Jutaan warga negara Indonesia bekerja sebagai tenaga kerja atau TKI
di luar negeri, baik di sektor formal maupun informal. Banyak upaya
dilakukan untuk mengurangi gelombang kerja ke luar negeri ini. Berikut
laporan selengkapnya.
Yogjakarta ,Balikini.Net - Nurkholis pernah bekerja selama beberapa tahun di Korea Selatan. Seenak apapun kerja di luar negeri, kata dia, masih lebih enak bekerja dekat dengan keluarga. Karena itulah, pria asal Srumbung, Magelang, Jawa Tengah ini, berhenti bekerja di Korea Selatan dan pulang ke tanah air untuk membuka tempat cuci sepeda motor di rumahnya bersama sang istri yang melayani jasa cuci pakaian. “Hasilnya memang tidak seperti waktu kerja di Korea. Tetapi lumayanlah bisa untuk hidup. Mencukup kebutuhan sehari-hari dan anak-anak sekolah. Yang paling penting bisa lihat anak-istri setiap hari,” kata Nurkholis.
Nurkholis tidak sendiri. Di sekitar tempat tinggalnya saja, ada puluhan mantan TKI Korea. Mereka kini membentuk paguyuban dan sebulan sekali bertemu sambil arisan.
Para pekerja migran yang telah pulang dan memutuskan tidak kembali bekerja ke luar negeri, biasa disebut sebagai TKI purna. Mereka memanfaatkan masa kerja di luar negeri, sebagai upaya mencari modal untuk mandiri setelah pulang.
Ratih Pratiwi Anwar, peneliti dari Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta mengakui uang kiriman atau remittance berperan besar mengubah nasib para TKI dan keluarga mereka . Dalam penelitian di desa-desa asal TKI, Ratih menemukan fakta bahwa uang yang diperoleh para TKI berdampak langsung dalam pembangunan ekonomi.
“Dana itu dialokasikan untuk banyak hal, misalnya modal usaha, membeli ternak, membeli lahan sawah, juga memperbaiki rumah. Ada juga sebagian yang digunakan untuk membiaya pendidikan, dan ini investasi sumber daya manusia yang penting,” kata Ratih.
Ratih yang pernah melakukan penelitian di Korea Selatan menyatakan, banyak TKI sebenarnya memiliki kondisi kerja dengan resiko tinggi di sana. Mereka pulang membawa uang dan berharap tidak berangkat lagi ke luar negeri. Namun, banyak TKI tidak mampu mengelola tabungan selama bekerja dan gagal berwirausaha. Kondisi ini mendorong mereka untuk tetap kembali ke Korea Selatan meskipun menghadapi kondisi kerja yang tidak sepenuhnya aman.
0:00:00
/0:03:28
“Sebagian besar buruh migran yang sudah pulang itu belum punya
pengalaman berorganisasi. Jadi, membentuk sesuatu yang sama sekali baru
itu menjadi tantangan tersendiri bagi kawan-kawan buruh migran, untuk
mengorganisir diri mereka, kemudian mengisi kegiatan organisasi itu
dengan kegiatan yang bisa meningkatkan taraf ekonomi keluarga mereka,”
kata Ratih Pratiwi Anwar.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) mencatat, selama semester pertama 2017, jumlah uang yang
dikirim TKI ke Indonesia mencapai Rp 57,6 triliun. Paling besar kiriman
datang dari para TKI di kawasan Australia dan Selandia Baru, menyusul
kemudian dari Timur Tengah, Afrika, Amerika dan Eropa.
Di Kampung Tracap, Wonosobo, Jawa Tengah, dulu sekitar 80 persen
warga usia produktif merantau ke luar negeri untuk bekerja. Kondisi ini
membawa dampak sosial cukup memprihatinkan, di mana anak-anak para TKI
tumbuh tanpa bimbingan orang tuanya. Seorang mantan TKI dari desa itu,
Maizidah Salas, bertekad memutus mata rantai masalah sosial ini. Tahun
2011 dia mendirikan Kampung Migran, yang memberikan pendampingan usaha
bagi TKI dan keluarga mereka di rumah.
Tantangan terbesar dalam upaya ini menurut Maizidah adalah kualitas
sumber daya manusia karena rata-rata TKI tidak berpendidikan tinggi.
Uang hasil bekerja biasanya habis untuk membangun rumah, membeli
kendaraan atau keperluan konsumtif lain. Begitu habis dan tak ada
pekerjaan, mereka bingung dan merasa bahwa kembali menjadi TKI adalah
satu-satunya jalan keluar.
Menurut Maizidah, rata-rata TKI yang bekerja di Taiwan atau Hongkong
bisa membawa pulang uang Rp 150 juta hingga Rp 170 juta setelah dua
tahun bekerja. Pendampingan bisa dilakukan ketika TKI masih di luar
negeri, dimana keluarga di rumah yang mengelola uang tersebut. Namun
banyak pula yang menunggu sampai mereka pulang setelah kontrak kerja
selesai.
“Kita tidak pernah mengarahkan teman-teman mau menggunakan uangnya
untuk usaha apa. Semua didiskusikan terlebih dahulu, bersama keluarga
mereka juga. Yang paling penting adalah memahami potensi yang ada di
sekitar tempat tinggal masing-masing,” kata Salas.
Untuk memantau pendidikan anak-anak TKI, Maizidah mendirikan sekolah
gratis bagi mereka. Sebagai mantan TKI, dia memahami betul bagaimana
anak-anak itu kekurangan perhatian dan kasih sayang dari orang tua
mereka. Karena itulah, sekolah itu diselenggarakan dengan semangat untuk
semaksimal mungkin menggantikan peran orang tua sepenuhnya. Di samping
itu, organisasi yang digerakkan Maizidah Salas sudah mampu membuka usaha
di bidang pertanian, peternakan, makanan kecil, jasa, toko bahan pokok
dan koperasi.
“Indikator dari keberhasilan mereka, yang ada dalam pendampingan
saya, adalah bahwa mereka tidak kembali lagi ke luar negeri. Artinya
mereka sudah mandiri secara ekonomi. Orientasinya akan berbeda, ketika
kita mendampingi teman-teman yang sudah memiliki ide bisnis sebelum
mereka kerja jadi TKI, dengan yang belum punya ide. Karena mereka
terbiasa kerja dengan hasil bulanan dan teman-teman biasanya ketika
pulang dan mengelola usaha itu mengalami kegagalan dan berangkat lagi
kalau tidak didampingi manajemen keuangannya,” kata Maizidas Salas.
Maizidah mengaku, tidak mudah mengubah pola pikir dari bekerja demi
gaji menjadi wirausaha sendiri yang beresiko gagal. Meski tidak semua
berhasil, dia berani memastikan mayoritas TKI purna dalam
pendampingannya lancar dalam usaha. [sub/voa/ ns/ab]
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram