Pakar Hukum Adat Prof. Wayan P. Windia menjadi narasumber dalam Baksos dan penyuluhan hukum FH UNR di Wantilan Pura Luhur Pucak Geni Desa Adat Sribupati, Desa Cau Blayu, Marga, Tabanan, Sabtu (5/7).
Laporan Reporter : Gede
TABANAN, BALI KINI - Fakultas Hukum (FH) Universitas Ngurah Rai (UNR) di menggelar Bakti Sosial (Baksos) sekaligus Penyuluhan Hukum di Desa Adat Seribupati, Desa Cau Belayu, Kecamatan Marga, Tabanan, Sabtu (5/7/2025).
Kegiatan yang berlangsung di Wantilan Pura Luhur Pucak Geni Desa Adat Sribupati, itu mengusung tema "Bakti Sosial dan Penyuluhan Hukum: Revitalisasi Hukum Adat, Harmonisasi Nilai Tri Hita Karana untuk Masyarakat Berkelanjutan". FH UNR mendatangkan pakar hukum adat, Prof. Wayan P. Windia.
Prof I Wayan P Windia, yang juga Guru besar FH Universitas Udayana mengupas banyak hal tentang awig-awig, mulai dari sejarah hingga perlunya revisi.
Menurut Prof Windia, awig-awig sebelum 1986 adalah aturan yang berlaku di desa adat tertentu, disusun sesuai situasi dan kondisi objektif di desa adat setempat.
Namun, sesudah 1986, awig-awig adalah aturan yang berlaku di desa adat tertentu, disusun sesuai atau berdasar desa mawacara (hukum adat Bali) dan negara mawatata (hukum negara/peraturan perundang-undangan).
“Oleh karena itu, awig-awig perlu direvisi mengikuti zamannya,” kata Prof Windia.
Revisi awig-awig tersebut maksudnya adalah menyesuaikan format, sistematika, dan substansi awig-awig desa adat yang tertulis/tersurat dengan perkembangan masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Revisi awig-awig desa adat yang belum tersurat, relatif lebih gampang dibandingkan yang sudah tersurat,” ujarnya. Prof Windia menambahkan ada dua hal mengapa awig-awig perlu direvisi.
Pertama, karena adanya perkembangan atau perubahan dinamika di masyarakat, baik di dalam maupun di luar desa adat.
Kedua, karena ada perubahan peraturan perundang-undangan, seperti adanya perubahan keputusan atau Surat Edaran PHDI, MPLA, dan MDP Bali. Lalu perubahan karena ada keputusan atau Surat Edaran Bersama PHDI dan MDA Bali.
Terakhir karena adanya perubahan hukum positif, baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Daerah Provinsi Bali. Ahli hukum adat ini pun membagikan tip cara merevisi awig-awig desa adat di Bali.
Pertama, bisa menggunakan contoh awig-awig tertulis dari desa adat yang lain, yang situasi dan kondisinya mirip. Baik dari segi jumlah banjar, warga, jumlah pura, maupun warganya nunggal atau nyatur.
Kedua, mulai dari substansi yang gampang. Ketiga, lanjutkan dengan substansi yang sulit. Terakhir, ia menyarankan untuk meninggalkan substansi yang tidak mungkin ditulis atau direvisi.
Namun, ada banyak permasalahan yang harus diperhatikan agar bisa menyamakan persepsi saat merevisi awig-awig.
Biasanya menyangkut permasalahan eksternal desa adat, seperti batas desa, kewajiban dan hak krama tamiu dan tamiu serta kewajiban dan hak pengusaha/investor di desa adat.
Kadang juga muncul permasalahan internal desa adat di bidang parhyangan, seperti: penentuan status dan tata kelola Pura (pangempon, panyungsung, dan panyiwi) serta sengker cuntaka.
Lalu permasalahan internal desa adat bidang pawongan, seperti penentuan status krama desa (krama pengarep dan krama pengampel) dalam hubungan dengan swadharma dan swakikara.
Kadang, lanjutnya, juga muncul status janda (balu luh) dalam hubungan dengan swadharma dan swadikara dalam keluarga dan desa adat, serta pengangkatan anak.
Untuk permasalahan internal desa adat bidang palemahan, biasanya menyangkut penentuan status dan tata kelola padruwen desa adat berupa tanah dan penentuan status dan tata kelola padruwen desa adat non-tanah.
"Kalau ada permasalahan seperti itu, ingat tujuan revisi awig-awig. Utamakan kebaikan, bukan kebenaran dalam menyelesaikan masalah,” kata Prof Windia.
Menurut Prof Windia, kebaikan dalam hal ini diartikan kecocokan atau kesepakatan, dan bukan kebenaran berdasarkan suara terbanyak. Oleh karena itu, lebih baik menghindari voting saat revisi awig-awig.
“Hormati dan taati prinsip desa mawacara, Bali mawacara dan negara mawatata,” tuturnya.
Dekan FH UNR Dr. IWP Sucana Aryana, SE., SH., MH., CMC., mengatakan acara baksos dan penyuluhan hukum ini diikuti 200 mahasiswa dan tenaga pendidik.
“Pada acara PKM (pengabdian kepada masyarakat) ini, kami juga menyumbangkan bibit pohon untuk upacara keagamaan dan punia untuk perbaikan Pura Pucak Geni serta alat-alat pendukung kebersihan," ujar Sucana didampingi Wakil Dekan Dr. Cokorda Gede Swetasoma, SH., MH., Kaprodi Ilmu Hukum Dr. I Made Artana, SH., MH.
Dekan menambahkan, FH UNR juga siap memberikan pendampingan kepada Desa Adat Sribupati, Desa Cau Belayu untuk revisi awig-awig mengikuti perkembangan zaman.Pendampingan itu mulai dari penyusunan hingga selesai.
“Jadi, ada pereram di banjar adat yang belum selaras dengan awig-awig desa adat. Jadi, ini yang perlu ada pendampingan untuk penyelarasan, untuk harmonisasi. Target kami, enam bulan revisi awig-awig selesai,” ungkapnya.
Baksos dirangkai penyuluhan hukum, merupakan program rutin fakultas yang ia pimpin. Lokasinya pun berbeda-beda tiap smester tergantung adanya permintaan dari perangkat desa atau hasil observasi sivitas akademika.
Apalagi setelah menyandang akreditasi unggul, mahasiswa Ilmu Hukum FH UNR diarahkan lebih sering turun di tengah masyarakat untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi masyarakat.
FH UNR mengundang calon mahasiswa untuk bergabung menjadi bagian FH UNR. Dekan menyebut pihaknya menyediakan beasiswa dan jalur RPL. "Dengan predikat akreditasi Unggul, tentu kami berani menjamin kualitas," pungkasnya.
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram