-->

Minggu, 26 Juni 2016

Butet Manurung Ingin Sumbangkan Pemikiran Pada Aborigin

Butet Manurung Ingin Sumbangkan Pemikiran Pada Aborigin

 
butet ( balikini.net /vivi)
Balikini.Net - "Empat bulan dalam satu tahun, saya tinggal di Australia.Saya sudah terpikir ingin belajar dari sistem pendidikan Australia terhadap komunitas Aborigin, dan jika mungkin, saya ingin menyumbangkan pemikiran atau melakukan sesuatu yang bermanfaat pada Suku Aborigin," kata Butet Manurung, pendiri Sokola Rimba.
     
Ide tersebut sudah terbesit beberapa saat, ketika Butet masih menjadi mahasiswa di Australian National University, Canberra dan belajar di kelasnya tentang bagaimana kehidupan Suku Aborigin. Bahwa pemerintah Australia saat ini, telah lebih banyak memberikan dukungan sumber daya bagi pengembangan kesejahteraan Suku Aborigin. Banyak juga inisiatif dari LSM setempat dengan berbagai fokus kegiatan dan pendekatan. Butet ingin belajar dari berbagai pendekatan yang dilakukan di Australia.
     
Menurut Butet, kebanyakan suku atau komunitas adat di dunia ini menghadapi isu yang sama: keterancaman hilangnya lahan dan sumber daya alam, hilangnya kekayaan pengetahuan tradisional dan kearifan lingkungan serta kurangnya dukungan politik terhadap eksistensi dan haknya. Banyak dari suku itu yang dengan pengetahuan tradisionalnya, tidak mampu memahami dan mengatasi gempuran dari dunia luar tersebut. Misalnya : tidak bisa membaca kontrak jual beli lahan, tidak mengerti dampak buruk MSG dan gula atau bahkan alkohol dan obat terlarang, serta tidak ada contoh bagaimana keadaan alam yang rusak itu, sehingga ketika hutan sudah hancur dan habis, sudah terlalu terlambat bagi mereka untuk belajar dan berjuang mempertahankannya.
     
Latar belakang ini yang membuat Butet terketuk dan terpikir, sesungguhnya, setiap pihak dimanapun di dunia ini, yang punya pengalaman mendampingi komunitas adat bisa saling belajar dan  bertukar pengalaman. Butet ingin belajar sekaligus melakukan sesuatu yang bermanfaat positif buat Suku Aborigin. Butet yakin pengalaman tersebut pasti akan memperkaya pengetahuan dan memberi manfaat juga bagi program Sokola di Tanah Air.
     "Ini yang ingin saya lakukan ke depan. Namun saat ini, saya masih konsentrasi memaksimalkan Sokola Rimba di berbagai pelosok Nusantara," ujar istri Kelvin James Milne.
     
Mendirikan sokola atau sekolah, memang bukan hal baru bagi perempuan kelahiran Jakarta ini. Sebelumnya, Butet telah mendirikan 15 sokola rimba, di berbagai suku-suku di Indonesia. Sokola terakhir yang didirikan terletak di Suku Asmat, di kampung Mumugu Batas Batu di Papua, pada September 2013 lalu.
     "Semakin lama, keberadaan suku-suku di Tanah Air makin terjepit karena hutan dan sumber daya mereka makin banyak dijarah. Kalau anggota suku itu tidak dibekali kemampuan atau skill, dan hutannya habis, apa yang mereka bias andalkan untuk mengarungi kehidupan tanpa hutan? Paling mereka hanya dijadikan kuli angkut," ujar perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung ini dengan suara sedih, sekaligus menyiratkan keprihatinan.
     
Keprihatinan ini yang menguatkan Butet untuk tidak berhenti memperjuangkan mimpi-mimpinya agar suku-suku di Indonesia memiliki skill, sehingga mereka bisa mempertahankan kehidupan yang mereka cintai. Atau jikapun hutan ternyata habis, karena tidak mampu dipertahankan, maka anggota suku masih tetap bisa bertahan menghadapi kehidupan.

               Indiana Jones

Menjejaki kehidupan sebagai manusia hutan, memang sudah menjadi impian Butet sejak masih duduk di sekolah dasar. Semenjak dibuai bacaan petualangan Lima Sekawan, serta melihat film Indiana Jones dan Gods Must Be Crazy, Butet sudah mencanangkan suatu hari akan bekerja yang berada di lingkup hutan.
     Usai menamatkan kuliah di Unpad dengan mengambil Jurusan Antropologi dan Sastra Indonesia, maka perempuan ini memilih bergabung dengan WARSI sebagai pelaksana program pendidikan pada Suku Orang Rimba di pedalaman hutan tropis Bukit Duabelas, Jambi. Pekerjaan ini membuat Butet mengalami serangkaian kejadian tak terlupakan.Mulai dari ditolak kehadirannya oleh suku karena sekolah dianggap melanggar adat, menghadapi ancaman pelaku illegal logging, hingga akhirnya perempuan ini bisa melebur dan larut dalam kehidupan Suku Orang Rimba.
     
Perlahan-lahan, dengan memberikan pengertian perlunya warga suku memahami membaca dan menulis agar tidak menjadi korban penipuan saat berjualan getah karet misalnya, akhirnya Butet bisa menyadarkan tentang pentingnya pendidikan bagi mereka.Pendidikan ini pun berkelanjutan, di tengah-tengah hutan dengan fasilitas minim dan seadanya.Murid-murid Butet berkembang hingga ratusan anak-anak Suku Rimba.
     
Empat tahun bergabung dengan WARSI, Butet akhirnya memilih keluar dari lembaga itu.Namun, pascakeluar Butet justru selalu teringat pada murid-muridnya. Butet merasa harus bertanggung jawab atas apa yang sudah dimulainya. Pemikiran ini yang membuat Butet kemudian membentuk Sokola Rimba bersama empat orang sahabatnya: Dodi Rokhdian, Aditya 'Indit' Dipta Anindita, Oceu Apristawijaya dan Willy Marlupi dengan modal seadanya, berbekal proposal ke berbagai instansi dan lembaga agar bisa mendapatkan dana guna mendirikan sekolah di wilayah Bukit Duabelas.
     "Saya memang mendirikan Sokola Rimba karena ingin melakukan sesuatu yang lebih besar dari sebelumnya.Selain itu, memang saya dan teman-teman sangat menikmati bekerja di hutan.Senang menjadi Tarzan di rimba belantara," kata perempuan kelahiran 21 Februari 1972 ini.
     
Lama-kelamaan ketika Sokola Rimba di Jambi mulai berjalan, Butet merasa sangat egois jika tujuannya hanya untuk bersenang-senang, sementara masih ada suku-suku lain di Indonesia yang tentu membutuhkan pendidikan pula. Pemikiran ini yang membuat Butet akhirnya membuka Sokola Rimba di berbagai suku di Indonesia, dengan kekhasan dan keunikan sesuai kebutuhan suku, yang hingga akhirnya mencapai jumlah 15 buah.
     "Materi pengajaran dasar kami adalah membaca, berhitung dan pengetahuan umum yang praktis. Kami tidak bisa menetapkan jadwal tertentu, karena benar-benar harus menyesuaikan dengan kebiasaan dan  kebutuhan mereka," ucapnya.
     
Misalnya, ketika musim berburu maka sekolah akan kosong ditinggal murid. Namun di lain hari, murid-murid ini bisa saja meminta sekolah nyaris seharian karena merasa senang mendapatkan pengetahuan dengan bersekolah. Selama ini, sistem pengajaran ini biasanya memakan waktu antara 10 bulan hingga satu tahun dan kemudian dinyatakan lulus.Namun ada juga yang betah bersekolah, hingga meminta terus bersekolah sampai 3-5 tahun.
     "Jadi setelah lulus, kami akan membantu sesuai apa yang menjadi kebutuhan dan minat murid.Lanjutan pendidikan ini kita namakan Pendidikan Advokasi. Di sini anak-anak belajar skill yang berguna untuk komunitasnya. Misalnya kalau berminat mempelajari peta hutan adat, kami bisa membantu untuk meneruskan pendidikan pada komunitas atau LSM yang ahli pemetaan.Kalau ingin belajar advokasi demi kepentingan suku, kami sudah menjalin kerja sama dengan LBH atau WALHI agar ada wahana pembelajaran," ujarnya.
     
Butet menekankan bahwa dengan pendidikan yang diterima dengan penguasaan skill tertentu, hendaknya membuat mereka akan kembali kepada sukunya agar ilmu yang telah dipelajarinya bisa membawa manfaat. Akan tetapi, jikapun ada anggota suku yang ingin belajar ilmu seni lukis dan suatu saat berniat meninggalkan kehidupan di rimba untuk meniti karir sebagai pelukis profesional, maka Butet mempersilakan yang bersangkutan untuk mencari jalan sendiri atau jika mungkin, sekedar mengenalkan kepada teman yang ahli di bidang tersebut.
     
Kemahiran atau skill Orang Rimba bahkan pernah menuai prestasi, ketika film dokumenter berjudul "Rimba Rumah Kami' yang dibikin generasi muda suku itu berhasil menjadi salah satu pemenang pada lomba film amatir di Melbourne, Australia pada tahun 2006.
 
Tetap 'Survive' Tanpa Hutan
Seiring makin maraknya illegal logging, menjadikan kawasan hutan semakin minim dengan tumbuh-tumbuhan.Kondisi ini, menjadikan pendidikan berdasar perspektif Butet sangat penting artinya bagi suku-suku terpencil, yang hidupnya selama ini sangat bergantung pada hutan.
     "Nantinya kalau hutan makin menipis, kami harap suku-suku itu tetap bisa bertahan atau 'survive'. Ini pentingnya pendidikan agar mereka tidak terpinggirkan," katanya.
     
Kekhawatiran menipisnya hutan, karena tanaman hutan kian terpinggirkan dan tergantikan dengan ladang dan kelapa sawit oleh orang diluar hutan, membuat suku Orang Rimba sadar bahwa mereka harus mulai belajar menanam. Padahal secara adat, menanam tanaman keras (perkebunan) dengan cara mebuka hutan adalah tabu. Dalam adat mereka, mereka hanya diperbolehkan memetik apa yang tumbuh di hutan, jikapun ingin menanam, hanya boleh menanam tanaman di sela-sela hutan, misalnya tanaman buah-buahan, cabe dan sayuran.
     
Di sisi lain, Butet memberikan contoh lain bahwa selama ini sepeda motor sebagai benda luar dilarang memasuki wilayah hutan karena melanggar adat. Akan tetapi kenyataannya, sepeda motor amat bermanfaat untuk mengangkut hasil hutan untuk dijual, bisa menghemat waktu berjam-jam.
     
Kalau mengandalkan berjalan kaki sewaktu hendak berjualan hasil hutan, maka bisa membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari.Namun dengan sepeda motor, maka hasil hutan dapat diangkut dengan waktu yang singkat.
     "Dulu handphone juga sempat dilarang karena ketika membeli, sudah diisi dengan lagu atau video yang kurang mendidik.Ini dianggap melanggar adat. Sebagai solusi, di satu kelompok di rimba, ada yang handphone itu dilarang yang memiliki camera agar tidak bisa diisi video, kecuali oleh para kader  pendidikan, karena dianggap sudah bisa berlogika, sudah bisa menyaring sendiri berbagai hal negatif atau positif," ucap dia.
     
Butet berharap suatu saat nanti anggota suku memiliki filter tersendiri untuk membedakan mana hal baik dan buruk. Mana hal yang melanggar adat atau tidak. Mana yang diperlukan untuk kelangsungan hidup atau sebaliknya.Pengajaran ini untuk mempersiapkan suku-suku ketika mereka harus hidup berdampingan dengan orang-orang lain di luar suku tersebut.
     "Kami juga menginginkan agar pemerintah jangan asal bikin program rumahnisasi kepada suku-suku itu, tanpa punya pengetahuan cukup tentang komunitas tersebut. Mereka biasa hidup di hutan, seluruh hutan itu adalah rumah mereka, bukan cuma pondoknya, karena memang itulah kehidupan yang mereka kenal sejak dahulu kala," ucap penerima penghargaan Heroes of Asia Awards 2004 versi majalah Time.
     
Di lain pihak, Butet pun mengharapkan bahwa berbagai pihak seyogyanya bisa saling belajar. Harapan lainnya, perempuan ini menginginkan agar buku dan film berjudul sama yakni “Sokola Rimba” juga bisa menjadi sumber belajar bagi pemerintah dan berbagai pihak yang bekerja mendampingi komunitas adat di Indonesia.(vivi/r6 )



Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved