-->

Minggu, 03 Januari 2021

Selama Tiga Tahun Terakhir Ada 746 Anak Barhadapan Dengan Hukum

 Selama Tiga Tahun Terakhir Ada 746 Anak Barhadapan Dengan Hukum

Bali Kini , Denpasar - Tewasnya seorang Gadis asal Sukawati yang terjadi di Ubung Kaja dengan luka tusukan dan sayatan sebanyak 32 titik, diketahui pelakunya masih berumur 14 tahun. 


Adahya peristiwa yang terjadi di penghujung tahun 2020, membuat Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali angkat bicara. Bahkan dari datanya, sejak 2017 sampai hingga tahun 2020 tercatat 746 anak di Bali berhadapan dengan permasalahan hukum.



Dari hasil pendataan publikasi di media massa, rinciannya sebanyak 400 anak (52%) berkonflik dengan hukum. Sedangkan 346 anak (48%) sebagai korban.


“Anak yang berkonflik dengan hukum paling banyak melakukan tindak pidana pencurian. Termasuk pencurian dengan kekerasan seperti begal. Lalu anak sebagai korban, paling banyak kekerasan seksual,” ungkap Komisioner KPPAD Bali Bidang Anak, Ni Luh Gede Yastini di Kantor KPPAD Bali, Renon.


Dari sisi pengawasan KPPAD Bali, di tahun 2020 menemukan beberapa kasus. Terutama korban tindak pidana kekerasan seksual maupun pencabulan. Dikatakannya, masih ada yang belum terselesaikan dan terhambat dalam proses hukum, dikarenakan biaya visum dibebankan kepada korban.


“Dalam penyampaian kasus kekerasan seksual terhadap anak hasil visum dibuka di ruang publik. Padahal hal tersebut akan sangat memengaruhi psikologi anak dan keluarganya. Hal ini menjadi bagian yang disikapi dan bagian advokasi KPPAD Bali di tahun 2020,” sambungnya didampingi Ketua KPPAD Bali AA. Sagung Anie Asmoro dan Wakil Ketua KPPAD Bali Eka Shanti Indra Dewi.


Yastini menjelaskan, KPPAD Bali berharap anak yang melakukan tindak pidana, agar dalam proses hukumnya berjalan sesuai dengan Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.


Diakui, banyak ditemukan pelanggaran terhadap Undang Undang untuk anak yang berkonflik dengan hukum adalah masih adanya temuan publikasi identitas anak. Untuk itu ia meminta pemerintah kabupaten atau kota tidak membebankan biaya visum kepada anak serta keluarganya.


“Bagi aparat penegak hukum kami mengharapkan agar dalam penyampaian hasil visum tidak dibuka kepada publik. Dan hanya dibuka di ruang pengadilan tertutup untuk umum. Sementara untuk pemberitaan kasus anak dalam publikasi agar tetap menjaga kerahasiaan identitas anak,” pungkas Yastini.[ar/r5]

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved