BaliKini.Net - Meditasi yang dilakukan Budhakecapi di setra (kuburan)
merupakan gambaran pencapaian spiritual tertinggi bagi seorang dukun. Lewat
meditasi Khapalika, Bhoda Kecapi mendapatkan pencerahan tentang dunia
pengobatan dan pencapaian spiritual dari alam semesta. Inilah yang membuat
dirinya arif dan bijaksana dalam menempuh kehidupan sebagai seorang pengusada
(ahli pengobatan). Tidak hanya mengetahui penyakit dan obatnya, tetapi juga
ciri-ciri apakah pasien bisa diobati atau tidak, termasuk tanda-tanda
kematian.
Kemampuan membaca kandungan zat dari tumbuh-tumbuhan
(farmakologi) dan benda-benda di sekitarnya termasuk kondisi tubuh seseorang,
merupakan keahlian yang harus dicapai seorang pengusada. Pencapaian inilah yang
diajarkan Mpu Kuturan yang dituangkan dalam lontar Taru Premana (tanaman obat).
Inilah sesungguhnya yang harus dikuasai bagi seorang dukun. Bagi seorang calon
dukun di Bali atau disebut calon balian, harus memahami apa yang disebut Genta Pinara
Pitu, Tapakin Kuntul Angelayang, dan aksara-aksara suci. Jika tidak, ia akan
menjadi balian tanpa arah. Sebab seorang dukun harus tahu membaca, apakah
seorang pasien bisa disembuhkan atau diobati, atau mungkin ajal akan segera
menjemputnya sehingga tidak boleh diobati. Inilah yang harus dikuasai seorang
dukun sebagai hasil dari pencapaian spiritual dari proses pembelajaran. Salah
satu bentuk lelaku untuk mencapai hal itu adalah dengan melaksanakan meditasi
Khapalika.
Khapalika merupakan sebuah istilah yang bermakna tempat dan
tujuan terakhir pencarian Tuhan. Istilah ini merupakan penggalan kata Khea yang
berarti kesadaran dan Khalika yang bermakna kuburan. Jadi Khapalika artinya
mencari kesadaran diri melalui meditasi di tengah kuburan.
Khapalika adalah salah satu bentuk meditasi di antara sekian
banyak ragam meditasi yang berkembang. Namun meditasi ini merupakan bagian
tertinggi dari bentuk meditasi, dilihat dari pencapaiannya. Sebab dilihat dari
istilahnya “Khapalik” , kata tersebut bermakna tempat dan tujuan terakhir dari
pencarian Tuhan. Dari rangkaian kisah Bhoda Kecapi yang ditulis dalam lontar usada
Bhoda Kecapi, Kalimosada, Usada Sari, maupun Ratuning Usada, teknik meditasi
inilah yang digunakan Mpu Kuturan untuk mendapatkan petunjuk tentang obat (Taru
Premana) dan teknik pengobatan.
Selain sebagai pandita, ahli agama, bangunan dan strategi
pemerintahan, Mpu Kuturan juga seorang balian (dukun) sakti. Namun dalam
perjalanannya menyembuhkan orang sakit, dia pernah gagal. Atas kegagalannya
itu, dia meminta petunjuk kepada Tuhan. Salah satu lelaku yang ditempuh adalah
meditasi Khapalika. Dengan cara ini, Mpu Kuturan diberi anugerah pengetahuan
tentang nama-nama tanaman yang berkhasiat untuk obat, cara mendiagnosa penyakit
dan membaca tanda-tanda kematian. Pengetahuan ini kemudian disarikan dalam
beberapa tulisan seperti Taru Premana, Bhoda Kecapi, Kalimosada-Kalimosadi,
Usada Sari, dan Ratuning Usada.
Namun jangan berharap menemukan istilah meditasi dalam
naskah-naskah kuna tersebut karena pengertian meditasi yang dimaksud lebih
dekat pada makna kata Samadhi (semadi).
Pengertian meditasi kadangkala juga disamakan dengan tapa, brata,
yoga dan semadi. Sebagai contoh, ketika tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan
meminta petunjuk para dewa, dikatakan sedang melakukan tapa, brata, yoga dan
semadi. Mungkin istilah meditasi bukan merupakan khasanah bahasa pada zaman
itu, tetapi dari tingkatan istilah tersebut (tapa, brata, yoga, dan semadi),
semadi yang bermakna meditasi merupakan tingkatan tertinggi karena untuk
mencapai semadi terlebih dahulu melakukan tapa, brata dan yoga.
Meditasi Khapalika memang berbeda dengan bentuk meditasi
lainnya. Kalau meditasi lainnya lebih menitik-beratkan pada pengertian diam,
duduk tenang tanpa gerak untuk mencapai keheningan dan ketenangan serta
pencerahan, meditasi khapalik dilakukan dengan gerakan tertentu.
Meditasi khapalika dibedakan atas dua bagian yaitu Awidya
Tantra dan Widya Tantra. Awidya Tantra mengutamakan jalan sakti melalui lelaku
di kuburan, sedangkan Widya Tantra mengutamakan kesadaran diri untuk mencapai
Tuhan. Dalam pencarian kesadaran tertinggi oleh Bhoda Kecapi, dilakukan lewat
jalan Awidya Tantra karena dilakukan di atas tempat pembakaran jenasah di
tengah kuburan.
Menurut seorang yogi, Prajasphati, untuk mencapai hasil yang
diharapkan, meditasi khapalika dilakukan pada hari yang tepat, yaitu tengah
malam bertepatan dengan bulan mati (Tilem). Sebelum meditasi, terlebih dahulu
mengitari tempat pembakaran jenasah sambil menarikan tarian dengan posisi kaki
diangkat satu-satu secara bergantian (mendengkleng). Tarian ini sering
diidentikkan dengan gerakan orang menjadi leak (ngelekas), tetapi sesungguhnya
tarian yang disebut Tandawa ini merupakan gabungan secara sistematik dari gita,
vadya, dan mudra yang diciptakan Siwa dalam konsep Siwa Nata Raja, yaitu Siwa
dalam keadaan transedental melakukan gerakan tertentu. Setelah itu dilanjutkan
dengan kirtanam atau mengumandangkan lagu-lagu atau nyanyian untuk memuja
Tuhan. Bagian terakhir dari rangkaian prosesi yang merupakan bagian paling
puncak adalah duduk di tengah-tengah tempat pembakaran jenasah, berkontemplasi
dan meditasi. Proses ini disebut dengan
Dhyeya. Bagi penekun ilmu leak, proses ini berakhir dengan perubahan wujud yang
terjadi pada diri pelaku atau disebut dengan ngelekas.
Namun bagi penekun meditasi, proses ini akan menghasilkan
efek sakti seperti mengeluarkan sinar mulai dari cakra muladara hingga sahasra,
kemudian mencapai kesadaran tertinggi untuk menerima wahyu atau wangsit
dari alam semesta seperti halnya Bhoda
Kecapi.
Pada tingkatan inilah seseorang kerap terpengaruh oleh ego,
ambisi dan kemabukan sehingga sakti ini dipakai untuk mencapai perubahan wujud
menjadi leak. Jadi sesungguhnya, orang yang mencapai sakti untuk tujuan menjadi
dukun dan orang yang belajar ngeleak dengan melakukan ritual di tempat
pembakaran jenasah (pemuwunan) di tengah kuburan adalah orang yang melakukan
meditasi khapalika. Hanya disiplin ilmu yang dipelajari berbeda, apakah Widya
Tanta atau Awidya Tantra.
Membaca Kematian
Bagi Bhoda Kecapi, lelaku ini ditempuh karena kegagalannya
dalam melaksanakan pengobatan. Dengan
teknik ini, Bhoda Kecapi menemukan pencerahan. Dia mendapat anugerah Dewi Durga
dalam bidang pengobatan. Sementara Dewi Laksmi (sakti Wisnu) memberinya
anugerah spiritual, dan Dewi Saraswati sebagai sakti Dewa Brahma memberinya
anugerah tentang moksa (penyatuan diri dengan Tuhan). Dengan anugerah kesaktian
ini, Bhoda Kecapi paham tentang bahan obat, proses penyakit dan jalan kematian
bagi seorang pasien. Konon, Bhoda Kecapi dapat berbicara dengan tumbuh-tumbuhan
sehingga tahu zat-zat yang terkandung di dalamnya (semacam ilmu farmakologi
modern) untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Hasil komunikasinya ini kemudian
disarikan dalam lontar Taru Pramana. Ia juga tahu membaca tanda-tanda apakah
pasien bisa sembuh atau ajal akan menjemputnya sehingga ada pantangan-pantangan
baginya untuk mengobati pasien yang sudah mendekati ajalnya.
Inilah yang kemudian menjadi panduan para dukun di Bali
dalam melaksanakan tugasnya. Seorang dukun pantang memberikan obat dan mantra
apabila tanda-tanda kematian sudah mendekati pasien. Tanda-tanda tersebut dapat
dilihat dari keringat yang dikeluarkan. Apabila orang sakit mengeluarkan keringat
deras dari kedua telinganya dan keringatnya lengket, itu pertanda bahwa ajal
segera menjemputnya. Karena itu, pantang diberi obat. Bila ubun-ubunnya keluar
keringat dan asap tipis, dalam tempo tujuh hari si sakit akan mati. Demikian
juga bila orang yang sakit keras mukanya tampak miring dan mulutnya menganga,
pertanda ajal segera menjemputnya.
Kalau kening orang sakit sudah tampak gurem tidak bercahaya
dan si sakit merasa mendengar bunyi berdebar-bedar, maka pantang diberi obat
karena dalam hitungan hari, akan mati.
Petuah Bhoda Kecapi kepada dua orang muridnya bernama
Kalimosada dan Kalimosadi merupakan pengetahuan bagi seorang dukun, apakah si
sakit bisa disembuhkan atau tidak. Cara yang diajarkan adalah mendeteksi lewat
telinganya. Masukkan telunjuk ke kedua telinga si sakit. Apabila terasa sepi
dan tidak bertenaga, si sakit pantang diberi obat karena hidupnya tidak akan
lama lagi. Kalau teliganya ada getaran, barulah diberi obat.
Petuah paling penting oleh Bhoda Kecapi ditujukan untuk para
dukun adalah hanya di dalam hati kita bisa merasakan suka dan duka karena di
sanalah kekuasaan Dhurga yang berasal dari kata Dhur (suara) dan Gha (jiwa) bersemayam.
Dan sesungguhnya Dhurga merupakan suara sang jiwa, roh dan atma sebagai inti
dari kehidupan.
Kitab sastra
Mahottama menyebutkan bahwa Tuhan berada teramat dekat di dalam jantung
kesadaran manusia. Dan sesungguhnya pencarian kesadaran bermula dari rasa
kedekatan hati. Itulah yang menjadi hakikat dari meditasi khapalika, yang untuk
membuat manusia sadar akan keberadaan diri sang jiwa dan kematian.[nym/r4]
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram