-->

Kamis, 28 Juli 2016

Biogas Simantri : Harapan Ketahanan Energi Petani Bali

Biogas Simantri : Harapan Ketahanan Energi Petani Bali

RI 2 yusup kala /pastika
Balikini.Net Pemerintah Provinsi Bali diharapkan melakukan evaluasi terhadap pengembangan biogas pada program sistem pertanian terintegrasi (Simantri) agar berjalan dengan optimal. Optimalisasi pengembangan biogas menjadi penting dalam upaya mewujudkan ketahanan energi dan ketersediaan energi bagi petani di Bali. Harapan tersebut disampaikan peneliti senior dari Fakultas Pertanian - Universitas Udayana, Dr. Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya, S.P, M. Agr dalam keteranganya di Denpasar sebelumnya .

Alit Susanta berpandangan cukup banyak petani anggota Simantri yang memiliki kemampuan untuk mengolah kotoran ternak menjadi biogas. Kenyataanya cukup sedikit yang mengolah menjadi biogas. Begitu juga pengolahan kotoran ternak menjadi biogas oleh petani anggota kelompok Simantri hanya dinikmati oleh beberapa anggota kelompok. “instalasi yang ada sekarang susah menjangkau rumah tangga, apalagi kalau kandang sapi jauh dari perumahan” ujar Alit Susanta.

Menurut Alit Susanta, harus diakui petani belum merasakan mendapatkan manfaat dari pengembangan biogas Simantri. Manfaat baru dirasakan oleh segelintir petani yang pemukimanya berdekatan dengan kandang sapi yang menjadi tempat pengolahan biogas. Petani yang tempat tinggalnya jauh dari kandang menjadi malas untuk terlibat dalam pengolahan kotoran ternak menjadi biogas.

Teknologi biogas merupakan salah satu teknologi tepat guna untuk mengolah limbah peternakan yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah lingkungan. Pemanfaatan limbah ternak menjadi biogas juga menjadi upaya mengurangi efek pemanasan global sebagai dampak dari emisi gas metan. Teknologi biogas kedepan juga diharapkan mampu menyediakan energi yang murah dan ramah lingkungan bagi keluarga petani secara swadaya.

Anggota Komisi III DPRD Kota Denpasar I Wayan Suadi Putra, ST mengungkapkan biogas Simantri seharusnya menjadi bagian dari program ketahanan energi di tingkat petani di Bali. Dengan memanfaatkan kotoran ternak menjadi biogas seharusnya kebutuhan petani akan energi alternatif dapat terpenuhi. Permasalahannya Pengembangan biogas masih dalam skala mikro dan itu juga belum dapat dinikmati oleh seluruh anggota kelompok simantri. “Kadang juga masih sebatas untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di lokasi pengelolaan biogas” tegas Anggota DPRD Kota Denpasar dari Fraksi PDI-P tersebut.

Suadi Putra menegaskan evaluasi pengembangan biogas Simantri harus dilakukan dengan cepat dan terencana. Mengingat jika kemudian diberikan sentuhan teknologi tentu prospek bisnisnya akan sangat bagus. “apabila kedepan prospek bisnisnya bagus bisa dikemas dalam tabung, ini menjadi peluang ditengah fluktuasi harga gas elpiji 3 kg” ujarnya.

Mengemas biogas kedalam tabung LPG menjadi peluang baru dalam pengembangan dan pemasaran biogas di Bali. Tantanganya biogas mengandung gas hydrogen sulfida (H2S) yang tinggi pula yang berpotensi mencemari lingkungan. Gas hydrogen sulfide dapat menyebabkan korosi pada bahan besi seperti kompor gas dan tabung gas.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika saat mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengunjungi Simantri 355 Gapoktan Giri Lestari, Desa Baturiti, Tabanan menyampaikan dalam upaya mengatasi dampak kandungan sulfur pada biogas telah dikembangkan Kantung Penampung Biogas dan Desulfurizer. Hilangnya kandungan sulfur pada biogas akan mengurangi korosi pada peralatan yang memanfaatkan biogas tersebut.

Perangkat kantung penampung biogas dan desulfizer hasil temuan Prof. Cokorda Tirta Nindia, Ketua riset Fakultas Teknik Mesin Udayana tersebut juga bisa disambungkan langsung dengan genset berkapasitas 1000Kwh karena sudah merupakan gas murni dan zero emisi. “setelah diolah dengan peralatan ini, kandungan sulfur pada biogas yang sudah dihasilkan Simantri akan hilang. Sehingga kendala selama ini yang dialami, yakni peralatan cepat rusak akibat korosi bisa ditangani, jadi kompor, lampu dan lainnya akan lebih awet” papar Pastika.

Menurut Pastika, dengan teknik booting, biogas non sulfur tersebut juga bisa ditampung kedalam tabung ukuran 12 kg. Dengan ditampung dalam tabung akan lebih efektif untuk dipindah-pindah. “Kalau sudah ditampung ke dalam tabung, akan efektif, karena nantinya tinggal dibawa kerumah masing-masing untuk dimanfaatkan untuk memasak, sehingga tidak perlu membeli gas lagi,” imbuh Pastika.

Pastika mengakui kantung Penampung Biogas dan Desulfurizer, kini dalam proses uji coba. Uji coba sebelumnya sudah dilakukan  di beberapa Simantri yang tersebar di Bali. Pada tahap selanjutnya akan dikembangkan guna melengkapi peralatan di masing-masing unit Simantri.

Ketua Simantri 125 Gapoktan Sawo Kabeh Desa Dawan Klod Kecamatan Dawan Klungkung Wayan Sumerta mengakui belum mengetahui terkait uji coba mengakui kantung Penampung Biogas dan Desulfurizer. Menurutnya permasalahan utama dalam pengelolaan kotoran ternak menjadi biogas adalah terbatasnya anggota Simantri yang bersedia turut serta. Kondisi ini terjadi karena hanya anggota yang rumahnya berdekatan dengan tempat pengolahan yang dapat menikmati dan memanfaatkan biogas. “pengolahan biogas hanya dilakukan seminggu dua kali, dan itu juga yang terlibat hanya anggota yang menikmati biogas” ujar Wayan Sumerta.

Sumerta menyampaikan permasalahan lain dalam pengolahan biogas yaitu keterbatasan daya tampung bak pengolahan biogas yang hanya mampu maksimal menampung 25 meter kubik. Sedangkan jumlah kotoran sapi cukup banyak, sehingga tidak keseluruhan kotoran sapi dapat diolah dan dimanfaatkan. Jika disimpan tidak ada tempat penyimpanan yang memenuhi standar. Sehingga kotoran sapi yang tidak terolah hanya dikeluarkan dari kandang dan dibiarkan ditumpuk di ruang terbuka. “kotoran yang lebih terpaksa hanya ditumpuk dan dibiarkan hingga kering, setelah kering baru diolah menjadi kompos” papar Sumerta.

Berdasarkan hasil penelitian I Nyoman Adijaya dan I M. R. Yasa dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali pada tahun 2012 diketahui bahwa Rata-rata limbah padat segar dan urin yang dihasilkan seekor induk sapi dengan berat 225 kg -250 kg adalah 14,87 kg dan 5,94 liter per hari. Sedangkan menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, hingga akhir 2015 jumlah kelompok Simantri di Bali mencapai 547 unit. Dimana tiap kelompok minimal memiliki 20 ekor ternak sapi. Jika memakai hitungan kasar maka 547 unit Simantri dikalikan dengan 20 ekor sapi dan 14,87 Kg kotoran sapi, maka dalam satu hari di Bali terdapat jumlah kotoran sapi yang berpotensi diolah menjadi biogas mencapai 162.677,8 Kg. Jumlah tersebut belum termasuk kotoran ternak sapi yang ada dikandang-kandang milik petani.

Dosen Fakultas Teknik UIKA Bogor,  M. Hariansyah dalam tulisanya yang berjudul “Pemanfaatan Kotoran Hewan (Ternak Sapi) Sebagai Penghasil Biogas” menyebutkan Setiap 1 ekor ternak sapi/kerbau dapat dihasilkan ±2 meter kubik biogas per hari. Potensi ekonomis biogas adalah sangat besar, hal tersebut mengingat bahwa 1 meter kubik biogas dapat digunakan setara dengan 0,62 liter minyak tanah. 1 meter kubik biogas  juga dapat disetarakan dengan 0,46 kg LPG atau 0,62 liter minyak tanah. Selain itu 1 meter kubik biogas juga dapat disetarakan dengan 0,52 liter minyak solar atau 0,80 liter bensin atau 3,5 kg kayu bakar.

Dalam buku berjudul “Petunjuk Praktis Manajemen Umum Limbah Ternak Untuk Kompos Dan Biogas” yang disusun oleh Kaharudin Farida dan Sukmawati M dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB disebutkan bahwa untuk ukuran rumah tangga dengan jumlah ternak 2 – 4 ekor atau suplai kotoran sebanyak kurang lebih 25 kg/hari cukup menggunakan tabung reaktor berkapasitas 2500 – 5000 liter yang dapat menghasilkan biogas setara dengan 2 liter minyak. Jika harga eceran minyak tanah Rp. 3.500/liter maka penggunaan biogas dapat mengurangi biaya rumah tangga sebesar Rp 2.500.000/tahun. Satu reaktor biogas kapasitas 2500 liter membutuhkan biaya Rp. 3.500.000 dengan umur penggunaan berkisar 10 tahun. Dengan demikian penggunaan biogas secara nyata menurunkan biaya rumah tangga tani untuk membeli minyak tanah.

Tiga dosen dari  Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Yasinta Fajar Saputri, Teguh Yuwono,  dan Syariffuddin Mahmudsyah dalam artikel yang berjudul “Pemanfaatan Kotoran Sapi untuk Bahan Bakar PLT Biogas 80 KW di Desa Babadan Kecamatan Ngajum Malang” menyebutkan bahwa energi yang terkandung dalam 1 meter kubik biogas sebesar 4,7 kWh atau dapat digunakan sebagai penerangan 60 – 100 watt selama 6 jam. Dengan asumsi kasar di Bali saat ini terdapat 547 unit simantri dengan 20 ekor sapi tiap Simantri dan setiap ekor sapi mampu menghasilkan 2 meter kubik biogas perhari maka dalam satu hari Bali memiliki potensi biogas sebesar 21.880 meter kubik biogas. Jumlah tersebut setara dengan 10.064,8 Kg LPG atau setara juga dengan 102.837 KWH energi listrik.(Muliarta)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved