Balikini.net - Lembaga
penyiaran radio memiliki peran strategis dalam penyebarluasan informasi kepada
masyarakat. Radio dengan kegiatan penyiaran yang dilakukan merupakan bentuk
kegiatan komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media informasi,
pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan sebagai perekat sosial. Radio
memiliki kekuatan audio untuk mempengaruhi masyarakat pendengarnya. Penyiar
radio menjadi ujung tombak bagi radio untuk menyampaikan informasi,
pendidikan, dan hiburan kepada
masyarakat.
Permasalahanya
sering kali penyiar radio bersiaran tanpa naskah radio, entah karena merasa
sudah senior, sudah mampu atau bahkan menganggap naskah siaran radio tidak
penting-penting amat. Maka tidak jarang mendengar penyiaran radio saat
bersiaran hanya menyampaikan judul lagu, membacakan kiriman salam atau sekedar
menjadi jam becker. Bahkan tidak jarang penyiar radio menyampaikan topik
pembicaraan yang sama secara berulang-ulang dalam siarannya.
Bersiaran
tanpa naskah membuat seorang penyiar radio tidak jauh bedanya dengan sedang
mengigau. Bagaimana seorang penyiar radio akan mempengaruhi pendengarnya jika
hanya mengigau? Bagaimana seorang penyiar radio akan memberikan informasi yang
bermanfaat jika bersiaran tanpa bahan siaran yang akan disampaikan kepada
pendengarnya? Secara teori, radio adalah “theatre
of mind” yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengembangkan
imajinasi pendengarnya dengan kekuatan suara lewat kata-kata penyiarnya.
Tentunya menjadi tanda Tanya, bagaimana seorang penyiar yang bersiaran tanpa
naskah akan mampu mempengaruhi imajinasi pendengarnya jika tanpa persiapan dan
tanpa naskah? Apakah siaran yang disampaikan benar dan dapat dipercaya?. Bagi
seorang penyiar radio tentunya bersiaran tanpa naskah atau bahan siaran tidak
ada bedanya dengan menjadi seorang petugas operator di studio. Apalagi
pendengar tidak mendapatkan nilai tambah saat mendengarkan siaran sang penyiar.
Selama
ini, naskah radio hanya dipandang perlu ketika penyiar radio akan membacakan
sebuah berita radio. Padahal apapun format acara radio dan juga segmentasi
radio tetap perlu naskah siaran. Ibaratnya dalam bersiaran “apapun yang
disiarkan, itulah yang ditulis dan apapun yang ditulis, itulah yang disiarkan.
Informasi sekecil apapun yang akan disiarkan tentunya harus dibuatkan naskah
siaran. Naskah siaran menjadi cara sederhana agar informasi yang disampaikan
tidak rancu sehingga dapat disampaikan secara singkat, aktual, dan jelas dalam
pengucapan.
Seorang
penyiar tentunya tidak akan mampu secara spontan menyusun alur cerita, fakta,
data dan pemikiran secara terstruktur. Perlu suatu persiapan yang baik sehingga
penting dituangkan dalam satu naskah siaran. Naskah radio menjadi cara
sederhana bagi seorang penyiar untuk menyampaikan alur pikiran secara logis dan
terstruktur. Naskah siaran akan menuntun penyiar dalam menjaga alur bertutur.
Ketersediaan naskah siaran akan mempermudah penyiar dalam memahami informasi
yang akan disampaikan. Namun harus juga diingat dalam mempersiapkan naskah
radio sangat berbeda dengan mempersiapkan informasi di media cetak. Menulis
naskah siaran radio adalah menulis untuk telingan, sehingga harus singkat,
jelas, aktual dan jelas dalam pengucapan.
Naskah siaran radio akan membantu mempermudah penyiar dalam
menyampaikan ide atau gagasan kepada pendengarnya. Sebuah ide atau gagasan
tentu harus disampaikan secara terstruktur. Namun keterbatasan durasi dalam
siaran menyebabkan penyiar tidak akan mampu menyampaikan secara detail. Dengan
menyusun ide atau gagasan tersebut dalam sebuah naskah siaran maka akan dapat
dibuat secara ringkas, singkat, jelas dan menggunakan kata-kata yang sederhana.
Pentingnya menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti adalah
agar pendengar yang tidak mampu membaca dan menulis juga mengerti apa yang
disampaikan penyiar radio.
Naskah siaran radio memiliki nilai penting karena dapat dijadikan
arsip atau dokumentasi siaran. Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 45
ayat (1) disebutkan “lembaga penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk
rekaman audio, rekaman video, foto dan dokumen sekurang-kurangnya untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun setelah disiarkan”. Pada ayat (2) disebutkan “bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai
informasi, atau nilai penyiaran yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga
yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku”. Aturan terkait dokumen siaran juga termuat dalam Peraturan
Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar
Program Siaran (SPS) pada Pasal 74. Dimana pada ayat (1) disebutkan “lembaga
penyiaran wajib menyimpan materi rekaman program siaran secara baik dan benar
paling sedikit selama satu tahun setelah disiarkan”. Pada ayat (2) disebutkan
“untuk kepentingan penelitian, penilaian, dan/atau proses pengambilan keputusan
sanksi administratif oleh KPI berdasarkan aduan masyarakat, lembaga penyiaran
wajib menyerahkan materi rekaman program siaran yang diadukan bila diminta KPI
secara resmi”. Bagi lembaga penyiaran arsip naskah siaran dapat menjadi bahan
pembelaan saat terdapat tudingan pelanggaran siaran atau saat mendapat sanksi
dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika tidak terdapat arsip naskah siaran
ataupun rekaman siaran tentu lembaga penyiaran tidak akan mampu membela diri,
apalagi memberikan tanggapan ketika terdapat sanksi dari KPI.
Naskah siaran pada dasarnya juga merupakan pagar pembatas bagi
penyiar agar bersiaran sesuai rambu-rambu yang berlaku. Rambu-rambu tersebut
adalah Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dengan
adanya naskah siaran maka penyiar tinggal membaca naskah siaran tanpa rasa
takut akan adanya kesalahan dalam penyampaian informasi. Jika tanpa naskah
siaran maka besar kemungkinan dalam pemilihan kata penyiar akan vulgar dan
tanpa control menyampaikan informasi. Apalagi dalam P3 dan SPS terdapat pedoman
terkait pembatasan informasi yang bernuansa porno, mengandung kekerasan,
perjudian, minuman keras dan lain-lain. Apabila informasi telah disusun dalam
naskah siaran, maka baik produser, editor maupun kepala pemberitaan dapat
melakukan sensor internal terhadap naskah sebelum disiarkan.
Pada sisi lain, naskah siaran radio
juga upaya untuk menghindari over lapping informasi yang disampaikan
antara penyiar yang satu dengan yang lainnya. over lapping informasi kemungkinanya besar sekali terjadi apabila
penyiar cuap-cuap tanpa naskah siaran. Apalagi jika kemudian penyiar mengambil
informasi dari sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
keakuratannya. Belum lagi jika penyiar mengambil informasi dari satu sumber dan
tidak membandingkan dengan sumber lainnya. Apabila kondisi ini terjadi maka
yang menjadi korban adalah pendengar. Padahal pendengar berharap mendapatkan
informasi yang benar dan akurat sesuai fakta.
Kemungkinan permasalahan lainnya ketika penyiar bersiaran
tanpa naskah adalah besar kemungkinan penyiar akan beropini. Beropini dalam
artian, penyiar akan memberikan opini pribadinya terhadap suatu informasi. Padahal
tugas seorang penyiar adalah menyiarkan informasi, bukan memberikan komentar
atau opini pribadi. Sedikit saja penyiar menambahkan opini pribadinya maka
secara langsung ataupun tidak, akan mempengaruhi persepsi pendengar. Seperti
halnya seorang wartawan ketika menulis berita, sangat dilarang menambahkan
opini pribadi dalam berita yang ditulisnya. Penambahan opini pribadi dapat
menyebabkan penyimpangan informasi dan menimbulkan persepsi yang salah pada
pendengar radio.
Dalam prakteknya, khususnya di Bali sangat jarang penyiar
radio bersiaran menggunakan naskah siaran. Beberapa alasan yang menjadi alasan
diantaranya sudah biasa bersiaran tanpa naskah, hanya siaran musik hingga
alasan tidak diwajibkan oleh pihak manajemen. Alasan lain yang cukup
menggelitik yaitu honor rendah sehingga malas menyiapkan naskah siaran, belum
lagi di studio radio tidak ada petugas penulis naskah siaran. Alasan-alasan
tersebut seakan menjadi pembenar dan akhirnya pendengar tidak mendapatkan
informasi apapun dari media radio.
Beberapa penyiar ada yang mencoba melengkapi siarannya
dengan tambahan informasi yang diambil dari media cetak. Sayangnya
kalimat-kalimat dalam media cetak tersebut langsung di baca tanpa mengubahnya
terlebih dahulu dalam bentuk format radio. Hasilnya penyiar akan ngos-ngosan
membaca informasi, karena kalimat dalam media cetak cenderung panjang dan
kalimat bertingkat. Informasi yang sampaikan juga menjadi sangat rinci sehingga
memerlukan durasi yang panjang. Padahal karakteristik informasi radio adalah
padat, singkat, jelas dan akurat. [r7/]
Oleh :I Nengah Muliarta
Praktisi Penyiaran Bali dan Konsultan Bali Broadcast Academia
(BBA)
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram