-->

Minggu, 22 Oktober 2017

Lima Mantan Presiden AS Hadiri Konser Amal untuk Korban Badai

Lima mantan presiden Amerika menghadiri konser amal untuk membantu para korban badai yang menghancurkan beberapa wilayah di Amerika serta di teritori Amerika, Puerto Rico dan Virgin Islands, dalam beberapa bulan ini.

Balikini.Net - Mantan presiden Barack Obama, George W Bush, Bill Clinton, George HW Bush dan Jimmy Carter menghadiri konser yang bertajuk Deep from the Heart: the One America Appeal itu pada Sabtu malam. Konser itu berlangsung di Reed Arena di Texas A&M University di College Station, Texas.
Dalam unjuk kekompakan yang jarang terlihat, Presiden Donald Trump yang tidak hadir dalam acara itu berterima kasih kepada para mantan presiden melalui pesan video yang diputar dalam konser itu. Ia menyatakan berterima kasih atas "peran besar mereka dalam membantu sesama warganegara memulihkan diri."
Pesan video dari Presiden Donald Trump pada konser amal untuk korban badai di College Station, Texas, 21 Oktober 2017.
Pesan video dari Presiden Donald Trump pada konser amal untuk korban badai di College Station, Texas, 21 Oktober 2017.
 
"Kita semua di panggung ini malam ini sangat bangga atas respons rakyat Amerika," ujar Obama. Apabila mereka melihat tetangga mereka, teman mereka, orang-orang asing, memerlukan bantuan, mereka turun tangan, lanjutnya.
Clinton menyatakan masih banyak tugas yang harus dilakukan. "Ini dapat menjadi suatu awal baru jika kita melakukan apa yang perlu kita lakukan dan membuktikan bahwa rasa kasih Amerika, tanpa melihat ras, agama, atau partai politik, lebih besar daripada masalah kita," lanjutnya.
Organisasi para mantan presiden itu dikenal sebagai One America Appeal. Kantor George HW Bush Sabtu mengumumkan bahwa organisasi tersebut telah menggalang 31 juta dolar dana pribadi dari 80 ribu lebih donatur.
Lady Gaga, dalam penampilan dadakannya, mengumumkan bahwa ia menyumbangkan 1 juta dolar untuk yayasan One America. Ia menyampaikan tentang rencana pembentukan program kesehatan jiwa dan pemulihan trauma emosional bagi para penyintas badai.
Lady Gaga dalam konser amal untuk korban badai di College Station, Texas, 21 Oktober 2017.
Lady Gaga dalam konser amal untuk korban badai di College Station, Texas, 21 Oktober 2017.
Penyanyi musik country Lee Greenwood, yang dikenal dengan lagu hitnya God Bless the USA, menjadi pembawa acara tersebut. Lyle Lovett, Robert Earl Keen, Sam Moore, Yolanda Adams dan grup Alabama termasuk yang tampil semalam.

Kerusakan akibat badai tersebut diperkirakan bernilai hingga 300 miliar dolar. Kegiatan pemulihan diperkirakan berlangsung berbulan-bulan dan pembangunan kembali perlu waktu bertahun-tahun.
One America dalam suatu pernyataan menyebutkan telah mendistribusikan hampir 13 juta dolar untuk lima yayasan amal: Florida Disaster Fund, Rebuild Texas Fund, Hurricane Harvey Relief Fund, Fund for the Virgin Islands, dan Juntos y Unidos por Puerto Rico.
Kelima presiden itu telah bekerja bersama menggalang dana untuk para korban badai sejak Badai Harvey menerpa Texas pada bulan September. Setelah itu, Badai Irma menyapu Puerto Rico, Virgin Islands Amerika dan Florida, disusul Badai Maria yang membuat Puerto Rico dan Virgin Islands Amerika kembali luluh lantak. [sub/voa/ uh]

Sabtu, 07 Oktober 2017

DPP Gerindra Tunjuk De Gadjah Nahkodai Gerindra Denpasar

Denpasar ,Balikini.Net - DPP Partai Gerindra menetapkan Made Muliawan Arya alias De Gadjah
sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra Kota Denpasar Periode 2017-2022.

Penetapan De Gadjah, yang kini menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Denpasar, ini tertuang dalam Surat Keputusan ((SK) DPP Partai Gerindra Nomor 09-0267/Kepts/DPP-GERINDRA/2017 tentang Susunan Personalia Pengurus DPC Partai Gerindra Kota Denpasar, tertanggal 25 September 2017.

SK yang ditandatangani Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Sekretaris Jendral Ahmad Muzani, ini  diserahkan oleh Ketua DPD Partai Gerindra Provinsi Bali Ida Bagus Putu Sukarta kepada De Gadjah di Kantor DPD Partai Gerindra Provinsi Bali, Jumat (6/10/2017).

"SK sudah saya terima. Diserahkan oleh Ketua DPD Gerindra provinsi Bali," kata De Gadjah.

Dalam SK yang sama, DPP Partai Gerindra menunjuk I Ketut Budiarta sebagai Sekretaris DPD Gerindra Kota Denpasar dan I Kompyang Gede sebagai Bendahara. Terdapat 15 orang yang menjabat sebagai Wakil Ketua, 5 orang Wakil Sekretaris dan 5 orang Wakil Bendahara.

Dalam menetapkan De Gadjah sebagai Ketua DPC Partai Gerindra Kota Denpasar sebagaimana tertuang dalam SK tersebut, DPP Partai Gerindra memperhatikan Surat DPD Partai Gerindra Provinsi Bali tertanggal 20 Juli 2017 tentang Usulan Perubahan Susunan Personalia Pengurus DPC Partai Gerindra Kota Denpasar; Surat BSO Partai Gerindra Provinsi Bali tertanggal 18 September 2017 tentang Rekomendasi BSO terhadap DPC Partai Gerindra Kota Denpasar; dan Rapat Ketua Dewan Pembina dengan DPP Partai Gerindra tanggal 22 September 2017 tentang Pergantian Pengurus DPC Partai Gerindra Kota Denpasar.

Untuk diketahui, Partai Gerindra tak mengenal mekanisme pemilihan pengurus dalam forum Musyawarah Daerah (Musda) atau Musyawarah Cabang (Muscab) sebagaimana lazimnya dilakukan oleh partai politik pada umumnya. Partai Gerindra melakukan penunjukkan langsung kepada kader yang dipercaya untuk duduk sebagai ketua di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Untuk jabatan Ketua DPD di tingkat provinsi ditunjuk langsung oleh DPP Partai Gerindra. Adapun ketua DPC di tingkat kabupaten dan Kota juga ditunjuk langsung oleh DPP Partai Gerindra atas rekomendasi DPD Partai Gerindra.***

Sabtu, 23 Juli 2016

SENI LUKIS KLASIK BALI

gunarsa (balikini)
Balikini.Net -Kata 'klasik' dalam seni lukis klasik Bali, adalah salah satu usaha Nyoman Gunarsa yang sudah menjadi obsesinya bertahun-tahun semenjak menjadi Dosen di ISI Yogyakarta, karena pendidikan sejarah seni rupa Barat tentang seni klasik Yunani, Romawi sangat meyakinkan dirinya, bahwa di Bali seni klasik itu sudah ada pada abad XVI sebagai tandingan seni dari Timur (Oriental Art).   
Hal ini sudah dilakoninya bertahun-tahun mengadakan penelitian lewat study tour mahasiswa ISI Yogyakarta, dari tahun 1978 sampai menjelang pensiun, untuk mendirikan Museum Seni Lukis Klasik Bali di Klungkung 1989.   
Salah satu usaha Sang Maestro Nyoman Gunarsa untuk menaikkan derajat seni lukis tradisional Bali, yang sudah dicap turun-temurun oleh penulis-penulis asing. Lihatlah buku-buku tulisan Prof DR Anthony Forge dari ANU University Canberra atau buku 'Bali' oleh DR Goris, ataupun katalogus-katalogus asing lainnya dari Museum Colorado - USA, semua mengucapkan/menyebut kata tradisional.   
Menyikapi hal tersebut Sang Maestro Nyoman Gunarsa yang juga sebagai mantan Dosen ISI Yogyakarta, membentuk Yayasan Seni Lukis Klasik Bali bersamaan dengan museumnya dengan koleksi-koleksi yang berasal dari berbagai daerah/kabupaten se-Bali tahun 1989, dan tahun 1994 telah diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof DR Ing Wardiman Djoyonegoro.   
Sejak itu pelan-pelan nama tradisi yang menyelimuti seni lukis yang disebut tradisional itu dihapus karena memiliki dasar filosofi, estetika, etika, magic, palelintangan, uku, dan sebagainya, dibersihkan dari persepsi tradisional ke klasik yang artinya suatu mahakarya yang telah diciptakan oleh para tokoh-tokoh kritis Bali pada masa zaman keemasan itu dengan dasar filosofi, yang dalam bentuk dan teknik yang tinggi, karena memakai aturan-aturan/pola-pola, bentuk-bentuk simbol yang khas menjadikan kita wajib mengagungkan karya tersebut sebagai karya seni klasik Bali.
   
Dulu kala pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong sewaktu Bali mencapai zaman keemasannya semua berpusat di Swecapura Gelgel dan sekitarnya, seperti seni tari, seni tabuh, seni ukir, sastra, seni patung, seni arsitektur, termasuk seni lukis klasik Bali yang kini kita warisi dan masih bisa kita saksikan di Desa Kamasan Gelgel. Semua hasil-hasil kesenian pada zaman keemasan Bali pada waktu itu tidak lain fungsinya adalah untuk sarana mengagungkan Agama Hindu Bali (baca Siwa Budha).    
Terjadinya masa keemasan seni budaya Hindu Bali tersebut, karena adanya hubungan Majapahit dengan Swecapura Gelgel terputus, karena adanya Perang Paregreg di Majapahit, dan semakin kuatnya perkembangan Agama Islam di Jawa. Keterpurukan tersebut menjadikan Bali mandiri di dalam segala hal termasuk karya cipta seni lukis klasik Bali. Semua nilai-nilai filosofi dan teknik mengacu kepada nilai-nilai filosofi Agama Hindu. Salah seorang tokoh pada zaman itu bernama I Gede Modara, adalah maestronya seni lukis klasik Bali yang masih bisa kita saksikan karyanya di Nyoman Gunarsa Museum (NGM), yang menurunkan cantrik-cantrik sampai sekarang di Kamasan.    
Di Desa Kerambitan pada masa terakhir setelah I Gusti Agung Maruti memberontak dan menjadi raja di Gelgel, lahir seni lukis klasik Bali gaya Kerambitan, Tabanan dengan tokoh-tokohnya I Gusti Wayan Kopang dan I Macong. Beberapa karya-karyanya masih bisa kita saksikan di Museum NGM ataupun Puri Kerambitan. Kita sebut seni lukis klasik Bali gaya Kerambitan tersebut, karena tidak jauh beda dengan seni lukis yang berkembang di Kamasan dengan berbagai aturan-aturan filosofis dengan teknik yang ketat.    
Di Singaraja juga muncul seni lukis klasik Bali yang serupa dengan Kamasan pada abad setelah jatuhnya Gelgel di tangan I Gusti Agung Maruti dengan gaya Buleleng yang sangat dekat dengan ukiran-ukiran relief pada pemedal candi-candi di Bali Utara, lebih dinamis dengan patra-patranya lebih bebas namun tetap mengacu pada nilai-nilai klasik seperti di Kamasan. Salah seorang tokohnya adalah I Ketut Gde abad XIX, contohnya masih bisa kita saksikan di Museum NGM berupa ider-ider kuno. Demikian juga di Batuan ada berkembang seni lukis klasik Bali memakai aturan-aturan klasik seperti Kamasan, hal ini bisa dibuktikan keberadaannya koleksinya di Museum NGM.   
Dari paparan-paparan tersebut di atas, Sang Maestro meyakinkan dunia, bahwa di Bali telah lahir Mashab Seni Lukis Klasik Bali di seluruh kepulauan, yang puncaknya pada abad XVI sewaktu pemerintahan Dalem Waturenggong. Pada masa Raja-Raja Bali Kuno sewaktu pemerintahan berpusat di Bedahulu, seni rupa di Bali tidak jauh beda dengan seni rupa zaman Daha, Kediri, Singosari, ataupun Majapahit, karena ada hubungan yang begitu kental Raja-Raja Bali dengan Raja-Raja Jawa Timur. Sebagai langkah yang lebih konkret tentang pernyataan seni lukis klasik Bali, Maestro Nyoman Gunarsa mengadakan Festival Internasional Seni Lukis Klasik Bali yang diikuti tidak kurang dari tujuh negara adidaya dunia ikut terlibat antara lain Australia, Switzerland, Perancis, German, Amerika, Belanda dan Indonesia, baik dari Bali, Yogyakarta dan Jakarta, di Museum NGM.   
Dari situ nampak jelas kebenaran akan arti pernyataan dan argumentasi Nyoman Gunarsa tentang seni lukis klasik Bali memang ada, dan kata 'klasik' tersebut merupakan sebutan untuk menamai karya-karya yang berkelas karena memiliki dasar filosofi, dan teknik yang khas dimiliki Bali dan hanya berkembang di Pulau Bali saja. Berbagai komentar dari para ahli seni dan sejarah dapat kita baca komentarnya tentang kata 'klasik' untuk menamai seni lukis klasik Bali antara lain:
1. Prof DR AA Wirawan
Saudara-saudara dari Kamasan jangan merasa bangga dengan diberikan predikat 'Seni Lukis      Klasik Kamasan Bali' oleh pemerintah, harus diingat bahwa kata 'klasik' itu adalah usaha Nyoman Gunarsa untuk menaikkan derajat yang semua sering disebut seni lukis tradisional Kamasan oleh penulis-penulis asing.
2. Prof DR I Made Bandem MA
Dilihat dari isinya, Nyoman Gunarsa Museum ini memiliki koleksi seni lukis klasik Bali yang amat tinggi mutunya, menampilkan gaya (isi dan bentuk) seni lukis yang sangat khas. Keunikan dari koleksi ini adalah dipajangnya berpuluh-puluh lukisan klasik gaya Bali yang dikumpulkan dari seluruh dunia yang pada umumnya mengambil tema dari Epos Ramayana, Mahabharata, Roman Panji (Malat), Wiracarita Tantri, Ceritera Calonarang, dan Rerajahan dengan tema 'blac-magic'. Meminjam tipologi dari Prof Anthony Forge yang ditulis dalam bukunya yang bertajuk 'Balinese Traditional Paintings' bahwa lukisan-lukisan tradisional itu digolongkan menjadi lukisan tabing, langse, ider-ider, langit-langit, kober dan lelontek. Nyoman Gunarsa sangat cerdas untuk merintis dan menambahkan kata sifat 'klasik' pada lukisan-lukisan Bali yang diciptakan pada abad pertengahan tersebut menjadi 'Seni Lukis Klasik Bali'.
3. Prof Emeritus Peter Worsley
Layak disebut juga sebagai satu set boneka wayang dari Gelgel. Dari istana Sueca Pura di Gelgel, koleksi ini memuat sebanyak 300 boneka, yang dipahat dan dilukis dengan baik dan diberi sentuhan emas, digunakan untuk pertunjukan Mahabharata dan Ramayana. Akhirnya terdapat sebilah keris yang dibuat secara luar biasa dari Julah di Buleleng, satu lagi dari Singaraja dengan bilah yang dibuat antara 1908 dan 1920 di mana terdapat mahkota Wilhelmina sebagai bagian dari insignia dari pemerintah kolonial Belanda. Terdapat 'kris' yang lain dari Kusumba dan Sampalan di Klungkung, dan ada pula dari istana kerajaan di Gelgel, Karangasem, Singaraja. Variasi dan kualitas karya yang ditampilkan, sebaran budayanya dari seluruh Bali dan kedalaman historisnya memberikan koleksi di Museum Lukisan Bali Klasik Nyoman Gunarsa sebuah nilai penting nasional dan internasional dan membuatnya cocok untuk dipertimbangkan dalam daftar warisan dunia.    
Kini salah satu dari seni lukis klasik Bali itu terutama yang berasal dari Kamasan, telah diakui pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Dengan demikian usaha Sang Maestro untuk mengangkat derajat seni lukis klasik Bali menjadi terbukti, dan dunia secara otomatis telah mengakuinya. Demikian juga seni tari Bali dengan gaya dan gerakan tangan, kaki, badan dan mata yang dinamis diiringi suara gamelan yang dinamis pula, telah diakui oleh Lembaga Badan Pelestarian Dunia 'UNESCO' sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda.
   
Lahirnya seni tari Bali tersebut bersamaan dengan seni lukis klasik Bali, seni patung dengan gerak tariannya, arsitektur dengan Asta Kosala Kosalinya, seni sastra dengan kekawin Arjuna Wiwaha, Ramayana, Mahabharata, dan lain-lain, adalah merupakan puncak-puncaknya seni budaya Bali pada abad XVI itu pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong. Kini koleksi Museum Seni Lukis Klasik Bali 'Nyoman Gunarsa Museum' menjadi bukti dalam sejarah seni rupa Bali, sebagai satu-satunya peninggalan yang amat penting sebagai sumber penelitian dunia dan patut diperjuangkan sebagai kandidat Warisan Budaya Dunia. (vivi/r7)

Minggu, 26 Juni 2016

Butet Manurung Ingin Sumbangkan Pemikiran Pada Aborigin

 
butet ( balikini.net /vivi)
Balikini.Net - "Empat bulan dalam satu tahun, saya tinggal di Australia.Saya sudah terpikir ingin belajar dari sistem pendidikan Australia terhadap komunitas Aborigin, dan jika mungkin, saya ingin menyumbangkan pemikiran atau melakukan sesuatu yang bermanfaat pada Suku Aborigin," kata Butet Manurung, pendiri Sokola Rimba.
     
Ide tersebut sudah terbesit beberapa saat, ketika Butet masih menjadi mahasiswa di Australian National University, Canberra dan belajar di kelasnya tentang bagaimana kehidupan Suku Aborigin. Bahwa pemerintah Australia saat ini, telah lebih banyak memberikan dukungan sumber daya bagi pengembangan kesejahteraan Suku Aborigin. Banyak juga inisiatif dari LSM setempat dengan berbagai fokus kegiatan dan pendekatan. Butet ingin belajar dari berbagai pendekatan yang dilakukan di Australia.
     
Menurut Butet, kebanyakan suku atau komunitas adat di dunia ini menghadapi isu yang sama: keterancaman hilangnya lahan dan sumber daya alam, hilangnya kekayaan pengetahuan tradisional dan kearifan lingkungan serta kurangnya dukungan politik terhadap eksistensi dan haknya. Banyak dari suku itu yang dengan pengetahuan tradisionalnya, tidak mampu memahami dan mengatasi gempuran dari dunia luar tersebut. Misalnya : tidak bisa membaca kontrak jual beli lahan, tidak mengerti dampak buruk MSG dan gula atau bahkan alkohol dan obat terlarang, serta tidak ada contoh bagaimana keadaan alam yang rusak itu, sehingga ketika hutan sudah hancur dan habis, sudah terlalu terlambat bagi mereka untuk belajar dan berjuang mempertahankannya.
     
Latar belakang ini yang membuat Butet terketuk dan terpikir, sesungguhnya, setiap pihak dimanapun di dunia ini, yang punya pengalaman mendampingi komunitas adat bisa saling belajar dan  bertukar pengalaman. Butet ingin belajar sekaligus melakukan sesuatu yang bermanfaat positif buat Suku Aborigin. Butet yakin pengalaman tersebut pasti akan memperkaya pengetahuan dan memberi manfaat juga bagi program Sokola di Tanah Air.
     "Ini yang ingin saya lakukan ke depan. Namun saat ini, saya masih konsentrasi memaksimalkan Sokola Rimba di berbagai pelosok Nusantara," ujar istri Kelvin James Milne.
     
Mendirikan sokola atau sekolah, memang bukan hal baru bagi perempuan kelahiran Jakarta ini. Sebelumnya, Butet telah mendirikan 15 sokola rimba, di berbagai suku-suku di Indonesia. Sokola terakhir yang didirikan terletak di Suku Asmat, di kampung Mumugu Batas Batu di Papua, pada September 2013 lalu.
     "Semakin lama, keberadaan suku-suku di Tanah Air makin terjepit karena hutan dan sumber daya mereka makin banyak dijarah. Kalau anggota suku itu tidak dibekali kemampuan atau skill, dan hutannya habis, apa yang mereka bias andalkan untuk mengarungi kehidupan tanpa hutan? Paling mereka hanya dijadikan kuli angkut," ujar perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung ini dengan suara sedih, sekaligus menyiratkan keprihatinan.
     
Keprihatinan ini yang menguatkan Butet untuk tidak berhenti memperjuangkan mimpi-mimpinya agar suku-suku di Indonesia memiliki skill, sehingga mereka bisa mempertahankan kehidupan yang mereka cintai. Atau jikapun hutan ternyata habis, karena tidak mampu dipertahankan, maka anggota suku masih tetap bisa bertahan menghadapi kehidupan.

               Indiana Jones

Menjejaki kehidupan sebagai manusia hutan, memang sudah menjadi impian Butet sejak masih duduk di sekolah dasar. Semenjak dibuai bacaan petualangan Lima Sekawan, serta melihat film Indiana Jones dan Gods Must Be Crazy, Butet sudah mencanangkan suatu hari akan bekerja yang berada di lingkup hutan.
     Usai menamatkan kuliah di Unpad dengan mengambil Jurusan Antropologi dan Sastra Indonesia, maka perempuan ini memilih bergabung dengan WARSI sebagai pelaksana program pendidikan pada Suku Orang Rimba di pedalaman hutan tropis Bukit Duabelas, Jambi. Pekerjaan ini membuat Butet mengalami serangkaian kejadian tak terlupakan.Mulai dari ditolak kehadirannya oleh suku karena sekolah dianggap melanggar adat, menghadapi ancaman pelaku illegal logging, hingga akhirnya perempuan ini bisa melebur dan larut dalam kehidupan Suku Orang Rimba.
     
Perlahan-lahan, dengan memberikan pengertian perlunya warga suku memahami membaca dan menulis agar tidak menjadi korban penipuan saat berjualan getah karet misalnya, akhirnya Butet bisa menyadarkan tentang pentingnya pendidikan bagi mereka.Pendidikan ini pun berkelanjutan, di tengah-tengah hutan dengan fasilitas minim dan seadanya.Murid-murid Butet berkembang hingga ratusan anak-anak Suku Rimba.
     
Empat tahun bergabung dengan WARSI, Butet akhirnya memilih keluar dari lembaga itu.Namun, pascakeluar Butet justru selalu teringat pada murid-muridnya. Butet merasa harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dimulainya. Pemikiran ini yang membuat Butet kemudian membentuk Sokola Rimba bersama empat orang sahabatnya: Dodi Rokhdian, Aditya 'Indit' Dipta Anindita, Oceu Apristawijaya dan Willy Marlupi dengan modal seadanya, berbekal proposal ke berbagai instansi dan lembaga agar bisa mendapatkan dana guna mendirikan sekolah di wilayah Bukit Duabelas.
     "Saya memang mendirikan Sokola Rimba karena ingin melakukan sesuatu yang lebih besar dari sebelumnya.Selain itu, memang saya dan teman-teman sangat menikmati bekerja di hutan.Senang menjadi Tarzan di rimba belantara," kata perempuan kelahiran 21 Februari 1972 ini.
     
Lama-kelamaan ketika Sokola Rimba di Jambi mulai berjalan, Butet merasa sangat egois jika tujuannya hanya untuk bersenang-senang, sementara masih ada suku-suku lain di Indonesia yang tentu membutuhkan pendidikan pula. Pemikiran ini yang membuat Butet akhirnya membuka Sokola Rimba di berbagai suku di Indonesia, dengan kekhasan dan keunikan sesuai kebutuhan suku, yang hingga akhirnya mencapai jumlah 15 buah.
     "Materi pengajaran dasar kami adalah membaca, berhitung dan pengetahuan umum yang praktis. Kami tidak bisa menetapkan jadwal tertentu, karena benar-benar harus menyesuaikan dengan kebiasaan dan  kebutuhan mereka," ucapnya.
     
Misalnya, ketika musim berburu maka sekolah akan kosong ditinggal murid. Namun di lain hari, murid-murid ini bisa saja meminta sekolah nyaris seharian karena merasa senang mendapatkan pengetahuan dengan bersekolah. Selama ini, sistem pengajaran ini biasanya memakan waktu antara 10 bulan hingga satu tahun dan kemudian dinyatakan lulus.Namun ada juga yang betah bersekolah, hingga meminta terus bersekolah sampai 3-5 tahun.
     "Jadi setelah lulus, kami akan membantu sesuai apa yang menjadi kebutuhan dan minat murid.Lanjutan pendidikan ini kita namakan Pendidikan Advokasi. Di sini anak-anak belajar skill yang berguna untuk komunitasnya. Misalnya kalau berminat mempelajari peta hutan adat, kami bisa membantu untuk meneruskan pendidikan pada komunitas atau LSM yang ahli pemetaan.Kalau ingin belajar advokasi demi kepentingan suku, kami sudah menjalin kerja sama dengan LBH atau WALHI agar ada wahana pembelajaran," ujarnya.
     
Butet menekankan bahwa dengan pendidikan yang diterima dengan penguasaan skill tertentu, hendaknya membuat mereka akan kembali kepada sukunya agar ilmu yang telah dipelajarinya bisa membawa manfaat. Akan tetapi, jikapun ada anggota suku yang ingin belajar ilmu seni lukis dan suatu saat berniat meninggalkan kehidupan di rimba untuk meniti karir sebagai pelukis profesional, maka Butet mempersilakan yang bersangkutan untuk mencari jalan sendiri atau jika mungkin, sekedar mengenalkan kepada teman yang ahli di bidang tersebut.
     
Kemahiran atau skill Orang Rimba bahkan pernah menuai prestasi, ketika film dokumenter berjudul "Rimba Rumah Kami' yang dibikin generasi muda suku itu berhasil menjadi salah satu pemenang pada lomba film amatir di Melbourne, Australia pada tahun 2006.
 
Tetap 'Survive' Tanpa Hutan
Seiring makin maraknya illegal logging, menjadikan kawasan hutan semakin minim dengan tumbuh-tumbuhan.Kondisi ini, menjadikan pendidikan berdasar perspektif Butet sangat penting artinya bagi suku-suku terpencil, yang hidupnya selama ini sangat bergantung pada hutan.
     "Nantinya kalau hutan makin menipis, kami harap suku-suku itu tetap bisa bertahan atau 'survive'. Ini pentingnya pendidikan agar mereka tidak terpinggirkan," katanya.
     
Kekhawatiran menipisnya hutan, karena tanaman hutan kian terpinggirkan dan tergantikan dengan ladang dan kelapa sawit oleh orang diluar hutan, membuat suku Orang Rimba sadar bahwa mereka harus mulai belajar menanam. Padahal secara adat, menanam tanaman keras (perkebunan) dengan cara mebuka hutan adalah tabu. Dalam adat mereka, mereka hanya diperbolehkan memetik apa yang tumbuh di hutan, jikapun ingin menanam, hanya boleh menanam tanaman di sela-sela hutan, misalnya tanaman buah-buahan, cabe dan sayuran.
     
Di sisi lain, Butet memberikan contoh lain bahwa selama ini sepeda motor sebagai benda luar dilarang memasuki wilayah hutan karena melanggar adat. Akan tetapi kenyataannya, sepeda motor amat bermanfaat untuk mengangkut hasil hutan untuk dijual, bisa menghemat waktu berjam-jam.
     
Kalau mengandalkan berjalan kaki sewaktu hendak berjualan hasil hutan, maka bisa membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari.Namun dengan sepeda motor, maka hasil hutan dapat diangkut dengan waktu yang singkat.
     "Dulu handphone juga sempat dilarang karena ketika membeli, sudah diisi dengan lagu atau video yang kurang mendidik.Ini dianggap melanggar adat. Sebagai solusi, di satu kelompok di rimba, ada yang handphone itu dilarang yang memiliki camera agar tidak bisa diisi video, kecuali oleh para kader  pendidikan, karena dianggap sudah bisa berlogika, sudah bisa menyaring sendiri berbagai hal negatif atau positif," ucap dia.
     
Butet berharap suatu saat nanti anggota suku memiliki filter tersendiri untuk membedakan mana hal baik dan buruk. Mana hal yang melanggar adat atau tidak. Mana yang diperlukan untuk kelangsungan hidup atau sebaliknya.Pengajaran ini untuk mempersiapkan suku-suku ketika mereka harus hidup berdampingan dengan orang-orang lain di luar suku tersebut.
     "Kami juga menginginkan agar pemerintah jangan asal bikin program rumahnisasi kepada suku-suku itu, tanpa punya pengetahuan cukup tentang komunitas tersebut. Mereka biasa hidup di hutan, seluruh hutan itu adalah rumah mereka, bukan cuma pondoknya, karena memang itulah kehidupan yang mereka kenal sejak dahulu kala," ucap penerima penghargaan Heroes of Asia Awards 2004 versi majalah Time.
     
Di lain pihak, Butet pun mengharapkan bahwa berbagai pihak seyogyanya bisa saling belajar. Harapan lainnya, perempuan ini menginginkan agar buku dan film berjudul sama yakni “Sokola Rimba” juga bisa menjadi sumber belajar bagi pemerintah dan berbagai pihak yang bekerja mendampingi komunitas adat di Indonesia.(vivi/r6 )



Kamis, 23 Juni 2016

Putu Lengkong Mimpikan Musium Lukis Keramik

Putu Lengkong /balikini.net
Balikini.Net -Perempuan Bali berjalan gemulai dengan banten di atas kepala, kerumunan lelaki dalam tarian Cak, dan kehidupan tradisional masyarakat Pulau Dewata, tergambar menawan di atas media keramik.
     
Tema lukisan yang mengabadikan keklasikan wayang khas Kamasan, atau mengikuti style Pengosekan, Batuan, Young Artist, yang pernah begitu populer di Bali, tertuang dengan indahnya.
     "Memang saya yang mempelopori pembuatan lukisan keramik di Bali. Sejak tahun 1984, saya belajar melukis keramik dari wisatawan asal Jerman dan Australia," ujar Putu Yuliartha saat ditemui satu siang di 'showroom' lukisan keramik di Denpasar Timur.
     
Kesulitan demi kesulitan sempat dialami pria yang akrab dipanggil Putu Lenkong ini, karena sebelumnya terbiasa melukis dengan kanvas. Namun dengan keteguhan dan niat sungguh-sungguh, kesulitan itu bisa diatasi dan Putu bisa melukis di atas keramik tanpa hambatan lagi.
     
Tak seperti melukis di atas kanvas, jika menggambar di atas keramik harus melalui proses pengovenan dengan tujuan supaya cat yang digunakan bisa melekat dengan sempurna. Proses pengovenan bisa memakan waktu sampai 12 jam.
     "Ketika sudah bisa menghasilkan karya di atas keramik, ayah saya I Nyoman Reken mulai mempromosikan di tempat kerjanya di Hotel Bali Beach. Setiap tamu yang datang, ditawari lukisan keramik. Dari sinilah, perlahan-lahan lukisan keramik dengan merek Bali Permata ini mulai dikenal orang," ujarnya.
    
Hasil karya Putu Lenkong pun akhirnya diketahui pihak Disperindag Bali, sehingga disarankan untuk mengurus perizinan. Setelah izin didapat, Bali Permata mulai aktif diajak untuk mengikuti pameran di Bali atau kota-kota besar di Indonesia. Bahkan, lama-lama Bali Permata disertakan dalam pameran di berbagai negara di Asia dan Eropa.
     
Kepopuleran lukisan keramik, membuat Putu Lenkong sempat diundang Presiden Soharto dalam even KTT ASEAN dan diberi kesempatan untuk memamerkan hasil karya. Putri Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana malah amat mengagumi karya lukisan keramik itu dan mengajak Putu Lengkong sebagai mitra binaan.
     
Kepopuleran lukisan keramik, membuat Bali Permata dipercaya menjadi Duta ASEAN Center pada tahun 1996. Produk Bali Permata kemudian sangat diminati pencinta lukisan dari Jepang, karena dianggap sulit untuk ditiru dan membawa tema kesenian yang kaya nilai budaya.

            Museum Lukisan Keramik
                 
Bahan baku keramik yang digunakan Bali Permata, dipesan dari kawasan Pejaten - Tabanan atau meminta kiriman dari Tangerang - Jawa Barat. Bahan baku itu itu meliputi piring hias, cangkir, hiasan dinding, produk 'home ware' lain dan sejenis ubin yang dipadukan menjadi lukisan.
     
Dibantu tujuh orang karyawan, Putu Lenkong membuat berbagai macam karya lukisan keramik di workshop di bilangan Denpasar Timur. Kalau produk berukuran kecil, dalam sebulan bisa dihasilkan karya hingga mencapai 1.000 pieces.
     "Kalau produk lukisan, saya biasa membuat dalam tempo satu hari, lalu dioven 12 jam. Jadi tidak bisa diburu-buru. Makanya meski tidak ada pesanan, kami tetap berproduksi karena kalau 'high season', bisa saja tiba-tiba ada rombongan turis datang," ujarnya seraya menambahkan harga lukisan keramik mulai Rp350 ribu sampai puluhan juta rupiah.
     
Di samping itu, ucap Putu Lenkong, setiap tahun ada pelanggan dari Jerman yang rutin datang dua atau tiga kali. Pelanggan itu siap memborong produk lukisan keramik untuk dipasarkan di negaranya.
     "Respon pembeli atau kolektor barang seni dari luar negeri sangat bagus. Namun antusias pembeli lokal juga banyak kok. Makanya kalau ikut pameran, omzet bisa sampai ratusan juta rupiah. Melihat antusiasme pasar, saya jadi terpikir untuk mendirikan museum lukisan keramik," katanya.
     
Direncanakan museum itu mulai dibangun pada akhir 2016, dengan menampilkan koleksi produk Bali Permata sejak awal didirikan. Produk lukisan keramik itu sengaja ditampilkan untuk pengunjung, untuk mengetahui jejak kesejarahan produk Bali Permata dari tahun ke tahun.
    
               Ikon Denpasar

     
Mengarungi bisnis lukisan keramik melebihi masa 20 tahun, membuat Putu Lenkong mengalami beragam pengalaman manis dan pahit. Salah satu pengalaman kurang mengenakkan, ketika produk lukisan itu ditiru orang dengan metode scan kemudian diaplikasikan pada media keramik.
     "Produk Bali Permata kan 'handmade' jadi benar-benar unik. Sedang yang menggunakan scan, tentu menjadi tak menarik karena barang tiruan dan nilai artistiknya berkurang," katanya.
     
Meski demikian, Putu tidak patah arang. Adanya tindakan plagiat justru membuatnya kian giat berkarya, berusaya membuat desain berbeda, dan mengeluarkan karya yang lebih berkualitas.
     
Bahkan, jika ada karyawan yang mengundurkan diri dan mendirikan usaha serupa, Putu tak akan menganggap sebagai saingan. Baginya, lukisan keramik adalah produk kesenian, jadi karya setiap orang pasti memiliki kekhasan tersendiri.
     "Kalau saya menggunakan bahan baku cat keramik dari Eropa. Harus ada pencampuran dengan teknis khusus. Ibu saya Ni Nyoman Rusmini, yang khusus bertugas mencampur cat keramik ini. Ini salah satu rahasia dapur usaha saya," ucap dia sambil terkekeh.
     
Kalau museum sudah terbangun, Putu Lenkong berharap lukisan keramik akan menjadi ikon Kota Denpasar dan Bali, mengingat kekhasan yang dimiliki.  (Tri Vivi Suryani )
     
    

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved