-->

Selasa, 29 Agustus 2017

Bank Naga Hadir dengan Logo dan Gedung Baru

Denpasar (balikini.net) - Bergerak di bidang jasa keuangan maka yang menjadi modal utama adalah kepercayaan dan kehati hatian. “Kepercayaan diperoleh melalui integritas serta komitmen untuk patuh pada ketentuan yang berlaku,” tegas Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Naga Putu Sudiatmaja yang ditemui saat persiapan grand opening logo dan Kantor Pusat Bank Naga yang baru di Batubulan Gianyar Bali Selasa (29/8) sore.  Grand opening hari ini menandai resminya Bank Naga beroperasi di gedung baru yang beralamat di Jalan Raya Batu Bulan No 36 Gianyar Bali . 

Upaya lainnya adalah dengan terus membenahi corporate culture, manajemen, strategi bisnis serta visi misi perusahaan. “Iklim usaha jasa keuangan berkembang pesat sehingga pembenahan terus menerus mutlak dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi,” jelas praktisi perbankan yang sudah cukup lama malang melintang di dunia perbankan Bali ini.
Pihaknya berharap kehadiran logo dan kantor baru Bank Naga akan memberikan semangat baru dalam memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat Bali. “Bukan hanya gedung dan logo yang baru, tapi jajaran direksi dan sebagian besar staf adalah wajah baru dengan semangat baru untuk memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat,” ujarnya. Ditambahkannya spirit baru dapat memberi nuansa yang berbeda dalam bisnis perbankan di Bali. “Kami hadir untuk bersama sama lembaga keuangan lainnya, membangun dan menumbuhkan perekonomian masyarakat Bali,” jelas Dirut Putu Sudiatmaja. Direksi Bank Naga optimis spirit tersebut akan menjadikan bank ini sebagai salah satu lembaga keuangan yang semakin dipercaya masyarakat. 

Sementara itu Komisaris Utama I Wayan Sumertha menambahkan bahwa Bank Naga yang menjadi salah satu unit bisnis UC Silver Grup telah berhasil membukukan aset Rp 40 Milyar dan modal lebih dari 7 Milyar. “Saat mengakuisisi BPR Dana Ayu Semesta tahun 2013 tercatat aset sebesar Rp 6 Milyar dan modal Rp 2,8 Milyar,” tegasnya. Pengembangan Bank Naga didukung penuh oleh UC Silver Grup yang bidang utamanya adalah eksporter perhiasan emas perak dan kini telah merambah bidang perhotelan, retail, distribusi bahan bakar dan perbankan. Dukungan ini ditunjukkan dengan membangun gedung baru yang representatif di kawasan strategis berdekatan dengan pusat perekonomian Kota Denpasar. “Dukungan ini menunjukkan bahwa UC Silver Grup berkomitmen untuk menjadikan Bank Naga sebagai salah satu bisnis intinya,” tegas I Wayan Sumertha.

Mengusung tagline “Menuju Kemakmuran Bersama” jajaran direksi Bank Naga berharap kehadirannya bisa memberi andil yang signifikan bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat. “Perekonomian yang didukung lembaga keuangan yang baik dan sehat akan dapat menumbuhkan kesejahteraan masyarakat,” jelas Dirut Bank Naga Putu Suditmaja. 

Saat grand opening Direksi Bank Naga mengundang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan Bali, Pengurus dan BPR anggota Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Bali dan Gianyar dan seluruh relasi UC Silver Grup beserta nasabah Bank Naga. (der/r5)

Sabtu, 23 Juli 2016

SENI LUKIS KLASIK BALI

gunarsa (balikini)
Balikini.Net -Kata 'klasik' dalam seni lukis klasik Bali, adalah salah satu usaha Nyoman Gunarsa yang sudah menjadi obsesinya bertahun-tahun semenjak menjadi Dosen di ISI Yogyakarta, karena pendidikan sejarah seni rupa Barat tentang seni klasik Yunani, Romawi sangat meyakinkan dirinya, bahwa di Bali seni klasik itu sudah ada pada abad XVI sebagai tandingan seni dari Timur (Oriental Art).   
Hal ini sudah dilakoninya bertahun-tahun mengadakan penelitian lewat study tour mahasiswa ISI Yogyakarta, dari tahun 1978 sampai menjelang pensiun, untuk mendirikan Museum Seni Lukis Klasik Bali di Klungkung 1989.   
Salah satu usaha Sang Maestro Nyoman Gunarsa untuk menaikkan derajat seni lukis tradisional Bali, yang sudah dicap turun-temurun oleh penulis-penulis asing. Lihatlah buku-buku tulisan Prof DR Anthony Forge dari ANU University Canberra atau buku 'Bali' oleh DR Goris, ataupun katalogus-katalogus asing lainnya dari Museum Colorado - USA, semua mengucapkan/menyebut kata tradisional.   
Menyikapi hal tersebut Sang Maestro Nyoman Gunarsa yang juga sebagai mantan Dosen ISI Yogyakarta, membentuk Yayasan Seni Lukis Klasik Bali bersamaan dengan museumnya dengan koleksi-koleksi yang berasal dari berbagai daerah/kabupaten se-Bali tahun 1989, dan tahun 1994 telah diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof DR Ing Wardiman Djoyonegoro.   
Sejak itu pelan-pelan nama tradisi yang menyelimuti seni lukis yang disebut tradisional itu dihapus karena memiliki dasar filosofi, estetika, etika, magic, palelintangan, uku, dan sebagainya, dibersihkan dari persepsi tradisional ke klasik yang artinya suatu mahakarya yang telah diciptakan oleh para tokoh-tokoh kritis Bali pada masa zaman keemasan itu dengan dasar filosofi, yang dalam bentuk dan teknik yang tinggi, karena memakai aturan-aturan/pola-pola, bentuk-bentuk simbol yang khas menjadikan kita wajib mengagungkan karya tersebut sebagai karya seni klasik Bali.
   
Dulu kala pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong sewaktu Bali mencapai zaman keemasannya semua berpusat di Swecapura Gelgel dan sekitarnya, seperti seni tari, seni tabuh, seni ukir, sastra, seni patung, seni arsitektur, termasuk seni lukis klasik Bali yang kini kita warisi dan masih bisa kita saksikan di Desa Kamasan Gelgel. Semua hasil-hasil kesenian pada zaman keemasan Bali pada waktu itu tidak lain fungsinya adalah untuk sarana mengagungkan Agama Hindu Bali (baca Siwa Budha).    
Terjadinya masa keemasan seni budaya Hindu Bali tersebut, karena adanya hubungan Majapahit dengan Swecapura Gelgel terputus, karena adanya Perang Paregreg di Majapahit, dan semakin kuatnya perkembangan Agama Islam di Jawa. Keterpurukan tersebut menjadikan Bali mandiri di dalam segala hal termasuk karya cipta seni lukis klasik Bali. Semua nilai-nilai filosofi dan teknik mengacu kepada nilai-nilai filosofi Agama Hindu. Salah seorang tokoh pada zaman itu bernama I Gede Modara, adalah maestronya seni lukis klasik Bali yang masih bisa kita saksikan karyanya di Nyoman Gunarsa Museum (NGM), yang menurunkan cantrik-cantrik sampai sekarang di Kamasan.    
Di Desa Kerambitan pada masa terakhir setelah I Gusti Agung Maruti memberontak dan menjadi raja di Gelgel, lahir seni lukis klasik Bali gaya Kerambitan, Tabanan dengan tokoh-tokohnya I Gusti Wayan Kopang dan I Macong. Beberapa karya-karyanya masih bisa kita saksikan di Museum NGM ataupun Puri Kerambitan. Kita sebut seni lukis klasik Bali gaya Kerambitan tersebut, karena tidak jauh beda dengan seni lukis yang berkembang di Kamasan dengan berbagai aturan-aturan filosofis dengan teknik yang ketat.    
Di Singaraja juga muncul seni lukis klasik Bali yang serupa dengan Kamasan pada abad setelah jatuhnya Gelgel di tangan I Gusti Agung Maruti dengan gaya Buleleng yang sangat dekat dengan ukiran-ukiran relief pada pemedal candi-candi di Bali Utara, lebih dinamis dengan patra-patranya lebih bebas namun tetap mengacu pada nilai-nilai klasik seperti di Kamasan. Salah seorang tokohnya adalah I Ketut Gde abad XIX, contohnya masih bisa kita saksikan di Museum NGM berupa ider-ider kuno. Demikian juga di Batuan ada berkembang seni lukis klasik Bali memakai aturan-aturan klasik seperti Kamasan, hal ini bisa dibuktikan keberadaannya koleksinya di Museum NGM.   
Dari paparan-paparan tersebut di atas, Sang Maestro meyakinkan dunia, bahwa di Bali telah lahir Mashab Seni Lukis Klasik Bali di seluruh kepulauan, yang puncaknya pada abad XVI sewaktu pemerintahan Dalem Waturenggong. Pada masa Raja-Raja Bali Kuno sewaktu pemerintahan berpusat di Bedahulu, seni rupa di Bali tidak jauh beda dengan seni rupa zaman Daha, Kediri, Singosari, ataupun Majapahit, karena ada hubungan yang begitu kental Raja-Raja Bali dengan Raja-Raja Jawa Timur. Sebagai langkah yang lebih konkret tentang pernyataan seni lukis klasik Bali, Maestro Nyoman Gunarsa mengadakan Festival Internasional Seni Lukis Klasik Bali yang diikuti tidak kurang dari tujuh negara adidaya dunia ikut terlibat antara lain Australia, Switzerland, Perancis, German, Amerika, Belanda dan Indonesia, baik dari Bali, Yogyakarta dan Jakarta, di Museum NGM.   
Dari situ nampak jelas kebenaran akan arti pernyataan dan argumentasi Nyoman Gunarsa tentang seni lukis klasik Bali memang ada, dan kata 'klasik' tersebut merupakan sebutan untuk menamai karya-karya yang berkelas karena memiliki dasar filosofi, dan teknik yang khas dimiliki Bali dan hanya berkembang di Pulau Bali saja. Berbagai komentar dari para ahli seni dan sejarah dapat kita baca komentarnya tentang kata 'klasik' untuk menamai seni lukis klasik Bali antara lain:
1. Prof DR AA Wirawan
Saudara-saudara dari Kamasan jangan merasa bangga dengan diberikan predikat 'Seni Lukis      Klasik Kamasan Bali' oleh pemerintah, harus diingat bahwa kata 'klasik' itu adalah usaha Nyoman Gunarsa untuk menaikkan derajat yang semua sering disebut seni lukis tradisional Kamasan oleh penulis-penulis asing.
2. Prof DR I Made Bandem MA
Dilihat dari isinya, Nyoman Gunarsa Museum ini memiliki koleksi seni lukis klasik Bali yang amat tinggi mutunya, menampilkan gaya (isi dan bentuk) seni lukis yang sangat khas. Keunikan dari koleksi ini adalah dipajangnya berpuluh-puluh lukisan klasik gaya Bali yang dikumpulkan dari seluruh dunia yang pada umumnya mengambil tema dari Epos Ramayana, Mahabharata, Roman Panji (Malat), Wiracarita Tantri, Ceritera Calonarang, dan Rerajahan dengan tema 'blac-magic'. Meminjam tipologi dari Prof Anthony Forge yang ditulis dalam bukunya yang bertajuk 'Balinese Traditional Paintings' bahwa lukisan-lukisan tradisional itu digolongkan menjadi lukisan tabing, langse, ider-ider, langit-langit, kober dan lelontek. Nyoman Gunarsa sangat cerdas untuk merintis dan menambahkan kata sifat 'klasik' pada lukisan-lukisan Bali yang diciptakan pada abad pertengahan tersebut menjadi 'Seni Lukis Klasik Bali'.
3. Prof Emeritus Peter Worsley
Layak disebut juga sebagai satu set boneka wayang dari Gelgel. Dari istana Sueca Pura di Gelgel, koleksi ini memuat sebanyak 300 boneka, yang dipahat dan dilukis dengan baik dan diberi sentuhan emas, digunakan untuk pertunjukan Mahabharata dan Ramayana. Akhirnya terdapat sebilah keris yang dibuat secara luar biasa dari Julah di Buleleng, satu lagi dari Singaraja dengan bilah yang dibuat antara 1908 dan 1920 di mana terdapat mahkota Wilhelmina sebagai bagian dari insignia dari pemerintah kolonial Belanda. Terdapat 'kris' yang lain dari Kusumba dan Sampalan di Klungkung, dan ada pula dari istana kerajaan di Gelgel, Karangasem, Singaraja. Variasi dan kualitas karya yang ditampilkan, sebaran budayanya dari seluruh Bali dan kedalaman historisnya memberikan koleksi di Museum Lukisan Bali Klasik Nyoman Gunarsa sebuah nilai penting nasional dan internasional dan membuatnya cocok untuk dipertimbangkan dalam daftar warisan dunia.    
Kini salah satu dari seni lukis klasik Bali itu terutama yang berasal dari Kamasan, telah diakui pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Dengan demikian usaha Sang Maestro untuk mengangkat derajat seni lukis klasik Bali menjadi terbukti, dan dunia secara otomatis telah mengakuinya. Demikian juga seni tari Bali dengan gaya dan gerakan tangan, kaki, badan dan mata yang dinamis diiringi suara gamelan yang dinamis pula, telah diakui oleh Lembaga Badan Pelestarian Dunia 'UNESCO' sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda.
   
Lahirnya seni tari Bali tersebut bersamaan dengan seni lukis klasik Bali, seni patung dengan gerak tariannya, arsitektur dengan Asta Kosala Kosalinya, seni sastra dengan kekawin Arjuna Wiwaha, Ramayana, Mahabharata, dan lain-lain, adalah merupakan puncak-puncaknya seni budaya Bali pada abad XVI itu pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong. Kini koleksi Museum Seni Lukis Klasik Bali 'Nyoman Gunarsa Museum' menjadi bukti dalam sejarah seni rupa Bali, sebagai satu-satunya peninggalan yang amat penting sebagai sumber penelitian dunia dan patut diperjuangkan sebagai kandidat Warisan Budaya Dunia. (vivi/r7)
© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved