-->

Senin, 29 Agustus 2022

Wanita, Kata, Merdeka

 Wanita, Kata, Merdeka



IK Eriadi Ariana*

DIAH Tantri termangu dalam temaram malam yang dingin. Tubuhnya nyaris menggigil, menunggu kedatangan Sri Maharaja Aiswaryadala, pemimpin agung Kerajaan Patali. Malam itu Diah Tantri mendapat giliran untuk melayani hasrat seksual raja yang tidak pernah terpuaskan. Malam itu, pergulatan kata ditakdirkan mengubah dunia.

Sebelum tiba giliran Diah Tantri, ribuan gadis telah “dinikmati” Aiswaryadala. Sebuah perintah yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan telah ditetapkannya, bahwa setiap gadis di negeri itu saban malam secara bergantian harus melayani raja di peraduan. Pada masa itu, perintah raja adalah wahyu Tuhan yang mustahil untuk dilawan. Rakyat pun menyerah tanpa syarat. Tiada kemerdekaan dalam jiwa maupun raga.

Jika ingin hidup enak, Diah Tantri sebenarnya memiliki kuasa yang cukup untuk “lari dari kenyataan”. Ia adalah putri Patih Bandeswara yang merupakan panglima tertinggi Negeri Patali. Pangkat mentereng dengan segudang pengalaman di barak militer, intelejen, hingga reserse adalah modal yang lebih dari cukup bagi Bandeswara untuk sekadar “melindungi” putrinya. Bandeswara bisa dengan mudah menghilangkan bukti keberadaan anaknya, misalnya dengan menghilangkan rekaman setiap CCTV dari kaputren. Namun, ia tidak mau melakukan semua itu.

Tidak disangkal bahwa Bandeswara adalah panglima lurus dan tulus. Ia tidak pernah “aji mumpung” karena berkedudukan tinggi. Alih-alih melakukan nepotisme dan memperkaya diri, baginya jabatan dan pangkat adalah momen untuk membayar hutang pada tanah dan air yang menghidupi. Jabatan yang ia terima tidak lebih wujud dari kepercayaan rakyat, dan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Hyang Titah, kala waktunya tiba.

Sikap lurus Bandeswara menurun pekat ke pribadi Diah Tantri. Ia tidak ingin memanfaatkan semua kemudahan yang didapat dari kelahirannya sebagai seorang putri panglima besar. Lebih dari itu, Diah Tantri justru memiliki rasa welas asih dan solidaritas. Ia prihatin terhadap nasib yang menimpa ribuan perempuan Patali.

Menurut Diah Tantri, perempuan tidak diciptakan untuk beroposisi dengan laki-laki. Perempuan memiliki kemerdekaan penuh atas dirinya untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, ia selalu berpikir untuk mengupayakan gerakan perubahan. Setelah pertimbangan yang matang, menurutnya satu-satunya cara untuk melawan tirani yang tengah tumbuh subur di Kerajaan Patali dan merenggut kemerdekaan gadis-gadis negeri itu adalah dengan “menghantam” pusat kuasa. Langkah persuasif dipilih untuk meyakinkan Aiswaryadala bahwa tindakannya salah.

Syahdan, tibalah malam itu. Waktu bagi Diah Tantri untuk melayani sang raja tiba. Ketika sang raja datang, Diah Tantri mulai memainkan lakunya. Ia memuja Sang Hyang Semara, dengan segala kemolekan diri, mulai menarik hati sang raja. Ketika Aiswaryadala terjerat jala asmara, Diah Tantri dengan cepat menyanderanya. Pada sepersekian detik penting itu, Diah Tantri memohon anugerah pada Aiswaryadala agar diizinkan menuturkan kisah dunia antah-berantah dari negeri para binatang.

Diah Tantri bagai dianugerahi Sang Hyang Aji Saraswati. Rencananya berhasil, Aiswaryadala bagai bertekuk lutut. Pada mulanya, Aiswaryadala hanya memberi izin Diah Tantri untuk bercerita. Satu, dua, tiga fragmen cerita dituturkan, menyambung satu per satu seperti aliran sungai. Semakin dikisahkan, raja semakin penasaran mendengar kisah yang lain.

Malam berlalu dengan cepat. Kala cerita Diah Tantri usai, fajar telah menyingsing. Ajaibnya, kisah-kisah binatang itu justru meruwat hati Aiswardayala. Seperti matahari yang menyeka malam, kisah-kisah itu membuat penguasa Patali menyadari bahwa selama ini ia telah membuat kekeliruan besar. Pada akhirnya, Maharaja Aiswaryadala bersetia di hadapan Diah Tantri untuk menyudahi semua tirani yang diperbuat.
***
Kisah Diah Tantri sebagaimana diutarakan pada kisah di atas tersurat dalam teks Tantri Kāmandaka Jawa Kuno (lihat Suarka, 2007). Masyarakat Bali—utamanya bagi mereka yang nyastra—cukup baik mengenal kisah ini. Kepopuleran Tantri Kāmandaka terbukti dari banyaknya saduran lintas batas yang hidup dari masa ke masa. Saduran kisah itu banyak digurat dalam lembar-lembar lontar, ada pula yang ditatah dalam padas-padas sebagai relief penghias bangunan. Pada masa yang lebih belakang, cukilan kisahnya muncul pada buku-buka ajar di sekolah, juga sebagai animasi.

Jika dibaca-baca lagi, kisah itu mengalirkan sejumlah pesan moral yang abadi melintasi dimensi zaman. Kesetiaan, kepercayaan, persahabatan, kejujuran, hingga sikap kritis dan skeptis adalah nilai-nilai abadi yang dikandung. Nilai-nilai itu menunggu untuk diwujudkan dalam laku nyata oleh insan manusia agar bijak di tengah hamparan alam mahaluas.

Figur Diah Tantri dalam susastra itu secara terang benderang merepresentasikan sosok wanita yang berupaya membongkar hierarki gender. Perlawanan Diah Tantri pada kuasa Aiswaryadala telah membalikkan paradigma bahwa perempuan adalah sosok tidak berdaya. Banyak di antara kita sering kali terjebak pada labirin polarisasi hitam-putih, atas-bawah, atau kanan-kiri yang radikal. Perempuan dipertentangkan dengan laki-laki, wanita dipertentangkan dengan pria, hanya karena keduanya memiliki anatomi tubuh, sifat, dan tugas berbeda.

Ada banyak anggapan yang menempatan perempuan sebagai insan tidak berdaya. Persepektif semacam itu mencipta gerakan pemberdayaan yang sering kali muncul dan dipolitisasi hanya untuk kepentingan tertentu. Kita sering kali lupa, bahwa dengan menyematkan narasi “ketidakberdayaan perempuan”, maka pada detik yang sama telah membenarkan perempuan memang tidak berdaya. Bukankah narasi semacam ini justru telah meruntuhkan kemuliaan dan segala kelebihan perempuan?

Kisah Tantri Kāmandaka turut memberi garis tebal pada narasi kuasa kata-kata dalam percaturan sistem politik—dan kehidupan. Diah Tantri mengajak pembacanya mengingat bahwa aliran kata adalah senjata yang paling tajam, cermin paling jernih, sekaligus pelita paling benderang untuk membangun peradaban. Ujaran kebencian si anjing, Sambada, terbukti berhasil meruntuhkan persahabatan sang singa, Pinggala dan sang lembu, Nandaka; kebohongan si bangau, Baka membawanya pada kematian yang tragis; namun kepiawaian si kambing, Mesaba, berhasil membuatnya sebagai satwa berwibawa di belantara.

Laku para binatang dalam kisah itu mengingatkan pembaca untuk menjunjung tinggi kebenaran dan kemuliaan kata-kata, terlebih bagi mereka yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Pemimpin jangan menjauh, apalagi takut pada kata-kata—dan śastra. Maksudnya, jangan takut kritik, jangan pula ragu mengkoreksi ucap, sebab kata-kata akan selalu mencari jalan untuk diketahui setiap pemilik telinga. Kata-kata selalu hadir merdeka dan memerdekakan, tanpa hina dan cela.

*Penutur adalah jurnalis, pencinta sastra Jawa Kuno, dan Jero Penyarikan Duuran di Pura Ulun Danu Batur.

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved