-->

Sabtu, 21 Maret 2020

Nyepi, Upaya Dialog Spiritual dengan Alam

Nyepi, Upaya Dialog Spiritual dengan Alam

Bali Kini - Hari raya Nyepi merupakan perayaan tahun baru Saka. Hari ini diyakini sebagai sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Hari ini juga merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari kehidupan. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci dengan tapa Amati Karya, Amati Geni, Amati Lelungan dan Amati Lelangon.

Namun Nyepi tahun Caka 1942 yang jatuh pada tanggal 25 Maret 2020, sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Nyepi tahun ini diwarnai wabah virus Korona yang menyerang berbagai belahan dunia. Wabah Covid-19 ini membuat dunia meringis, tak hanya Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan negara di kawasan Asia, negara-negara maju seperti Amerika, Cina, Itali, Perancis, dan Rusia juga kelimpungan menghapi virus ini. Selain karena belum ditemukannya obat penangkal Korona, juga makin melebarnya serangan virus ini ke berbagai belahan dunia. Tak pelak, sejumlah negara memberlakukan lockdown sebagai langkah antisipasi.

Di tengah serangan virus ini, berbagai spekulasi bermunculan. Ada yang menghubungkan dengan kejadian masa lampau, kemudian dikaitkan dengan ramalan-ramalan para tokoh sejarah, termasuk mengaitkan dengan kitab-kitab sastra agama.

Entah karena kebetulan atau merupakan takdir, konon wabah pendemi terjadi setiap 100 tahun sekali. Menurut kajian beberapa sumber, Wabah Marseille menyerang wilayah Marseille, Perancis terjadi tahun 1720. Wabah ini menewaskan 100.000 jiwa dalam kurun waktu dua tahun. Kemudian tahun 1820, pendemi kolera Asiatik menyerang Calcutta yang kemudian menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika Timur hinnga Pantai Mediterania. Tercatat 100.000 orang meninggal di wilayah Asia yang disebabkan oleh bakteri ini. Menyusul kemudian pada tahun 1920, virus flu H1N1 yang juga disebut Flu Spanyol menginfeksi 500 juta orang di seluruh dunia. Dan kini, tahun 2020, virus yang pertama kali diindetifikasi di Wuhan, China disebut Covid-19 atau Korona menyebar ke berbagai belahan dunia. Virus yang ditandai dengan demam, batuk dan kesulitan bernapas hingga kematian ini membuat peduduk dunia terbenggu rasa ketakutan karena belum ditemukan obat sebagai pembasmi virus ini.

Jauh sebelum siklus seratus tahun itu terjadi, dalam sastra Hindu, menurut sejumlah sumber, kejadian ini sudah diramalkan. Dalam sejumlah sumber sastra Hindu disebutkan, ketika dunia mulai dikotori oleh ulah manusia, alam akan merespon dengan caranya sendiri. Hindu mengajarkan tiga hal dalam kehidupan ini, yaitu proses penciptaan, pemeliharaan dan peleburan yang disimbolkan dengan kepercayaan Tri Murti dan Tri Sakti. Kehidupan di dunia ini tidak bias lepas dari tiga hal tersebut, namun yang membuat umat manusia diselimuti rasa takut adalah ketika proses peleburan itu terjadi.

Sebenarnya, menurut praktisi spiritual Jero Gede Yudi Suryawan, proses peleburan tersebut merupakan bagian dari proses permurnian terhadap alam. Munculnya virus Korona adalah sebagai dampak dari kehidupan manusia dalam memberlakukan alam. “Munculnya virus ini merupakan respon terhadap alam dalam upayanya melakukan pembersihan,” jelasnya. Hal ini, dalam tradisi Hindu, dilukiskan dalam kisah Dewa Baruna, sebagai penguasa lautan  untuk menjaga siklus alam ini agar berjalan normal. Kisah tersebut menceritakan kemarahan Dewa Baruna terhadap ulah manusia yang melakukan pecemaran terhadap alam. Karena semua limbah akibat perbuatan manusia, akan mengalir dan ditampung di laut. Kemarahan Dewa Baruna diwujudkan dengan meunculnya berbagai penyakit yang bersumber dari laut.

Dalam kepercayaan Hindu, Bali, munculnya berbagai penyakit yang disebut dengan istilah sasab merana, diyakini dengan kepercayaan terhadap sosok Ratu Gede Macaling, sebagai penguasa laut Bali Selatan. Sosok penguasa yang distanakan di Pura Dalem Peed ini, dikisahkan, akan menyebarkan berbagai penyakit melalui ancangannya berupa berbagai makhluk halus seperti wong samar, jin dan setan. Tujuannya, untuk mencari tumbal manusia sebagai tetadahan. Ini dilakukan mulai sasih Kalima.  

Menurut pinisepuh perguruan Semar Maya, kisah ini merupakan penggambaran terhadap wabah pendemi yang akan menyerang berbagai kehidupan di Bali. Tidak hanya binatang dan tumbuhan, tetapi juga manusia. Wabah ini muncul ketika terjadi peralihan musim, dari musim panas ke musim penghujan atau musim pancaroba. Secara ilmiah, pada musim pancaroba yang terjadi di daerah tropis, berbagai virus, bakteri dan lainnya berkembang secara dramatis. Hal inilah yang kemudian memunculkan berbagai penyakit. Tercata, era tahun 1900-1960, pendemi kolera yang disebut penyakit muntah berak menyerang Bali. Kemudian, seiring tingkat pengetahuan manusia tentang penyakit ini, virus ini berhasil diatasi. Namun belakangan, muncul wabah baru bernama penyakit demam berdarah.

Manusia Hindu Bali memiliki cara untuk mengantisipasi kejadian ini. Selain secara sekala dengan mempelajari lontar-lontar pengobatan, juga secara niskala dengan melakukan upaya-upaya ritual sebagai salah satu terapi. Tentu tidak asing lagi bagi umat Hindu Bali untuk melakukan pecaruan Sasih Kanem di  ujung desa atau di Pura Dalem, yang disertai tradisi melancaran (sejenis ngelawang) untuk sesuhunan milik pura, banjar dan desa berupa barong, rangda atau lainnya. Ada juga pemberian gelang yang terbuat dari benang tridatu yang diyakini sebagai penangkal grubug, gering dan merana.

Namun, imbuh Jero Yudi, upaya niskala ini tidak berhenti sampai pada pecaruan Sasih Kanem. Seiring pergantian musim yang diikuti siklus penyakit dan wabah yang mencapai puncaknya pada sasih Kasanga, umat Hindu, khususnya di Bali melaksanakan rangkaian upacara Penyepian. 

 Sesungguhnya istilah Nyepi berasal dari kata sepi yang berarti sunyi atau senyap. Hari Raya Nyepi sebagai perayaan Tahun Baru Hindu dirayakan dengan kesunyian, senyap atau sepi. Tidak ada aktivitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan Perayaan ini bertujuan memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk menyucikan alam manusia atau  microcosmos dan alam semesta (macrocosmos).

Perayaan Nyepi bermula dari penobatan Raja Kaniskha I dari dinasti Kushana pada tahun 78 Masehi. Kisah yang terjadi negeri India ini menggambarkan krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antarsuku bangsa seperti Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya sering terjadi. Menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antarsuku ini menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama di negeri itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun adanya penafsiran yang berbeda terhadap ajaran yang diyakini.
Dari pertikaian panjang itu,  akhirnya Suku Saka menjadi pemenang di bawah pimpinan Raja Kaniskha I yang kemudian dinobatkan menjadi raja turunan Saka pada
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (Caitramasa) tahun 01 Saka, atau pada bulan Maret tahun 78 masehi. Peringatan ini merupakan hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda.

Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan sebagai tahun baru Saka, yang jatuh pada bulan Maret tarikh Masehi, atau pada Sasih Kesanga dalam hitungan kalender Jawa dan Bali. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.
Oleh karena peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional, maka. keberhasilan ini disebar-luaskan ke seluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Indonesia.

Nyepi Nusantara
Di Nusantara, perayaan ini disebarluaskan oleh seorang Pendeta Saka bergelar Aji Saka. Ia tiba di Jawa di Desa Waru Rembang, Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad.
Sang Aji Saka yang mensosialisasikan peringatan pergantian tahun Saka, disertai dua orang punakawan atau pengikut yang diriwayatkan melahirkan aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Aksara tersebut dibuat karena diilhami dua orang punakawan Aji Saka yang sama-sama setia, sama-sama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.
Menurut Negarakertagama, pada zaman Majapahit pergantian tahun Caka dirayakan secara besar-besaran. Runtuhnya Majapahit, perayaan tahun Caka juga luntur di seluruh nusantara. Namun di Bali yang mayoritas beragama Hindu, perayaan itu hingga kini masih tetap eksis yang disebut dengan Hari Raya Nyepi.

Yoga Semedi
Nyepi berasal dari kata sepi yang berarti sunyi atau senyap. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dirayakan dengan tapa, yoga dan semadi atau  disebut dengan brata penyepian. Ada empat brata penyepian yang berisi empat pantangan yaitu Amati Geni atau tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu. Kedua adalah Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani. Selanjutnya adalah Amati Lelungaan, yaitu tidak bepergian melainkan melakukan mawas diri. Dan Keempat adalah Amati Lelangunan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Tuhan. Brata penyepian ini mulai dilakukan sejak matahari terbit sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya atau selama 24 jam.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit atau alam manusia (microcosmos) dan Buwana Agung atau macrocosmos (alam semesta).
Rangkaian hari raya Nyepi diawali dengan upacara yang disebut Melasti, Melis atau Mekiyis. Upacaranya dilaksanakan mulai Minggu (22/3). Ritual ini bertujuan untuk melebur segala macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air suci  untuk kehidupan. Karena itu, upacaranya dilaksanakan  di laut, danau, atau sumber/mata air yang disucikan.
Semua simbol-simbol Tuhan seperti pretima, arca dan barong yang disucikan serta peralatan upacara seperti tombak, keris, dan umbul-umbul diusung ke sumber-sumber air untuk disucikan melalui sebuah prosesi. Prosesi diisi dengan larung sesaji, persembahan, serta persembahyangan. Dan terkadang, menurut tradisi masing-masing desa, juga disertai dengan ritual menurunkan roh leluhur melalui ritual trans (kesurupan).

Tawur
Setelah ritual Melasti, rangkaian Nyepi dilanjutkan dengan upacara tawur. Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum Nyepi, tepatnya hari Selasa (24/3) berupa upacara Buta Yadnya. Upacara dilaksanakan di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan dan seterusnya dengan mengambil salah satu jenis upacara yang disebut caru (semacam sesajian) menurut kemampuan. Tawur atau pecaruan merupakan bentuk penyucian terhadap butha kala untuk mengembalikan keseimbangan alam semesta dan jagat raya.

Ritual berlanjut hingga sore hari yang disebut dengan upacara pengerupukan, yaitu menebar-nebar nasi tawur, mengobor-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui (rempah-rempah), serta memukul benda-benda yang dapat menimbulkan suara gaduh. Ritual ini bertujuan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, hingga lingkungan desa.
Sesuai perkembangan zaman,  pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yaitu patung raksasa sebagai perwujudan Buta Kala. Ogoh-ogoh diarak keliling desa atau wilayah, kemudian dibakar. Tujuannya untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.

Puncak Nyepi

Keesokan harinya, yaitu pada hari Rabu (25/3), umat melaksanakan Hari Raya Nyepi. Pada puncak perayaan rangkaian pergantian tahun baru Caka ini, umat melaksanakan catur brata penyepian berupa tapa Amati Geni, Amati Karya, Amati Lelungan dan Amati Lelangon. Sepanjang hari seama 24 jam, umat tidak boleh keluar pekarangan rumah, tidak boleh menyalakan api termasuk di dalamnya kegiatan masak-memasak, tidak boleh bekerja, dan tidak boleh menghibur diri seperti menonton TV, termasuk juga tidak makan-minum dan berbicara (mono brata). Umat harus khusyuk melaksanakan tapa, brata, yoga dan semadi agar mendapatkan kesucian lahir dan batin.

Ngembak GeniRangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada hari Kamis (26/3). Pada hari ini umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf-memaafkan satu sama lain.

Nyepi merupakan momentum untuk evaluasi diri, seberapa jauh tingkat pendakian rohani yang sudah dicapai, dan sudahkah mengerti dengan hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.

Dalam konteks mewujudkan perdamaian, umat mesti mampu melaksanakan brata atau pengendalian diri. Dengan memiliki benteng pengendalian diri yang kuat, umat akan mampu mengalahkan musuh-musuh yang ada pada dirinya. Godaan-godaan yang datang pun dengan mudah dapat ditaklukkan. Konsep pengendalian diri seperti itu sudah dituangkan dalam perayaan hari besar keagamaan Hindu yang dikenal dengan Nyepi.
Dengan demikian, momentum perayaan Nyepi dapat dijadikan sebagai inspirasi mengenal jatidiri bangsa. Memperkenalkan Nyepi kepada lapisan masyarakat dalam masyarakat majemuk, sangatlah penting. Ke depan, jika ada pertanyaan tahun baru tanpa pesta, orang banyak pasti akan tahu bahwa peristiwa itu adalah sebuah ritual yang dilangsungkan umat Hindu. Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru Saka itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis adalah salah satu bentuk dialog spiritual manusia dengan alam dan TuhanYang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara umat manusia dengan sang pencipta.
Demikian juga pada hari Ngembak Geni, sehari setelah Nyepi, merupakan bentuk dialog antar sesama manusia tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini.
Dengan kata lain, perayaan Tahun Baru Saka (Nyepi) dengan ritual merupakan dialog spiritual kepada semua pihak, dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama. Ana dari berbagai sumber [su/r6]




Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved