packing jeruk (balikini.net) |
Balikini.Net- Kerajinan membuat packing jeruk di Desa Abangbatudinding, Kintamani banjir pesanan. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah populasi jeruk Kintamani dan sekitarnya, kini pengrajin kayu khususnya Sayang usaha yang banyak menyerap tenaga kerja ini belakangan mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku (berupa kayu albezia).Pengerajin khawatir akan kelangsungan usahanya.
Ketua Kelompok Pengerajin Kayu setempat, I Gede Eka Mertajati kepada Balikini Minggu (24/7) mengatakan, pengerajin kayu, khusunya yang menggunakan kayu albezia di desanya belakangan dihadapkan pada kesulitan mendapatkan bahan baku. Sebab kayu albezia semakin banyak digunakan untuk bahan bangunan seperti untuk usuk. Selain itu juga digunakan untuk kerajinan berupa handicraff seperti dijual di Ubud dan tempat lain, sehingga harga kayu albezia meningkat tajam. Selain itu naiknya harga albezia juga sedikit banyaknya dipengaruhi oleh penyakit gondok dan penyakit mengelupas, yang berujung pada menurunnya produksi albezia. “Penyakit gondok dan mengelupas juga berpengaruih sedikit”,ungkapnya.
Lebih lanjut disampaikan, pengerajin kayu setempat tak mampu untuk membeli bahan baku tersebut, karena harganya yang melambung, kini mencapai Rp.1.520.000/kubik, itupun harga di tempat. Kalau membeli di tempat lain maka harus kena biaya angkut lagi, hingga mencapai Rp.2 juta/kubik.”Bila kami harus membeli seharga itu, tentu kami tak bakal dapat untung”, ucapnya.
Ditambahkan lagi , kerajinan kayu seperti membuat box (packing) jeruk kini semakin banjir pesanan, seiring dengan tingkat produksi jeruk yang cendrung meningkat.”Kerajinan membuat box jeruk banjir pesanan karena sekarang musim panen jeruk"ujarnya.
Lanjut dikatakan, jumlah pesanan pada musim jeruk sekarang ini jauh lebih besar dari musim jeruk tahun lalu. Bahkan pesanan diprediksi bakal semakin besar, sebab sekarang ini belum puncak panen jeruk. “Sekarang belum puncak panen, pesanan box jeruk sudah banyak, apalagi saat puncak panen”, tambahnya. Dia mencontohkan pesanan yang ada pada usaha kayu miliknya, dalam sebulan mendapat pesanan 50 rit, dimana satu rit berisi 220 peti (box jeruk) dengan ukuran bervariasi. Untuk bisa memenuhi pesanan itu, dia terpaksa menggunakan kayu limbah albezia(sisa potongan untuk bahan bangunan). Itupun dia dapatkan dari usaha somil kayu di tempat lain,seperti di Dusun Pulasari, Desa Peninjoan, Tembuku. Harga kayu limbah juga tak main-main, mencapai Rp. 650.000/truk. Untuk mendapatkan kayu limbah dalam volume besar juga susah, karena kini menjadi rebutan para pengerajin kayu seperti pengerajin membuat box jeruk yang kini semakin banyak'ucapnya..
Hal tersebut juga disampaikan pengrajin kayu Jro Nyarikan Sika (45),,dikhawatirkan usaha ini terancam berat kedepannya, padahal pada satu sisi usaha ini dapat menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Pada usahanya yang mempekerjakan 10 orang, baik perempuan dan laki-laki. Dengan penghasilan Rp.50 ribu ke atas.”Kaum perempuan bekerjanya agak siang, tetapi mereka sedikitnya dapat ongkos Rp.40 ribu, kalau saja datang pagi lumayan penghasilan mereka”, ujarnya Dijelaskan pula, ongkos untuk pengerjaan satu set (berisi 3 kotak) Rp.2 ribu. Paling sedikit pekerja dapat selesaikan sehari 20 set. Bahkan kalau kaum laki bisa menghasilkan dua kali lipat dari itu.
Usaha membuat box katanya semakin diminati masyarakat, seiring dengan semakin tumbuh kembangnya usaha ini. Bahkan untuk di Dusun Klatkat, 80 persen masyarakaat bergelut di kerajinan membuat box jeruk, seperti diakui Kadus setempat, I Made Slamet saat ikut berkunjung ketempat kerajinan membuat kotak kayu. Slamet juga khawatir akan kelangsungan kerajinan ini, kalau harga albezia naik terus dan bila hanya mengandalkan kayu albezia berupa limbah tentu tak cukup untuk kebutuhan usaha ini, apalagi usaha kerajinan yang membutuhkan albezia adalah usaha purniture dan barang-barang antik sesuai orderan konsumen dari luar negeri. Data yang didapat dari desa ini ada 3 kelompok kerajinan box jeruk. Dari jumlah itu tenaga yang terlibat mencapai sekitar 900 orang"pungkasnya.(Anggi/r6)
Ketua Kelompok Pengerajin Kayu setempat, I Gede Eka Mertajati kepada Balikini Minggu (24/7) mengatakan, pengerajin kayu, khusunya yang menggunakan kayu albezia di desanya belakangan dihadapkan pada kesulitan mendapatkan bahan baku. Sebab kayu albezia semakin banyak digunakan untuk bahan bangunan seperti untuk usuk. Selain itu juga digunakan untuk kerajinan berupa handicraff seperti dijual di Ubud dan tempat lain, sehingga harga kayu albezia meningkat tajam. Selain itu naiknya harga albezia juga sedikit banyaknya dipengaruhi oleh penyakit gondok dan penyakit mengelupas, yang berujung pada menurunnya produksi albezia. “Penyakit gondok dan mengelupas juga berpengaruih sedikit”,ungkapnya.
Lebih lanjut disampaikan, pengerajin kayu setempat tak mampu untuk membeli bahan baku tersebut, karena harganya yang melambung, kini mencapai Rp.1.520.000/kubik, itupun harga di tempat. Kalau membeli di tempat lain maka harus kena biaya angkut lagi, hingga mencapai Rp.2 juta/kubik.”Bila kami harus membeli seharga itu, tentu kami tak bakal dapat untung”, ucapnya.
Ditambahkan lagi , kerajinan kayu seperti membuat box (packing) jeruk kini semakin banjir pesanan, seiring dengan tingkat produksi jeruk yang cendrung meningkat.”Kerajinan membuat box jeruk banjir pesanan karena sekarang musim panen jeruk"ujarnya.
Lanjut dikatakan, jumlah pesanan pada musim jeruk sekarang ini jauh lebih besar dari musim jeruk tahun lalu. Bahkan pesanan diprediksi bakal semakin besar, sebab sekarang ini belum puncak panen jeruk. “Sekarang belum puncak panen, pesanan box jeruk sudah banyak, apalagi saat puncak panen”, tambahnya. Dia mencontohkan pesanan yang ada pada usaha kayu miliknya, dalam sebulan mendapat pesanan 50 rit, dimana satu rit berisi 220 peti (box jeruk) dengan ukuran bervariasi. Untuk bisa memenuhi pesanan itu, dia terpaksa menggunakan kayu limbah albezia(sisa potongan untuk bahan bangunan). Itupun dia dapatkan dari usaha somil kayu di tempat lain,seperti di Dusun Pulasari, Desa Peninjoan, Tembuku. Harga kayu limbah juga tak main-main, mencapai Rp. 650.000/truk. Untuk mendapatkan kayu limbah dalam volume besar juga susah, karena kini menjadi rebutan para pengerajin kayu seperti pengerajin membuat box jeruk yang kini semakin banyak'ucapnya..
Hal tersebut juga disampaikan pengrajin kayu Jro Nyarikan Sika (45),,dikhawatirkan usaha ini terancam berat kedepannya, padahal pada satu sisi usaha ini dapat menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit. Pada usahanya yang mempekerjakan 10 orang, baik perempuan dan laki-laki. Dengan penghasilan Rp.50 ribu ke atas.”Kaum perempuan bekerjanya agak siang, tetapi mereka sedikitnya dapat ongkos Rp.40 ribu, kalau saja datang pagi lumayan penghasilan mereka”, ujarnya Dijelaskan pula, ongkos untuk pengerjaan satu set (berisi 3 kotak) Rp.2 ribu. Paling sedikit pekerja dapat selesaikan sehari 20 set. Bahkan kalau kaum laki bisa menghasilkan dua kali lipat dari itu.
Usaha membuat box katanya semakin diminati masyarakat, seiring dengan semakin tumbuh kembangnya usaha ini. Bahkan untuk di Dusun Klatkat, 80 persen masyarakaat bergelut di kerajinan membuat box jeruk, seperti diakui Kadus setempat, I Made Slamet saat ikut berkunjung ketempat kerajinan membuat kotak kayu. Slamet juga khawatir akan kelangsungan kerajinan ini, kalau harga albezia naik terus dan bila hanya mengandalkan kayu albezia berupa limbah tentu tak cukup untuk kebutuhan usaha ini, apalagi usaha kerajinan yang membutuhkan albezia adalah usaha purniture dan barang-barang antik sesuai orderan konsumen dari luar negeri. Data yang didapat dari desa ini ada 3 kelompok kerajinan box jeruk. Dari jumlah itu tenaga yang terlibat mencapai sekitar 900 orang"pungkasnya.(Anggi/r6)
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram