Bali Kini - Hari raya Nyepi merupakan
perayaan tahun baru Saka. Hari ini diyakini sebagai sebuah
dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu
seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Hari ini juga merupakan hari penyucian dewa-dewa yang
berada di pusat samudera yang membawa intisari kehidupan. Untuk itu umat Hindu
melakukan pemujaan suci dengan tapa Amati Karya, Amati Geni, Amati Lelungan dan
Amati Lelangon.
Namun Nyepi tahun Caka
1942 yang jatuh pada tanggal 25 Maret 2020, sedikit berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya. Nyepi tahun ini diwarnai wabah virus Korona yang menyerang berbagai
belahan dunia. Wabah Covid-19 ini membuat dunia meringis, tak hanya Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan negara di kawasan Asia,
negara-negara maju seperti Amerika, Cina, Itali, Perancis, dan Rusia juga
kelimpungan menghapi virus ini. Selain karena belum ditemukannya obat penangkal
Korona, juga makin melebarnya serangan virus ini ke berbagai belahan dunia. Tak
pelak, sejumlah negara memberlakukan lockdown sebagai langkah antisipasi.
Di tengah serangan virus
ini, berbagai spekulasi bermunculan. Ada yang menghubungkan dengan kejadian
masa lampau, kemudian dikaitkan dengan ramalan-ramalan para tokoh sejarah,
termasuk mengaitkan dengan kitab-kitab sastra agama.
Entah karena kebetulan
atau merupakan takdir, konon wabah pendemi terjadi setiap 100 tahun sekali.
Menurut kajian beberapa sumber, Wabah Marseille menyerang wilayah Marseille,
Perancis terjadi tahun 1720. Wabah ini menewaskan 100.000 jiwa dalam kurun
waktu dua tahun. Kemudian tahun 1820, pendemi kolera Asiatik menyerang Calcutta
yang kemudian menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Timur
hinnga Pantai Mediterania. Tercatat 100.000 orang meninggal di wilayah Asia
yang disebabkan oleh bakteri ini. Menyusul kemudian pada tahun 1920, virus flu
H1N1 yang juga disebut Flu Spanyol menginfeksi 500 juta orang di seluruh dunia.
Dan kini, tahun 2020, virus yang pertama kali diindetifikasi di Wuhan, China disebut
Covid-19 atau Korona menyebar ke berbagai belahan dunia. Virus yang ditandai
dengan demam, batuk dan kesulitan bernapas hingga kematian ini membuat peduduk
dunia terbenggu rasa ketakutan karena belum ditemukan obat sebagai pembasmi
virus ini.
Jauh sebelum siklus
seratus tahun itu terjadi, dalam sastra Hindu, menurut sejumlah sumber,
kejadian ini sudah diramalkan. Dalam sejumlah sumber sastra Hindu disebutkan,
ketika dunia mulai dikotori oleh ulah manusia, alam akan merespon dengan
caranya sendiri. Hindu mengajarkan tiga hal dalam kehidupan ini, yaitu proses
penciptaan, pemeliharaan dan peleburan yang disimbolkan dengan kepercayaan Tri
Murti dan Tri Sakti. Kehidupan di dunia ini tidak bias lepas dari tiga hal
tersebut, namun yang membuat umat manusia diselimuti rasa takut adalah ketika
proses peleburan itu terjadi.
Sebenarnya, menurut
praktisi spiritual Jero Gede Yudi Suryawan, proses peleburan tersebut merupakan
bagian dari proses permurnian terhadap alam. Munculnya virus Korona adalah
sebagai dampak dari kehidupan manusia dalam memberlakukan alam. “Munculnya
virus ini merupakan respon terhadap alam dalam upayanya melakukan pembersihan,”
jelasnya. Hal ini, dalam tradisi Hindu, dilukiskan dalam kisah Dewa Baruna,
sebagai penguasa lautan untuk menjaga
siklus alam ini agar berjalan normal. Kisah tersebut menceritakan kemarahan
Dewa Baruna terhadap ulah manusia yang melakukan pecemaran terhadap alam.
Karena semua limbah akibat perbuatan manusia, akan mengalir dan ditampung di
laut. Kemarahan Dewa Baruna diwujudkan dengan meunculnya berbagai penyakit yang
bersumber dari laut.
Dalam kepercayaan Hindu,
Bali, munculnya berbagai penyakit yang disebut dengan istilah sasab merana,
diyakini dengan kepercayaan terhadap sosok Ratu Gede Macaling, sebagai penguasa
laut Bali Selatan. Sosok penguasa yang distanakan di Pura Dalem Peed ini,
dikisahkan, akan menyebarkan berbagai penyakit melalui ancangannya berupa
berbagai makhluk halus seperti wong samar, jin dan setan. Tujuannya, untuk mencari
tumbal manusia sebagai tetadahan. Ini dilakukan mulai sasih Kalima.
Menurut pinisepuh
perguruan Semar Maya, kisah ini merupakan penggambaran terhadap wabah pendemi
yang akan menyerang berbagai kehidupan di Bali. Tidak hanya binatang dan
tumbuhan, tetapi juga manusia. Wabah ini muncul ketika terjadi peralihan musim,
dari musim panas ke musim penghujan atau musim pancaroba. Secara ilmiah, pada
musim pancaroba yang terjadi di daerah tropis, berbagai virus, bakteri dan
lainnya berkembang secara dramatis. Hal inilah yang kemudian memunculkan
berbagai penyakit. Tercata, era tahun 1900-1960, pendemi kolera yang disebut
penyakit muntah berak menyerang Bali. Kemudian, seiring tingkat pengetahuan
manusia tentang penyakit ini, virus ini berhasil diatasi. Namun belakangan,
muncul wabah baru bernama penyakit demam berdarah.
Manusia Hindu Bali
memiliki cara untuk mengantisipasi kejadian ini. Selain secara sekala dengan
mempelajari lontar-lontar pengobatan, juga secara niskala dengan melakukan
upaya-upaya ritual sebagai salah satu terapi. Tentu tidak asing lagi bagi umat
Hindu Bali untuk melakukan pecaruan Sasih Kanem di ujung desa atau di Pura Dalem, yang disertai
tradisi melancaran (sejenis ngelawang) untuk sesuhunan milik pura, banjar dan
desa berupa barong, rangda atau lainnya. Ada juga pemberian gelang yang terbuat
dari benang tridatu yang diyakini sebagai penangkal grubug, gering dan merana.
Namun, imbuh Jero Yudi,
upaya niskala ini tidak berhenti sampai pada pecaruan Sasih Kanem. Seiring
pergantian musim yang diikuti siklus penyakit dan wabah yang mencapai puncaknya
pada sasih Kasanga, umat Hindu, khususnya di Bali melaksanakan rangkaian upacara
Penyepian.
Sesungguhnya istilah Nyepi berasal
dari kata sepi yang berarti sunyi atau senyap. Hari Raya Nyepi sebagai perayaan
Tahun Baru Hindu dirayakan dengan kesunyian, senyap atau sepi. Tidak ada
aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan Perayaan ini bertujuan memohon
ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan alam manusia atau microcosmos dan alam semesta (macrocosmos).
Perayaan Nyepi bermula dari penobatan
Raja Kaniskha I dari dinasti Kushana pada tahun 78 Masehi. Kisah yang terjadi negeri
India ini menggambarkan krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian
antarsuku bangsa seperti Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi,
Yavana dan Malaya sering terjadi. Menang dan kalah silih berganti. Gelombang
perebutan kekuasaan antarsuku ini menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan
beragama di negeri itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam
karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun adanya
penafsiran yang berbeda terhadap ajaran yang diyakini.
Dari pertikaian panjang itu, akhirnya Suku Saka menjadi pemenang di bawah
pimpinan Raja Kaniskha I yang kemudian dinobatkan menjadi raja turunan Saka
pada
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (Caitramasa) tahun 01 Saka, atau pada
bulan Maret tahun 78 masehi. Peringatan ini merupakan hari keberhasilan
kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan
paham keagamaan yang saling berbeda.
Sejak tahun 78 Masehi itulah
ditetapkan sebagai tahun baru Saka, yang jatuh pada bulan Maret tarikh Masehi,
atau pada Sasih Kesanga dalam hitungan kalender Jawa dan Bali. Sejak itu pula
kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.
Oleh karena peringatan Tahun Baru
Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan
(persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari
kerukunan nasional, maka. keberhasilan ini disebar-luaskan ke seluruh daratan India
dan Asia lainnya bahkan sampal ke Indonesia.
Nyepi Nusantara
Di Nusantara,
perayaan ini disebarluaskan oleh seorang Pendeta Saka bergelar Aji Saka. Ia
tiba di Jawa di Desa Waru Rembang, Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana
pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad.
Sang Aji Saka yang
mensosialisasikan peringatan pergantian tahun Saka, disertai dua orang
punakawan atau pengikut yang diriwayatkan melahirkan aksara Jawa onocoroko doto
sowolo mogobongo padojoyonyo. Aksara tersebut dibuat karena diilhami dua orang
punakawan Aji Saka yang sama-sama setia, sama-sama sakti, sama-sama teguh dan
sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang
Pandita Aji Saka.
Menurut
Negarakertagama, pada zaman Majapahit pergantian tahun Caka dirayakan secara
besar-besaran. Runtuhnya Majapahit, perayaan tahun Caka juga luntur di seluruh
nusantara. Namun di Bali yang mayoritas beragama Hindu, perayaan itu hingga
kini masih tetap eksis yang disebut dengan Hari Raya Nyepi.
Yoga Semedi
Nyepi berasal dari kata sepi yang
berarti sunyi atau senyap. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru
Saka di Bali dirayakan dengan tapa, yoga dan semadi atau disebut dengan brata penyepian. Ada empat
brata penyepian yang berisi empat pantangan yaitu Amati Geni atau tidak
menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Kedua adalah Amati Karya,
yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan
menyucikan rohani. Selanjutnya adalah Amati Lelungaan, yaitu tidak bepergian
melainkan melakukan mawas diri. Dan Keempat adalah Amati Lelangunan, yaitu
tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Tuhan.
Brata penyepian ini mulai dilakukan sejak matahari terbit sampai fajar
menyingsing kembali keesokan harinya atau selama 24 jam.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah
memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit atau
alam manusia (microcosmos) dan Buwana Agung atau macrocosmos (alam
semesta).
Rangkaian hari raya Nyepi diawali
dengan upacara yang disebut Melasti, Melis atau Mekiyis. Upacaranya
dilaksanakan mulai Minggu (22/3). Ritual ini bertujuan untuk melebur segala
macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air
suci untuk kehidupan. Karena itu,
upacaranya dilaksanakan di laut, danau, atau
sumber/mata air yang disucikan.
Semua simbol-simbol Tuhan seperti
pretima, arca dan barong yang disucikan serta peralatan upacara seperti tombak,
keris, dan umbul-umbul diusung ke sumber-sumber air untuk disucikan melalui
sebuah prosesi. Prosesi diisi dengan larung sesaji, persembahan, serta persembahyangan.
Dan terkadang, menurut tradisi masing-masing desa, juga disertai dengan ritual menurunkan
roh leluhur melalui ritual trans (kesurupan).
Tawur
Setelah ritual Melasti, rangkaian Nyepi dilanjutkan dengan upacara tawur.
Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, tepatnya hari Selasa (24/3)
berupa upacara Buta Yadnya. Upacara dilaksanakan di segala tingkatan
masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan dan
seterusnya dengan mengambil salah satu jenis upacara yang disebut caru (semacam
sesajian) menurut kemampuan. Tawur atau pecaruan merupakan bentuk penyucian
terhadap butha kala untuk mengembalikan keseimbangan alam semesta dan jagat
raya.
Ritual berlanjut hingga sore hari
yang disebut dengan upacara pengerupukan, yaitu menebar-nebar nasi tawur,
mengobor-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan
dengan mesui (rempah-rempah), serta memukul benda-benda yang dapat menimbulkan
suara gaduh. Ritual ini bertujuan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan
rumah, pekarangan, hingga lingkungan desa.
Sesuai perkembangan zaman, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan
pawai ogoh-ogoh yaitu patung raksasa sebagai perwujudan Buta Kala. Ogoh-ogoh diarak
keliling desa atau wilayah, kemudian dibakar. Tujuannya untuk mengusir Buta
Kala dari lingkungan sekitar.
Puncak Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada hari Rabu (25/3), umat
melaksanakan Hari Raya Nyepi. Pada puncak perayaan rangkaian pergantian tahun
baru Caka ini, umat melaksanakan catur brata penyepian berupa tapa Amati Geni,
Amati Karya, Amati Lelungan dan Amati Lelangon. Sepanjang hari seama 24 jam,
umat tidak boleh keluar pekarangan rumah, tidak boleh menyalakan api termasuk
di dalamnya kegiatan masak-memasak, tidak boleh bekerja, dan tidak boleh
menghibur diri seperti menonton TV, termasuk juga tidak makan-minum dan
berbicara (mono brata). Umat harus khusyuk melaksanakan tapa, brata, yoga dan
semadi agar mendapatkan kesucian lahir dan batin.
Ngembak GeniRangkaian
terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang
jatuh pada hari Kamis (26/3). Pada hari ini umat Hindu bersilaturahmi dengan
keluarga besar dan tetangga, saling maaf-memaafkan satu sama lain.
Nyepi merupakan momentum untuk evaluasi diri, seberapa jauh tingkat pendakian rohani yang sudah dicapai, dan sudahkah mengerti dengan hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.
Dalam konteks mewujudkan
perdamaian, umat mesti mampu melaksanakan brata atau pengendalian diri. Dengan
memiliki benteng pengendalian diri yang kuat, umat akan mampu mengalahkan
musuh-musuh yang ada pada dirinya. Godaan-godaan yang datang pun dengan mudah
dapat ditaklukkan. Konsep pengendalian diri seperti itu sudah dituangkan dalam
perayaan hari besar keagamaan Hindu yang dikenal dengan Nyepi.
Dengan demikian, momentum perayaan Nyepi
dapat dijadikan sebagai inspirasi mengenal jatidiri bangsa. Memperkenalkan Nyepi
kepada lapisan masyarakat dalam masyarakat majemuk, sangatlah penting. Ke
depan, jika ada pertanyaan tahun baru tanpa pesta, orang banyak pasti akan tahu
bahwa peristiwa itu adalah sebuah ritual yang dilangsungkan umat Hindu. Sesungguhnya
seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru Saka
itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar
kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis
adalah salah satu bentuk dialog spiritual manusia dengan alam dan TuhanYang
Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan.
Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan
alam sekitar para bhuta demi keseimbangan alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan
catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara umat manusia dengan
sang pencipta.
Demikian juga pada hari Ngembak
Geni, sehari setelah Nyepi, merupakan bentuk dialog antar sesama manusia tentang
apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang.
Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan
berpijak pada pengalaman selama ini.
Dengan kata lain, perayaan Tahun
Baru Saka (Nyepi) dengan ritual merupakan dialog spiritual kepada semua pihak,
dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri
dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan
kedamaian bersama. Ana dari berbagai sumber [su/r6]
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram