Balikini.Net - Komisi Penyiaran
Indonesia Daerah (KPID) Bali diharapkan tidak melakukan pembiaran terhadap
maraknya siaran iklan pengobatan alternatif di lembaga penyiaran. KPID Bali
juga diharapkan segera memanggil dan memberikan sanksi bagi lembaga penyiaran
yang tetap menyiarkan jasa pengobatan alternative yang tidak memiliki ijin.
Harapan tersebut disampaikan Konsultan Bali Broadcast Academia (BBA) I Nengah
Muliarta saat ditemui di Kampus BBA Jl. Suli-Denpasar (2/5/2017).
Menurut mantan reporter
Voice of America (VOA) tersebut, sangat disayangkan siaran iklan pengobatan alternatif
kembali marak di lembaga penyiaran dan justru terkesan terjadi pembiaran.
Semestinya dengan alat monitoring yang dimiliki KPID Bali melakukan pemantauan
dan melakukan evaluasi terhadap siaran iklan pengobatan alternatif yang
disiarkan lembaga penyiaran. “KPID Bali harus mengkonfirmasi ke lembaga
penyiaran, apakah jasa pengobatan yang diiklankan memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan Surat
Izin Penyehat Tradisional (SIPT). Hanya pemegang SIPT yang berhak melakukan
promosi” ujar Muliarta.
Muliarta
menegaskan sangat disayangkan terhadap kembali maraknya siaran iklan pengobatan
alternatif. Padahal sebelumnya dengan adanya dengan keluarnya Keputusan
Gubernur Bali Nomor 532/03-B/HK/2016 tentang tim pembina dan pengawas
khusus untuk pengobatan alternatif dan tradisional, siaran iklan
pengobatan sempat tidak ada di lembaga penyiaran. “ini terkait komitmen dari
lembaga penyiaran, KPID Bali harus memberikan sanksi dan mempertimbangkan
kembali untuk memberikan rekomendasi kelayakan perpanjangan ijin lembaga
penyiaran tersebut” tegas Muliarta.
Muliarta memaparkan
jika dicermati Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran,
terutama pasal 36 ayat (5) poin a ditegaskan bahwa “isi siaran dilarang
bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan
dan/atau bohong”. Pelanggaran terhadap pasal 36 ayat (5) seperti yang
tertuang dalam padal 57 adalah berupa pidana penjara 5 tahun dan atau denda
Rp.1 miliar untuk penyiaran radio. Sedangkan untuk penyiaran televisi pidana
penjara selama 5 tahun dan atau denda Rp. 10 miliar.
Begitu juga aturan
terkait siaran kesehatan pada lembaga penyiaran juga telah dituangkan dalam
peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang
Standar Program Siaran. Pada pasal 11 ayat (3) disebutkan program siaran yang
berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa
pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga
berwenang”. “Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka lembaga penyiaran berhak
menayakan izin dari jasa pelayanan kesehatan yang ingin berpromosi” jelas
Muliarta.
Muliarta mengungkapkan
lembaga penyiaran hanya boleh menyiarkan (program
atau iklan) seputar jasa pelayanan kesehatan masyarakat (pengobatan alternatif
atau pengobatan modern) yang sudah melalui proses perizinan dari lembaga yang
berwenang. Langkah ini merupakan upaya untuk memberikan
perlindungan kepada publik. Menayakan legalitas juga merupakan langkah proteksi
bagi lembaga penyiaran. Sebab jika diperhatikan dalam Pasal 46 Ayat 5
UU Penyiaran menyebutkan bahwa “siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi
tanggung jawab lembaga penyiaran”. Klausul pasal ini menjelaskan bahwa lembaga
penyiaran mempunyai konsekuensi hukum dalam menyiarkan iklan niaga, tak
terkecuali iklan pengobatan alternatif.
Hasil pendataan Dinas
kesehatan Bali di Bali terdapat sekitar 3.024 jasa pengobatan alternatif dan
hanya sekitar 5 persen yang memiliki ijin. Sedangkan dari hasil uji petik
pembinaan kepada 6 sarana pengobatan alternatif di Denpasar menunjukan
keseluruhanya tidak memiliki izin. Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan
pada 13-14 Pebruari 2014 juga menunjukkan bahwa jasa pengobatan tersebut telah
menyesatkan masyarakat. Parahnya dalam obat yang diberikan kepada pasien
terkadang dicampur dengan antibiotik, padahal jika salah menggunakan antibiotik
dapat menjadi racun.
Muliarta menambahkan yang cukup disayangkan adalah
kembali digunakanya format testimony dalam siaran pengobatan. Pada kenyataanya testimoni
tersebut justru menjerumuskan pasien lainnya. Masyarakat akan terjebak untuk
ikut mencoba akibat adanya testimoni. Dimana testimoni yang disampaikan diduga
tidak jujur karena diberikan oleh orang yang bukan pasien atau pengguna jasa
pengobatan yang dipromosikan. Hal ini tentunya bertentangan dengan pasal 4
Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Dalam pasal 4
tersebut dijelaskan bahwa “hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar,
jelas dan jujur”. Pasal 5 poin i Undang-Undang Penyiaran juga telah
mengamanatkan bahwa “ penyiaran diarahkan untuk memberikan informasi yang
benar, seimbang dan bertanggungjawab”.
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram