-->

Senin, 17 Mei 2021

Cegah Kepunahan Lontar Kuno Bali, Begini Pembahasan 3 Narasumber Dalam Kegiatan Dispustaka

Cegah Kepunahan Lontar Kuno Bali, Begini Pembahasan 3 Narasumber Dalam Kegiatan Dispustaka


Bali Kini ,Karangasem -
Bicara menyoal Lontar, I Wayan Astika, Kepala Dinas Perpustakaan Karangasem (Dispustaka) mengetengahkan materi “Teknik Klasifikasi Naskah Kuno Lontar Bali” dalam kegiatan Seleksi dan Pengadaan Koleksi Budaya Etnis Nusantara yang dikemas dalam bentuk “Sosialisasi Pelestarian Bahasa dan Aksara melalui Perlindungan Naskah Kuno”. Senin (17/5/2021) 


Dimana dijelaskan Astika soal klasifikasi menurut media, lontar dapat dibedakan atas beberapa bentuk. Diantaranya  yakni berbentuk buku/daluang, berbentuk cakepan lontar, kulit kayu, bambu, kulit binatang, lempengan tembaga, perak, emas, dan lain sebagainya.


Naskah kuno yang berupa buku dapat disimpan melalui almari atau rak buku yang ditata sedemikian rupa. Cara lain untuk mengklasifikasikan naskah kuno dapat juga dilakukan dengan mengurut naskah itu sendiri dan mengklasifikasikan sesuai dengan abjad huruf depan setiap judul naskah itu sendiri. Dimulai dari huruf A sampai dengan huruf Z. 


Sedangkan secara spesifik klasifikasi lontar, menurut Astika dibagi dalam delapan item, meliputi weda, agama, wariga, itihasa, babad, tantri dan lelampahan.


Sedangkan, Ida I Dewa Gede Catra yang juga sebagai narasumber dalam giat Sosialisasi Pelestarian Bahasa dan Aksara melalui Perlindungan Naskah Kuno itu membahas soal sejarah perkembangan naskah lontar di Bali. Dirinya yang merupakan tokoh pernaskahan lontar peraih Museum Record Indonesia, asal Karangasem itu menjelaskan jika seribu tahun lalu sudah ada prasasti yang berbahan logam/perunggu dan disakralkan di desa-desa adat. Saka 999 ada di Karangasaem, yakni, di Desa Ababi, Tumbu, Ujung Hyang, Perasi dan Desa Bugbug. “Bali pada zaman dahulu, sebelum pengaruh Kerajaan Kediri dan Majapahit, punya bahasa tersendiri yang disebut Bahasa Bali Kuno”, tandasnya. 


Terkait naskah lontar di Bali, Dewa Catra menegaskan, semua ditulis dengan aksara Bali sehingga sangat penting tahu dan fasih membaca dan menulis asara Bali, terutama tentang kediayatmikan, puja, japa dan mantra.


Sementara, Narasumber ketiga dalam giat tersebut yakni Sastrawan dan akademisi STKIP Agama Hindu Amlapura, I Wayan Jatiyasa mengajak untuk memahami upaya perlindungan terhadap naskah kuno lontar Bali. Dikatakan Jatiyasa, berbagai cara melindungi lontar, diantaranya ialah digitalisasi, konservasi, transmisi, transiliterasi, translasi, transpormasi, pengkajian dan pengorganisasian. 


"Era sekarang untuk melestarikan naskah banyak naskah lontar sudah digitalisasi dan dikonservasi. Digitalisasi adalah proses mengubah sesuatu yang berbentuk non digital menjadi digital. Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan, pengawetan dan pelestarian, "Terangnya. 


Tidak kalah penting, menurut Jatiyasa adalah legislasi atau perlindungan hukum. Pada era digital sekarang ini, lontar dapat diakses dari berbagai media, oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum agar tidak diakui oleh bangsa lain. Legislasi dapat dilakukan melalui Perda Pelindungan Naskah Lontar, HaKI, atau Warisan Budaya Dunia ke UNESCO. 


Demikian ketiga Narasumber dalam giat tersebut menjelaskan soal lontar. Kedepan diharapkan agar masyarakat tetap melestarikan Lontar agar tidak punah. (Ami)

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved