semacam itu tak bisa lagi dilakukan. Pemerintah sampai ke tingkat paling rendah, telah memiliki kesadaran baru bahwa sampah harus dipilah dan kemudian diolah.
Di Kabupaten Bantul, DIY misalnya, Kepala Desa Srigading, Wahyu Widodo sejak dua tahun lalu telah memulai program kesadaran pemilahan sampah. Aneka kegiatan digelar untuk meningkatkan kesadaran. Tahun depan dia akan membuat Peraturan Desa (Perdes) khusus penanganan sampah. Ini adalah pendekatan hukum sebagai langkah yang lebih tegas.
“Kita tindak lanjuti dengan mendorong warga dari masing-masing dusun membuat bank sampah. Total ada 20 bank sampah. Kita sesering mungkin turun ke lapangan, memberi kesadaran bahwa sampah harus segera ditangani. Tahun depan akan ada Perdes sampah. Perdes itu tentu kaitannya dengan aturan terkait penanganan sampah, termasuk memuat sanksi ketika aturan itu dilanggar. Larangan membuang sampah sembarangan,” kata Wahyu.
Yogyakarta sendiri menghadapi masalah sampah yang makin besar. Sampah rumah tangga, seperti yang dikumpulkan Cucun di Sleman tadi, dikumpulkan dan kemudian dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Menurut pemerintah setempat, setiap tahun ada peningkatan volume sampah sebanyak 50 ton. TPA di Yogyakarta diperkirakan tidak akan lagi mampu menampung volume itu dalam beberapa tahun mendatang.
Karena itulah, sejumlah pihak menciptakan solusi dari dari rumah, tempat asal sampah itu.
Erwan Widyarto menjadi fasilitator pendirian Bank Sampah “Griya Sapu Lidi” RW 26 Gumuk Indah, di Sidoarum, Sleman. Sebagaimana bank, lembaga ini juga menerima setoran dari nasabahnya. Bedanya, yang disetor adalah sampah. Syaratnya, nasabah harus memilah sampah itu sebelum dikirimkan. Sampah yang dapat didaur ulang, digunakan kembali dalam kreasi aneka bentuk. Hasil penjualannya, adalah milik bersama para nasabah.
“Mau bagaimana lagi, kita ini produsen sampah. Jadi, harus ikut bertanggung jawab. Memang perlu kesadaran bersama, ini yang harus terus dikampanyekan. Bank Sampah ini hanya salah satu metode, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. Yang penting, pertama kali, tumbuhkan kesadaran untuk memilah sampah,” ujar Erwan.
Konsep dasar Bank Sampah, kata Erwan, adalah mengurangi, memilah, memanfaatkan, mendaur ulang, dan menabung sampah. Nilai ekonominya kecil, tetapi yang lebih penting adalah masyarakat paham bahwa sampah mereka akan menimbulkan masalah jika tidak diolah. Karena itulah, Erwan dan rekan pengelola bank sampah aktif melatih perkumpulan ibu-ibu hingga sekolah di Yogyakarta dalam program terkait pengelolaan sampah.

Erwan Widyarto (kaos hitam) bersama aktivis Bank Sampah Griya Sapu Lidi dalam sebuah pameran. (Courtesy Photo: Erwan Widyarto
Erwan Widyarto (kaos hitam) bersama aktivis Bank Sampah Griya Sapu Lidi dalam sebuah pameran. (Courtesy Photo: Erwan Widyarto
Dalam skala yang lebih luas, ada lembaga Yogyakarta Green and Clean (YGC) yang berkomitmen mengampanyekan pengolahan sampah secara lebih baik dan ramah lingkungan. Ini adalah lembaga swadaya masyarakat gabungan individu dan organisasi, dengan salah satu misi utama memperbaiki penanganan sampah. Dalam beberapa tahun terakhir, YGC aktif menyasar anak-anak melalui berbagai kegiatan terkait sampah.
“Bagaimana caranya, misalnya ada anak makan permen, ketika tidak ada tempat sampah, dia mau menaruh bungkus permen itu ke sakunya. Kita mau dari yang kecil-kecil itu, meskipun banyak juga kegiatan berskala besar kita lakukan,” ujar Zaenal Mutakin, salah satu ketua di YGC.
Mutakin meyakini, upaya ini tidak akan menuai hasil dalam waktu singkat. Karena itulah, mereka realistis dengan melakukan edukasi terus menerus terutama kepada anak-anak.
“Tidak ada kata terlambat, dari pada tidak ada upaya sama sekali dalam pengelolaan sampah. Karena masyarakat sudah terbiasa dininabobokkan, biasanya mereka berprinsip yang penting sampah itu tidak ada di depan dia. Pikirnya, sampah itu prinsipnya tidak ada di rumah dia, tidak di wilayah dia, lalu membuangnya. Jadi kelihatannya menyelesaikan masalah, tetapi sebenarnya menimbulkan masalah baru di tempat lain,” ujar Zaenal Mutakin.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, Indonesia memproduksi 65 juta ton sampah pada 2016, naik 1 juta ton dari tahun sebelumnya.
Di Yogyakarta sendiri, banyak prakarsa sudah dilakukan untuk turut mengurangi angka itu. Diantaranya adalah pendirian bank sampah di setiap wilayah terkecil, penerapan teknologi maju, hingga penyusunan regulasi baru. Namun tampaknya, semua harus diawali dari masing-masing rumah. Alih-alih membuangnya, warga harus dididik untuk mulai memilah sampah, sejak dini, mulai hari ini.[sub/voa/r5]

Selasa, 31 Oktober 2017

Politeknik Internasional Bali Berikan Pendidikan Gratis Bahasa Inggris

Tabanan, Balikini.Net -  Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Politeknik Internasional Bali (PIB) kembali menghelat pengabdian masyarakat dengan memberikan pendidikan bahasa inggris untuk pariwisata dan perhotelan secara gratis di Balai Banjar Desa Nyanyi. Kegiatan yang merupakan salah satu pengimplementasian dari tugas pokok Tri Dharma Perguruan Tinggi ini dihadiri oleh Dr. Frans Bambang Siswanto, M.M (Pendiri Yayasan Bali International Training and Development Center) dan Prof. Dr. Ir. Anastasia Sulistyawati, M.S., M.M., M.Mis., D.Th., Ph.D (Direktur Politeknik Internasional Bali), Kepala Desa Nyanyi serta warganya.

Kursus Bahasa Inggris akan diampu langsung oleh dosen-dosen Politeknik Internasional Bali setiap minggunya. Target yang akan dicapai adalah warga Desa Nyanyi sudah bisa berbahasa inggris dalam 6 bulan ke depan. Sebagai kampus pariwisata dan perhotelan di Bali, Politeknik Internasional Bali yang mempunyai empat program studi yaitu D3 Seni Kuliner dan Bisnis, D3 Bisnis Perhotelan, D4 Manajemen Bisnis Perhotelan, dan D4 Bisnis Pengelolaan Acara dan Pariwisata menganggap bahwa pendidikan mempunyai peran yang penting dalam memajukan pariwisata di Indonesia.

Tidak hanya itu, pembukaan pengabdian masyarakat juga sekaligus menjadi perayaan ulang tahun Pendiri Yayasan Bali International Training and Development Center yang ke 72, Dr. Frans Bambang Siswanto. Bersamaan dengan itu, acara ini sekaligus mengumumkan pemenang telajakan gemitir sebagai bentuk apresiasi kepada warga dalam usahanya memperindah lingkungan.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan terkait dengan sumbangsih ilmu yang dimiliki oleh dosen untuk memberikan pencerahan kepada warga Desa Nyanyi, khususnya muda-mudi setempat. Pemberian materi nantinya berupa English for Hospitality. Artinya warga Desa Nyanyi akan diajarkan Bahasa inggris yang berhubungan dengan perhotelan dan pariwisata baik dalam tingkat dasar (basic), menengah (intermediate) maupun tahapan lebih lanjut (advanced). 

Prof. Dr. Ir. Anastasia Sulistyawati, M.S., M.M., M.Mis., D.Th., Ph.D menganggap hal ini penting untuk dilakukan dengan mengatakan bahwa Bahasa Inggris perlu diperkenalkan sejak dini ke masyarakat Bali sembari juga mengajarkan Bahasa Indonesia, Bahasa Bali ataupun Bahasa yang lainnya. Selain itu, Direktur PIB juga menyinggung perihal Bali yang masih menjadi gerbang Pariwisata Indonesia. “Daya Tarik Bali bukan hanya alam, tapi juga wisata budaya dan spiritual. Perlu disadari juga bahwa, Bahasa inggris merupakan salah satu Bahasa Internasional. Jika anak-anak bisa berbahasa inggris dan paham Budaya Bali, maka ini akan menjadi pondasi yang kuat untuk masyarakat Bali maju bersama-sama dalam industri pariwisata secara berkelanjutan” sambungnya.

Warga Banjar Nyanyi melalui Kepala Desa, Wayan Sukariana, mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh PIB. Kepala Desa berharap bahwa kegiatan ini dapat memenuhi keinginan warga yang terus ingin belajar dan memajukan wisata Desa Beraban, Tabanan. “Bahwasannya dalam memajukan pariwisata di Desa Beraban khususnya wilayah Nyanyi membutuhkan tekad yang kuat dan usaha bersama. Bersama kita bisa” tutupnya. [luh/r5/bk]


Senin, 30 Oktober 2017

Memutus Mata Rantai TKI ke Luar Negeri

[Ratih Pratiwi Anwar (paling kiri) bersama TKI purna yang didampingi (courtesy: Ratih Pratiwi Anwar]

Jutaan warga negara Indonesia bekerja sebagai tenaga kerja atau TKI di luar negeri, baik di sektor formal maupun informal. Banyak upaya dilakukan untuk mengurangi gelombang kerja ke luar negeri ini. Berikut laporan selengkapnya.


- Nurkholis pernah bekerja selama beberapa tahun di Korea Selatan. Seenak apapun kerja di luar negeri, kata dia, masih lebih enak bekerja dekat dengan keluarga. Karena itulah, pria asal Srumbung, Magelang, Jawa Tengah ini, berhenti bekerja di Korea Selatan dan pulang ke tanah air untuk membuka tempat cuci sepeda motor di rumahnya bersama sang istri yang melayani jasa cuci pakaian. “Hasilnya memang tidak seperti waktu kerja di Korea. Tetapi lumayanlah bisa untuk hidup. Mencukup kebutuhan sehari-hari dan anak-anak sekolah. Yang paling penting bisa lihat anak-istri setiap hari,” kata Nurkholis.

Nurkholis tidak sendiri. Di sekitar tempat tinggalnya saja, ada puluhan mantan TKI Korea. Mereka kini membentuk paguyuban dan sebulan sekali bertemu sambil arisan.
Para pekerja migran yang telah pulang dan memutuskan tidak kembali bekerja ke luar negeri, biasa disebut sebagai TKI purna. Mereka memanfaatkan masa kerja di luar negeri, sebagai upaya mencari modal untuk mandiri setelah pulang.

Ratih Pratiwi Anwar, peneliti dari Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta mengakui uang kiriman atau remittance berperan besar mengubah nasib para TKI dan keluarga mereka . Dalam penelitian di desa-desa asal TKI, Ratih menemukan fakta bahwa uang yang diperoleh para TKI berdampak langsung dalam pembangunan ekonomi.

Ratih Pratiwi Anwar (paling kiri) bersama TKI purna yang didampingi (courtesy: Ratih Pratiwi Anwar)
Ratih Pratiwi Anwar (paling kiri) bersama TKI purna yang didampingi (courtesy: Ratih Pratiwi Anwar)
 
“Dana itu dialokasikan untuk banyak hal, misalnya modal usaha, membeli ternak, membeli lahan sawah, juga memperbaiki rumah. Ada juga sebagian yang digunakan untuk membiaya pendidikan, dan ini investasi sumber daya manusia yang penting,” kata Ratih.

Ratih yang pernah melakukan penelitian di Korea Selatan menyatakan, banyak TKI sebenarnya memiliki kondisi kerja dengan resiko tinggi di sana. Mereka pulang membawa uang dan berharap tidak berangkat lagi ke luar negeri. Namun, banyak TKI tidak mampu mengelola tabungan selama bekerja dan gagal berwirausaha. Kondisi ini mendorong mereka untuk tetap kembali ke Korea Selatan meskipun menghadapi kondisi kerja yang tidak sepenuhnya aman.

0:00:00 /0:03:28
Unduh
 
“Sebagian besar buruh migran yang sudah pulang itu belum punya pengalaman berorganisasi. Jadi, membentuk sesuatu yang sama sekali baru itu menjadi tantangan tersendiri bagi kawan-kawan buruh migran, untuk mengorganisir diri mereka, kemudian mengisi kegiatan organisasi itu dengan kegiatan yang bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka,” kata Ratih Pratiwi Anwar.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, selama semester pertama 2017, jumlah uang yang dikirim TKI ke Indonesia mencapai Rp 57,6 triliun. Paling besar kiriman datang dari para TKI di kawasan Australia dan Selandia Baru, menyusul kemudian dari Timur Tengah, Afrika, Amerika dan Eropa.

Di Kampung Tracap, Wonosobo, Jawa Tengah, dulu sekitar 80 persen warga usia produktif merantau ke luar negeri untuk bekerja. Kondisi ini membawa dampak sosial cukup memprihatinkan, di mana anak-anak para TKI tumbuh tanpa bimbingan orang tuanya. Seorang mantan TKI dari desa itu, Maizidah Salas, bertekad memutus mata rantai masalah sosial ini. Tahun 2011 dia mendirikan Kampung Migran, yang memberikan pendampingan usaha bagi TKI dan keluarga mereka di rumah.
Maizidah Salas perintis Kampung Migran di Wonosobo, Jawa Tengah (courtesy: Maizidah Salas)
Maizidah Salas perintis Kampung Migran di Wonosobo, Jawa Tengah (courtesy: Maizidah Salas)
 
Tantangan terbesar dalam upaya ini menurut Maizidah adalah kualitas sumber daya manusia karena rata-rata TKI tidak berpendidikan tinggi. Uang hasil bekerja biasanya habis untuk membangun rumah, membeli kendaraan atau keperluan konsumtif lain. Begitu habis dan tak ada pekerjaan, mereka bingung dan merasa bahwa kembali menjadi TKI adalah satu-satunya jalan keluar.

Menurut Maizidah, rata-rata TKI yang bekerja di Taiwan atau Hongkong bisa membawa pulang uang Rp 150 juta hingga Rp 170 juta setelah dua tahun bekerja. Pendampingan bisa dilakukan ketika TKI masih di luar negeri, dimana keluarga di rumah yang mengelola uang tersebut. Namun banyak pula yang menunggu sampai mereka pulang setelah kontrak kerja selesai.

“Kita tidak pernah mengarahkan teman-teman mau menggunakan uangnya untuk usaha apa. Semua didiskusikan terlebih dahulu, bersama keluarga mereka juga. Yang paling penting adalah memahami potensi yang ada di sekitar tempat tinggal masing-masing,” kata Salas.

Untuk memantau pendidikan anak-anak TKI, Maizidah mendirikan sekolah gratis bagi mereka. Sebagai mantan TKI, dia memahami betul bagaimana anak-anak itu kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang tua mereka. Karena itulah, sekolah itu diselenggarakan dengan semangat untuk semaksimal mungkin menggantikan peran orang tua sepenuhnya. Di samping itu, organisasi yang digerakkan Maizidah Salas sudah mampu membuka usaha di bidang pertanian, peternakan, makanan kecil, jasa, toko bahan pokok dan koperasi.

“Indikator dari keberhasilan mereka, yang ada dalam pendampingan saya, adalah bahwa mereka tidak kembali lagi ke luar negeri. Artinya mereka sudah mandiri secara ekonomi. Orientasinya akan berbeda, ketika kita mendampingi teman-teman yang sudah memiliki ide bisnis sebelum mereka kerja jadi TKI, dengan yang belum punya ide. Karena mereka terbiasa kerja dengan hasil bulanan dan teman-teman biasanya ketika pulang dan mengelola usaha itu mengalami kegagalan dan berangkat lagi kalau tidak didampingi manajemen keuangannya,” kata Maizidas Salas.
Maizidah mengaku, tidak mudah mengubah pola pikir dari bekerja demi gaji menjadi wirausaha sendiri yang beresiko gagal. Meski tidak semua berhasil, dia berani memastikan mayoritas TKI purna dalam pendampingannya lancar dalam usaha. [sub/voa/ ns/ab]

Rabu, 27 September 2017

Belajar Welas Asih Dari Fenomena Gunung Agung

Balikini.Net - Ketika aktivitas Gunung Agung di Kabupaten Karangasem dinyatakan meningkat, seketika itu juga ketakutan akan datangnya bahaya muncul. Ketakutan akan datangnya berbagai permasalahan juga mengemuka. Permasalahan tersebut mulai dari proses pengungsian, logistik, tempat pengungsian hingga masalah MCK dan keselamatan hewan peliharaan. Berbagai praduga menjadi bumbu, cerita, baik yang melihat dari sisi logika, ilmiah hingga spiritual.

Peningkatan status awas (level IV) pada 22 September 2017 dan diserta perluasan daerah rawan bencana berdampak pada peningkatan jumlah pengungsi. Berdasarkan data Pusdalops Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali hingga Selasa (26/9/2017) pukul 12.00 Wita tercatat jumlah pengungsi ancaman erupsi Gunung Agung mencapai 75.673 jiwa. Jumlah tersebut melebihi perkiraan  jumlah penduduk yang harus dievakuasi yaitu 62.000 jiwa sesuai pernyataan Wakil Bupati Karangasem. Pada 27 September 2017 jumlah pengungsi dilaporkan telah mencapai 82.825 jiwa

Derasnya arus pengungsian menyebabkan desa-desa di kawasan radius bahaya lengang. Hanya terdapat warga yang secara sadar dan sukarela bertahan untuk menjaga harta benda warga lainnya dari oknum-oknum usil. Kesadaran kembali untuk menjaga wilayah desa ditengah ancaman erupsi Gunung Agung. Kesadaran untuk membaktikan diri pada pertiwi kendati nyawa terancam. Kesadaran yang muncul tanpa adanya perintah, imbalan ataupun harapan akan balas jasa.

Kesadaran akan rasa kemanusian dan welas asih juga serta merta muncul di daerah pengungsian. Apalagi lokasi pengungsian tidak hanya ada di wilayah Kabupaten di sekitar kabupaten Karangasem. Lokasi pengungsian juga tersebar hingga Denpasar, Badung dan daerah lainnya. Secara merta merta juga warga masyarakat menawarkan tempat tinggal bagi para pengungsi Gunung Agung. Tentu ini bukan sebuah kebetulan, namun sebuah kesadarann yang muncul dan telah diwarisankan sejak lama bahwa hidup di Bali adalah “menyama braya”. Menyama braya menjadi konsep yang sangat universal karena memiliki makna plural dengan menghargai perbedaan dan menempatkan orang lain sebagai keluarga. Semangat menyama braya mengingatkan bahwa hidup perlu bermasyarakat dan bersosialisasi, sehingga terdapat kesadaran untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain. Kesadaran yang tulus untuk menolong para pengungsi juga seakan menjadi bantahan terhadap ungkapan yang selama ini mengatakan bahwa “nyame sube nyameh” (saudara yang tak lagi bersaudara).

Bantuan yang datang bukan semata sebatas tempat pengungsian. Berbagai bentuk bantuan dari rasa welas asih terkumpul di posko-posko pengungsian. Bantuan berupa beras, pakaian hingga selimut. Bahkan seorang petani organik melalui media sosial mengaku siap untuk memberikan bantuan sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan lauk bagi pengungsi. Semua bantuan yang diberikan kepada pengungsi jelas terlihat tanpa harapan adanya balasan. Semangat welas asih untuk membantu mendadak begitu tinggi dan ibarat sebuah keajaiban.

Dibalik sebuah kejadian tentu ada saja pihak yang memanfaatkan situasi demi keuntungan sesaat. Para pemilik ternak terpaksa menjual ternaknya dengan harga murah karena berpikir tak memiliki tempat aman untuk menaruh ternah. Harga ternak menjadi sangat murah karena prilaku oknum yang lupa rasa kemanusiaan. Namun dibalik semua kejadian tersebut, kembali gelombang welas asih memberikan naungan. Satu-per-satu datang tangan-tangan welas asih yang bersedia memberikan tempat penampungan ternak milik pengungsi. Bukan sebatas memberikan tempat, tangan-tangan welas asih tersebut juga bersedia membantu bekerjasama menyediakan pakan ternak. Apakah ini keajaiban atau rasa welas asih tersebut mulai tumbuh setelah terbenam diantara ego pribadi. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengakui bahwa modal sosial dan gotong royong masyarakat Bali luar biasa besar. Masyarakat secara spontan memberikan bantuan kepada pengungsi. Banyak pihak yang menyediakan rumahnya menjadi tempat pengungsi. Membantu evakuasi sapi dan menyediakan lahan untuk tempat pengungsian sapi. Bantuan permakanan dan dapur umum didirikan serta mendistribusikan ke masyarakat. Konsep "sister village" atau desa kembar langsung dipraktekkan saat ribuan masyarakat mengungsi dimana desa-desa yang aman menerima pengungsi dari desa-desa yang berbahaya.

Sutopo mengakui bahwa masyarakat Bali merupakan masyarakat  yang tangguh menghadapi bencana karena memiliki daya antisipasi. Mengingat.biasanya sulit sekali mengajak masyarakat untuk mengungsi dari gunung api. Bahkan saat gunung sudah Meletus, banyak masyarakat yang tetap tidak bersedia mengungsi. Sekarang masyarakat di sekitar Gunung Agung mengungsi secara mandiri.

Pada bagian lain, viral di media sosial terkait sambutan Bupati Klungkung yang sarat rasa welas asih saat menyapa para pengungsi. Dalam kutipan sambutan yang viral di media sosial tersebut Bupati Klungkung Nyoman Suwirta mengungkapkan semeton (saudara) bukan pengungsi, semeton bukan sengaja untuk meminta bantuan, semeton bukan peminta belas kasihan. Semeton adalah utusan bhatara sesuunan (dewa) untuk menguji rasa menyame braye sebagai karakter asli nyama Bali. Kata-kata Bupati Klungkung tersebut menunjukkan begitu tingginya rasa persaudaraan. Meletakkan rasa persaudaraan yang kuat sebagai sesame mahluk ciptaan tuhan.

Fenomena Gunung Agung seakan menjadi jalan untuk merekatkan rasa persaudaraan dan mengimplementasikan rasa kemanusiaan dalam kehidupan saat ini. Fenomena Gunung Agung seakan mengingatkan kembali bahwa Bali memiliki Konsep Tri Hita Karana. Konsep yang selama ini sering terucap tetapi sangat sudah diimplementasikan. Akhirnya Fenomena Gunung Agung menjadi momentum untuk kembali mengimplementasikan Tri Hita Karena dalam kehidupan keseharian. (mul/r5)

Senin, 18 September 2017

Festival Agribisnis Promosi Cukup Efektif Temui Pelaku Pasar

Denpasar (Balikini.net ) - Pelaksanaan Festival Agribisnis oleh Dinas Pertanian Bali dinilai sangat positif dalam upaya membantu petani meningkatkan produksinya termasuk pemasarannya. “Dengan adanya festival ini, kami dari Aspehorti sebagai parner Dinas Pertanian bisa bersama-sama dengan petani dan pelaku pasar untuk saling membantu dan memecahkan kendala yang dihadapi,” ujar Ketua Umum Aspehorti  (Asosiasi Pelaku Usaha Hortikultura) Bali Ir. I Wayan Sugiarta saat ditemui, Minggu (17/9) di sela- sela Festival Pertanian di Renon.

Dikatakan Sugiarta, Aspehorti sebagai parner Dinas Pertanian menghimpun kebersamaan dalam stand Aspehorti dan mendukung program pemerintah. “Kami berusaha menjembatani kepentingan petani dengan pasar dalam hal ini pariwisata.  Kami bahkan sudah mengadakan MoU antara petani dengan Aspehorti dan selanjunya antara Aspehorti dengan pelaku pasar (hotel),” jelas Sugiarta. Sehingga kami bisa membantu petani. Sebab selama ini kendala yang dihadapi adalah minumnya informasi pasar.

Dikatakan Sugiarta setelah hadirnya Aspehorti kendala yang dihadapi dapat dicarikan solusinya. “Kalau sebelumnya anggota kami hanya 80, kini sudah 120. Bahkan dengan keanggotaan yang banyak itu sudah ribuan petani dibina dan diberikan informasi pasar terkait produk dan kebutuhan pasar,” tambah Sugiarta.

Sementara salah satu pelaku bisnis padi organik, Ir. Ida Bagus Gede Arsana mengatakan beras organiki saat ini semakin banyak diminati. Bahkan pihaknya secara rutin memasarkan beras organik ke Jakarta, Bandung dan Bogor selain Bali. “Permintaan beras organik sangat tinggi, tiap bulan kami kirim 5-7 ton dan ini masih kurang karena permintaan terus meningkat,” jelas Dirut PT Bali Sri Organik yang menerapkan metode SRI (System of Rice Intensification) dalam penanam padi. Dengan sistem itu Arsana yang mantan Dirut Bank Saudara ini mampu menghasilkan tiga jenis beras yakni beras putih, merah dan hitam yang berkualitas tinggi. Dalam festival kali ini selain ditampilkan produk buah-buahan, sayuran juga aneka bunga. Festival Agribisnis 2017 ini sudah ketiga kali diselenggarakan oleh Dinas Tanaman Pangan,Hortikultura dan Perkebunan Bali yang mengangkat tema "Awali hari ceria dengan konsumsi produk pertanian lokal". Pameran diikuti 60 peserta dari 9 kabupaten dan Kota Denpasar yang diselenggarakan dari tanggal 15-19 September 2017. Pada festival ini selain dimeriahkan bondres, music juga dilaksanakan undian dengan hadiah utama mobil. Menurut panitia, pengunjung festival tahun ini 2 x lipat dari tahun sebelumnya. (tm/al/r5)

Sabtu, 02 September 2017

Ramah Lingkungan, DSM Salurkan Daging Qurban dengan Besek Bambu

Denpasar (balikini.net)   Hari Raya Qurban yang jatuh pada Jumat (01/09/17) diharapkan menjadi sebuah keberkahan tak hanya untuk umat Islam namun juga untuk semuanya. Pembagian daging kali ini berbeda seperti pada umumnya,  DSM (Dompet Sosial Madani) menggunakan besek bambu alami dalam pendistribusian daging. 

"Penggunaan besek ini merupakan pengganti kresek atau plastik. Hal ini bisa mengurangi sampah plastik yang tak bisa didaur oleh alam. Dengan besek daging juga lebih aman dari kontaminasi bahan kimia plastik, lebih sehat serta membantu para pengrajin besek untuk lebih sejahtera." Jelas Andy Krisna, direktur DSM.

Bagian bawah besek dilapisi daun pisang, daun jati, atau daun lain, sehingga kelestarian alam tetap terjaga.

Program Qurban ke Pelosok DSM tahun ini mengambil tema Qurban Bukti Iman dengan menjangkau pelosok Bali, NTB, NTT, Kepulauan Sepeken dan Palestina.

Per tanggal 31 Agustus Jumlah hewan qurban sebanyak 361 ekor, terdiri dari patungan sapi 109 ekor, kambing 211 ekor, sapi 31 ekor, dan domba palestina sebanyak 10 ekor yang disalurkan di Gaza Palestina.  Terakhir transaksi hewan qurban diterima di hari tasyrik 2 yaitu 3 September.

Dengan misi bersama peduli sesama, DSM terus berupaya untuk menjaga dan melaksanakan amanah yang telah para pequrban berikan (Nur/r7)

Rabu, 16 Agustus 2017

GIGIR MANUK, Jajaran Pura Kuno Yang Menguak Tabir Sejarah Nusantara

Balikini.net - Tidak banyak masyarakat yang mengenal wilayah “Gigir Manuk”, namun dalam beberapa sumber literatur tua wilayah ini banyak disebut sebagai wilayah awal pembentukan peradaban Pulau Bali. Gigir Manuk adalah wilayah yang berada di titik paling utara dari pulau Bali. Dan jika melihat pada bentuk pulau bali yang menyerupai ayam (manuk), wilayah tersebut tepat berada di punggung (gigir/geger) dari Pulau Bali. Letak wilayahnya yang berada di punggung Pulau Bali ini yang menjadi cikal-bakal penyebutan Gigir Manuk. Wilayah Gigir Manuk tersebut, sesuai dengan komposisi peninggalan arkeologisnya meliputi Desa Bungkulan, Kubutambahan, Sangsit dan sekitarnya  yang dulunya merupakan satu wilayah besar yang saling terkait dengan Desa Bungkulan sebagai titik pusatnya. Terdapat puluhan situs arkeologis yang merupakan peninggalan era awal nusantara di wilayah tersebut yang membentuk komposisi sebuah pusat pemerintahan di masa lalu. Situs arkeologis tersebut berupa jajaran Pura Kuno yang menyimpan data berupa pola perlambang tentang sejarah nusantara di masa lalu. Meskipun sebagian dari Pura Kuno tersebut sudah mengalami pemugaran sehingga menghilangkan sebagian data perlambangnya, namun masih bisa ditelusuri sejarahnya dari data perlambang yang disisakan.
Diantara peninggalan arkeologis penting diantaranya adalah: Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan, Pura Kawitan Dalem Alit, Pura Dalem Purwa, Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, Pura Dalem Balingkang, Pura Agung, Pura Negara Penyucian, Pura Pasek, Pura Sari Besikan, Pura Segara yang semuanya berada di wilayah Desa Bungkulan, Buleleng. Di wilayah Kubutambahan terdapat Pura Meduwe Karang dan Pura Patih serta Pura Beji yang berada di wilayah Sangsit. Masih banyak situs lain yang berada di wilayah Gigir Manuk tersebut, yang akan disajikan pada kesempatan yang lain.
Menurut Iwan Pranajaya, titik pusat dari seluruh jajaran peninggalan arkeologis tersebut adalah dua Pura Kawitan yang berdiri berdampingan, yakni Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang merupakan Pura Kawitan Raja-Raja Nusantara serta Pura Kawitan Dalem Alit yang merupakan Pura Kawitan dari Raja-Raja Trah Sunda.
Di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan tersimpan data perlambang yang memuat jatidiri tokoh-tokoh besar nusantara seperti Sri Jayapangus, Sri Udayana, Gajah Mada, Kebo Iwa, Singamendawa, Anak Wungsu, Dalem Waturenggong dan tokoh-tokoh besar lainnya. Pura tersebut juga menyimpan puluhan stempel penting nusantara, diantaranya Stempel Surya Majapahit, Stempel Raja Udayana, Stempel Kebo Iwa, dan lainnya. Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan juga terkait erat dengan keberadaan situs Candi Tebing Gunung Kawi di Tampak Siring, Gianyar, Bali.  Sementara di Pura Kawitan Dalem Alit menyimpan data perlambang terkait dengan keberadaan Prabu Siliwangi, serta data-data perlambang terkait dengan Trah Sunda.
Kedua Pura Kawitan yang menjadi central tersebut didampingi dengan keberadaan Pura Dalem Purwa yang merupakan Pedharman dari Raja-Raja Nusantara, juga keberadaan Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, dan Pura Negara Penyucian yang merupakan indikasi adanya sebuah Pusat Pemerintahan Besar di Wilayah tersebut, serta Pura kuno lainnya yang data perlambangnya saling berhubungan satu sama lain termasuk keberadaan Pura Dalem Balingkang yang jarang diketahui oleh masyarakat Bali.
Terdapat juga dua Pura Kuno yang bersifat monumental di area Kubutambahan, yakni Pura Meduwe Karang yang merupakan simbol dari keberadaan penguasa tertinggi di wilayah Gigir Manuk,  Pura Patih yang merupakan simbol dari adanya konsep Mahapatih (Maharaja yang mengambil posisi mendampingi Raja-Raja di seluruh wilayah), serta Pura Beji Sangsit yang banyak memuat data tokoh-tokoh besar tersebut. Ketiga Pura Kuno tersebut sesuai data perlambangnya, merupakan data penguat dari Pemerintahan Besar yang berpusat di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan.
Menurut hasil penelitian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit, wilayah Bungkulan dan sekitarnya (Gigir Manuk) memang merupakan sebuah Pusat Pemerintahan Besar pada masanya. Dan berdasarkan data perlambang yang tertera pada jajaran Pura Kuno tersebut, wilayah tersebut memang merupakan Pusat Pemerintahan nusantara dari era Mataram Kuno hingga Majapahit. “Fakta ini memang mengejutkan namun karena bukti-bukti yang ada sangat valid dan ilmiah, perlahan baik masyarakat umum maupun kalangan akademisi sejarah dan arkeologi mulai bisa melihat kebenaran dan menerima hasil penelitian kami. Konsultasi dengan pihak terkait memang kami lakukan secara intens seperti dengan Universitas Udayana, ahli-ahli sejarah, budaya dan arkeologi, termasuk dengan PHDI dan masyarakat umum” ungkap Iwan Pranajaya pada salah satu kesempatan. Hasil kajian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit memang memberi dampak yang sangat positif, dimana masyarakat yang telah teredukasi tentang adanya data sejarah berupa pola perlambang di Pura Kuno yang tersebar di seluruh Bali menjadi aktif berpartisipasi dalam upaya-upaya pelestarian Pura Kuno di Bali. Proses pemugaran pura-pun kini terlihat lebih selektif dan berhati-hati, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa adanya arus politik yang memanfaatkan dana bansos seringkali menjadi penyebab rusak dan hilangnya data perlambang karena dana bansos cenderung diarahkan untuk pemugaran Pura tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Balai Cagar Budaya maupun pihak-pihak terkait yang paham proses renovasi Pura yang benar. (ctr/jro/r7)

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved