-->

Rabu, 22 Agustus 2018

Cerita Priyana Ginada Peraih Widya Kusuma 2018,

 Cerita Priyana Ginada Peraih Widya Kusuma 2018,

Foto: I Made Priyana Ginada, S.Pd.,M.Pd., memperlihatkan piagam Widya Kusuma 2018 usai diserahkan langsung Gubernur Bali di Lapangan Niti Mandala, Denpasar.
Dari Panggung Café, Saksi Bom Bali hingga Prestasi sebagai Guru

DENPASAR, Balikini.Net - Guru berprestasi dari SMPN 2 Kuta Selatan, Badung (Spendu) I Made Priyana Ginada, S.Pd., M.Pd., berhasil menyabet penghargaan prestisius Widya Kusuma tahun 2018. 

Widya Kusuma adalah penghargaan yang diberikan untuk tokoh yang dianggap memliki andil besar di bidang seni, budaya serta pendidikan di Bali. Penyerahannya dilaksanakan setiap 14 Agustus dalam rangka memperinghati HUT Provinsi Bali dan diserahkan langsung oleh Gubernur Bali.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, melalui Biro Kesra sebagai penyelenggara kegiatan, memberikan kesempatan yang sama setiap tahun bagi seluruh insan dan pendidik di semua jenjang pendidikan se-Bali untuk menyabet penghargaan tertinggi itu. Namun proses seleksi yang sangat ketat, akan menyisakan kandidat terbaik saja.

Seleksi yang panjang nan ketat diakui oleh Priyana Ginada saat ditemui di Denpasar, Rabu (22/8). Dia membeberkan tahapan dimulai dari seleksi administrasi. "Awalnya sekali itu seleksi administrasi, dan pengumpulan data yang mencakup rekam jejak prestasi para kandidat," ujar dia.
Kandidat yang lolos, selanjutnya masuk tahapan seleksi presentasi. Dalam tahap ini, kata dia, para kandidat diwajibkan membuat karya tentang fenomenologi dan merumuskan pendidikan model apa yang terbaik diterapkan di Bali. Hal yang dipresentasikan berupa ide atapun teori yang sudah dieksekusi menjadi suatu hasil. Sehingga seorang pendidik dituntut menghasilkan sesuatu dari karya-karyanya.

Masih menurut Priyana, pascaseleksi presentasi, nama calon peraih Widya Kusuma akan mengerucut pada tiga nama setiap kabupaten/kota yang selanjutnya masuk pada tahapan yang sangat penting alias berbobot tinggi yakni kroscek langsung ke tempat tinggal para calon dan ke instansi tempatnya mengabdi.

Seluruh aparat tempat yang bersangkutan bedomisili akan dipanggil saat visitasi oleh tim seleksi, meliputi kepala lingkungan, kelian adat, lurah (kades), bendesa adat, dan dinas terkait. 
"Semua didatangkan dan ditanya mengenai keaktifan di lingkungan, kondisi keluarga, dan prestasi yang diraih para calon. Begitu pula di Dinas Pendidikan Kabupaten Badung, pimpinan saya di-kroscek, karena saya di bawah dinas itu," kata dia.

Dia menjamin tidak ada unsur 'main mata' pada tahap ini. Sebab, nara sumber yang dihadirkan harus menunjukkan bukti fisik, dan para calon tidak mengetahui langsung proses antara tim seleksi dengan nara sumber. Koscek ini, lanjut dia, untuk memastikan kebenaran dengan portofolio yang diajukan. Selain itu, untuk memastikan para peraih Widya Kusuma adalah orang yang seimbang antara prestasi dan kehidupan sosialnya. 

Guru berprestasi nasional yang sudah ‘kenyang’ dengan pengalaman di luar negeri ini mengajak seluruh insan pendidik di Bali untuk membangun kompetensi melalui kompetisi. Ia mengimbau jangan pernah meremehkan kompetisi. Sebab, disitulah cara guru mengukur kemampuannya. "Ikutilah kompetisi dengan baik, jika ingin mengukur diri. Dan dukung penuh setiap program pemerintah. Saya harap tidak ada lagi guru yang memandang prestasi dengan cara salah," kata dia.

Di balik prestasinya yang ‘go international’, ayah dua anak ini ternyata berlatar belakang musisi. “Saya awalnya drummer tapi karena kebutuhan grup band kami, saya digeser menjadi bassist hingga sekarang,” imbuh suami Sri Aryudihati ini. Tahun 1900-2000 awal, guru yang dikenal inovatif ini mengaku sudah terbiasa manggung hampir di beberapa café atau klub malam se-Bali.

Bahkan ia mengaku, mentalnya terbentuk dari panggung kecil di café tempatnya manggung. Hinaan, cacian, lemparan air seni, dan benda-benda ringan lain sering dialami ketika penampilan grup bandnya dianggap tidak memuaskan, situasi itu didukung oleh kondisi wisatawan yang dalam kondisi mabuk, khas kehidupan malam. Namun pujian dan apreasiasi juga acap kali diterimanya. “Baik buruknya penampilan kami itu banyak faktor yang memengaruhi, misalnya alat-alat yang kurang ‘support’. Tapi kebanyakan memang tamu lagi mabuk,” kenangnya.

Dari sisi finansial, Priyana dan kolega ketika itu tergolong mapan. Pundi-pundi rupiah dengan lancar mengalir hingga puluhan juta rupiah per-hari. Dunia musik juga membawanya menjadi salah satu saksi hidup kedahsyatan bom Bali I, Oktober 2002 silam. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan ratusan korban merintih kesakitan, juga berbagai jenis potongan tubuh berserakan. Priyana mengaku butuh waktu yang cukup panjang memulihkan mentalnya dari trauma itu. Kini aktivitas bermusiknya tetap dilakoni di sela kesibukan sebagai pengajar. Darah seninya nampak mengalir deras di tubuh putra sulungnya. 

Demi memulihkan pariwisata pascabom, ia rela main band tanpa menerima bayaran, dan berusaha meyakinkan kenalannya di luar negeri bahwa Bali sudah aman untuk dikunjungi. Itulah sepercik cerita dari perjalanan hidup seorang Priyana Ginada. Ia memandang seni adalah senang dan senang adalah seni. “Jika ada orang bawaannya senang melulu, itu pasti orang seni. Sebaliknya, jika orang seni pasti bawaannya senang melulu,” cetus Priyana tersenyum.[ wp/r4]

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved