-->

Senin, 16 Oktober 2017

Pelingih Sakral Persimpangan Gunung Agung di Pura Luhur Sekartaji

[Foto 1: Pelinggih Ageng di Pura Luhur Sekartaji]
Tabanan Balikini.Net - Pura Luhur Sekartaji, demikianlah nama khayangan atau pura yang berlokasi di desa pakraman yang namanya sama dengan pura tersebut. Yakni di Desa Pakraman Sekartaji, Desa Sesandan, Tabanan. Pura ini berdiri sekitar dua ratus meter keselatan dari pemukiman penduduk Desa Pakraman Sekartaji dan dikelilingi hutan bambu dan tegalan. Seperti apa sejarah keberadaan dan perjalanan kekinian Pura Luhur Sekartaji tersebut? Berikut laporannya.

Terkait dengan sejarah keberadaan pura tersebut, saat ini sedang disusun purana Pura Luhur Sekartaji oleh tim penyusun purana yang diketuai Drs. I Gusti Ngurah Tara Wiguna, M.Hum., yang merupakan seorang dosen pada Program Studi Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Menurutnya, Pura Luhur Sekartaji ini telah berdiri antara abad I hingga abad VIII masehi. Hal ini berdasarkan adanya bukti-bukti peninggalan prasasti megalitik berupa tahta batu yang ada dibagian depan setiap pelinggihnya.

Tara Wiguna menjelaskan, pada jaman pemerintahan Cokorda Sekar inilah dilakukan penataan Pura Luhur Sekartaji ini. Termasuk pula menambah pelinggih-pelinggih yang terwarisi hingga saat ini selain juga mewariskan laba pura seluas kurang lebih lima belas hektar. “Sementara untuk pengelolaan Pura Luhur Sekartaji ini diserahkan kepada Mekel Sekartaji bersama masyarakat Sekartaji,” jelasnya.

Terkait dengan fungsi pura ini, Tara Wiguna mengatakan bahwa Pura Luhur Sekartaji ini hampir sama dengan Pura Penaataran. Sehingga pura ini layak dikunjungi oleh seluruh lapisan umat, termasuk pula oleh para penekun spiritual. Terlebih lagi, keberadaan pelinggih yang berusia tua dan ornamen ukirannya yang unik dan kuno menjadikan nuansa pura ini selain menyejukkan secara bathin juga terkesan pingit.

Pantang Gula Merah dan Pisang Kepok
Sementara Mangku Gede Pura Luhur Sekartaji, Mangku Wayan Sukadana menyebutkan bahwa pura ini berdiri pada lahan seluas kurang lebih dua puluh are yang terbagi atas tiga palebahan atau tiga zona, berupa jeroan atau utamaning mandala, jaba tengah dan nistaning mandala.

Keberadaan pelinggih-pelinggih di pura ini telah berusia tua dan ornamennya ukirannya terbilang langka. Bahkan diyakini berusia ratusan tahun. Termasuk pula keunikan dan nuansa kuno patung-patung yang disucikan dipelinggih-pelinggih, terutama pada Pelinggih Ageng. Sementara, adapun keberadaan pelinggih-pelinggih di utamaning mandala di Pura Luhur Sekartaji ini sebagai berikut. Pada bagian utara menghadap selatan berdiri Pelinggih Pesimpangan Petali yang posisinya paling barat. Disebelah timurnya berturut-turut berdiri Pelinggih Pesimpangan Batukaru dan Pelinggih Pesimpangan Gunung Agung. Tepat didepan antara Pelinggih Pesimpangan Petali dan Pelinggih Pesimpangan Batukaru terdapat pelinggih bebaturan sebagai stana Ratu Wayan Ratu Nyoman.

Berikutnya, disebelah selatan Pelinggih Kramat Pesimpangan Gunung Agung di tempat ini pemedek sering mendapatkan pawisik terhadap situasi Bali termasuk sebelum Gunung Agung di tetapkan menjadi level IV awas pemedek sempat kerauhan mengingatkan akar terjadi gejolak alam beliau mengatakan kepada kita semua untuk waspada dalam mengadapi situasi saat ini terutama mereka yang tingal di sekitar Gunung Agung agar selalu mawas diri , selanjutnya  terdapat Pelinggih Manik Galih Rambut Sedana, Pelinggih Ageng berupa gegedongan, Pelinggih Puseh Angrurah dan Pesimpangan Pakendungan. Didepan Pelinngih Ageng terdapat bangunan Bale Pangiasan sekaligus tempat jro mangku saat nganteb upakara. Konon, pada jaman dulu ketika Raja Tabanan berkunjung ke pura ini, duduk di bale tersebut. “Satu pelinggih lagi ada di jaba selatan, tepat dibawah pohon beringin yang dinamakan Pelinggih Beten Bingin,” imbuhnya.

Menariknya lagi, Pura Luhur Sekartaji ini memiliki tiga buah beji. Yakni Beji Baleran yang posisinya sekitar lima puluh meter kearah barat daya dari pura. Berikutnya Beji Taman Telaga yang posisinya juga sekitar lima puluh meter kearah barat laut pura. Terakhir Beji Kangin posisinya sekitar seratus meter kearah timur pura dan berada ditepi Tukad (sungai) Yeh Empas.

Mangku Sukadana menambahkan, pura yang pujawalinya jatuh setiap rahina Anggara Kasih wuku Medangsia ini memiliki dua pantangan, khususnya pantangan untuk dipersembahkan pada Pelinggih Ageng. Pantangan tersebut adalah sama sekali tidak boleh menghaturkan kue, jajanan ataupun persembahan lainnya yang menggunakan gula merah. Pantangan lainnya, sama sekali tidak boleh mempersembahkan biu gedang saba atau pisang kepok.

Terkait dengan sedang disusunnya purana Pura Luhur Sekartaji, ketua prajuru pura ini, I Gede Susila, mengatakan, setelah nantinya purana tersusun akan dilanjutkan dengan penyusunan purana pada media lempengan tembaga untuk kemudian menjadi prasasti. Adapun prasasti ini akan dipelaspas dan dipasupati bertepatan pada pujawali yang akan datang yang jatuh pada 20 November 2017 nanti. “Saat itu juga kami juga akan melakukan pemelaspasan Pelinggih Pesimpangan Batukaru dan juga menggelar prosesi ngelungsur bagi semua krama Desa Pakraman Sekartaji,” ungkapnya.

Susila yang juga Kadis Pendidikan Tabanan ini menjelaskan, tata organisasi di pura ini masih melestarikan tradisi yang telah berjalan dari dulu. Yakni Puri Kaleran sebagai Penganceng dan Ki Jero Mekel Sekartaji selaku Pengemong. Selain itu juga ada Krama Pengempon yang kini berjumlah 120 kepala keluarga dan Jan Bangul atau Pemangku. Adapun pemangku-pemangku tersebut terdiri dari Mangku Gede,Pemangku Beji Kaler atau Beji Madhya dan Pemangku Beji Telag serta Penyarikan.

Untuk menuju khayangan ini, perjalanan dari pusat kota Tabanan menuju kearah barat atau dengan melintasi jalur Tabanan – Buruan. Sekitar dua ratus meter arah utara dari Taman Kupu-kupu Desa Wanasari, masuk ke timur hingga sampai di pertigaan Desa Pakraman Sekartaji. Dari pertigaan ini masuk keselatan sekitar dua ratus meter. Seratus meter sebelum memasuki pura, perjalanan disambut oleh sejuknya suasana hutan yang menjadikan perjalanan untuk memasuki Pura Luhur Sekartaji ini menyejukkan dan melahirkan rasa haru untuk menghaturkan sembah bhakti, nyuksemayang keagunganNya dalam menganugerahkan kehidupan. (BK/tbn/r5)




Sabtu, 07 Oktober 2017

Tumpek Atag ,,Otonan Tumbuh-tumbuhan di Bali

Karangasem,Balikini.Net –“Kaki-kaki galungan bin selae, nged… nged… nged…” sebuah kata sarat dengan makna yang diucapkan pada saat melakukan prosesi ngatag. Prosesi tersebut berlangsung setiap enam bulan sekali tepatnya 25 hari menjelang hari raya Galungan yang disebut dengan “tumpek uduh” atau disebut juga “tumpek atag” otonannya tumbuh-tumbuhan.

Meskipun Gunung Agung saat ini berstatus awas, Desa yang sehari-hari sepi bak Desa mati pagi ini nampak ramai, banyak warga berseliweran membawa sesajen untuk melakukan prosesi “ngatag” ke kebunnya masing-masing.

“Saya sengaja pulang hari ini untuk ngatag ke kebun,” kata Ni Kadek Widianti, salah satu warga Dusun Geriana Kangin saat melakukan ritual “ngatag”.

Dirinya mengakui cukup was-was, pasalnya sejak tadi pagi selain diguyur hujan deras juga dikagetkan dengan guncangan gempa yang lumayan terasa. Dirinya sengaja pulang dari tempat pengungsian hanya untuk melakukan prosesi enam bulanan tersebut.

Prosesi ngatag sendiri dilakukan di kebun-kebun warga menggunakan berbagai sarana seperti, tipat taluh yang didalamnya berisi campuran bubur, samsam segau dan jajan kelepon. Samsam segau sendiri terbuat dari daun temen, daun dapdap, kunyin dan beras. Nantinya tipat taluh dengan campurannya tersebut di selipkan pada tubuh pohon yang sudah di pasangi daun ambu sebelumnya. Setelah itu, batang pohon dipukul-pukul menggunakan perabotan berkebun seperti sabit dan dibacakan mantra seperti diatas. Setelah itu, kemudian dilanjutkan dengan prosesi melemparkan jajan kelepon kearah.
Menurut kepercayaan, ritual ini dilakukan ialah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada tuhan atas berkat dan limpahan hasil kebun yang diperoleh selama ini. Ritual ini juga bertujuan untuk mendoakan agar nanti menjelang hari raya Galungan hasil kebun melimpah sehingga bisa dipakai sebagai perlengkapan banten nanti.(tawan/r6)

Senin, 11 September 2017

Pengantin Pantang Lewat Di Bawah Bunut Bolong

Jembrana (Balikini.Net) - Bunut Bolong yang berlokasi di Desa Manggis Sari, Kecamatan Pekutatan, Jembrana adalah satu diantara obyek wisata di wilayah Bali Barat yang menawarkan keindahan alam yang sejuk dan asri dan indah.

Terlepas dari keindahannya, obyek wisata Bunut Bolong ini juga memiliki keunikan tersendiri. Dinamai Bunut Bolong, karena dilokasi tumbuh pohon bunut besar berumur ratusan tahun yang berlobang. Sehingga pengguna jalan yang melintasi kawasan tersebut layaknya melintasi trowongan sebab keberadaan pohon bunut itu tepat di tengah-tengah jalan.

Kawasan wisata ini juga ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun domestik. Namun dibalik keindahan, keindahan alam serta keunikannya, tersimpan cerita mistis yang hingga kini melegenda dan dipercayai oleh warga sekitar maupun warga dari daerah lain. Bahkan cerita mistis yang melegenda merupakan pantangan yang sangat ditaati masyarakat sekitar dan masyarakat Bali. Masyarakat percaya, jika pantangan itu dilanggar akan mendatangkan bencana.

Pantangan itu berlaku bagi "pengantin" atau rombongan/iring-iringan pengantin. Pasangan pengantin atau iring-iringan pengantin dilarang melintas di bawah pohon bunut tersebut. Lantarang ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

"Tidak ada yang berani menentang larangan itu karena masyarakat meyakini jika ditentang atau dilanggar akan mendatangkan petaka bagi pasangan pengantin itu,” ujar Wayan Sudipta, salah seorang warga setempat, Senin (11/9).

Lebih lanjut Sudipta yang juga sebagai pemandu wisata Bunut Bolong menuturkan, jika pantangan tersebut dilanggar oleh pasangan pengantin baru, maka pasangan pengantin itu tidak langgeng dan akan bercerai. "Pantangan itu juga berlaku buat pasangan yang berbulan madu. Jika pasangan berbulan madu lewat dibawah pohon bunut besar tersebut, maka diyakini akan bercerai. Sudah banyak yang melanggar pantangan ini akhirnya bercerai. Makanya pantangan atau larangan itu masih ditaati oleh masyarakat Bali,” imbuhnya.

Karena pantangan itu menurutnya, pemerintah dan pihak adat setempat kemudian membuatkan jalan kusus bagi pasangan pengantin atau iring-iringan pengantin melintas. Sehingga tidak lewat di bawah pohon Bunut Bolong tersebut.

Jalan kusus buat pasangan atau iring-iringan pengantin tersebut dibuat di sebelah barat pohon bunut besar tersebut, sehingga tidak melintas di bawah Bunut Bolong tersebut. Bahkan di jalan tersebut juga diisi rambu petunjuk bagi pasangan pengantin yang melintas di kawasan tersebut. (JMS)

Sabtu, 09 September 2017

Batik Bali Buka Ajang New York Fashion Week, The First Stage

Batik Bali bernuansa emas dan hitam mendominasi rancangan Catherine Njoo dalam NYFW 2017.
Enam desainer Indonesia turut membuka ajang New York Fashion Week 2017. Mereka adalah Barli Asmara, Catherine Njoo, Dian Pelangi, Riza Assegaf dan Farah Shahab dari Doris Dorothea, Melia Wijaya, and Vivi Zubedi. Untuk pertama kalinya mereka tampil bersama di panggung The First Stage, yang merupakan bagian dari agenda New York Fashion Week the Show, sebuah pagelaran fashion paling bergengsi di kota New York. Dengan tema pagelaran busana Indonesian Diversity, para desainer ini menampilkan keragaman seni fashion Indonesia. Lebih dari 500 tamu hadir memenuhi ruangan the Gallery of the Dream Downtown, yang berada di area trendi Manhattan, Chelsea Market. Desainer busana muslim Indonesia Dian Pelangi menampilkan gaya batik hijab yang sesuai dengan pasar New York.

Menurut Dian, koleksi kali ini justru terinspirasi dari kota New York, “Detail-detail payet dalam desain saya melambangkan gedung-gedung di kota New York” ujar desainer yang namanya sudah banyak dikenal di seluruh Indonesia. Dian menggabungkan antara ide “Human of New York” dengan materi-materi tradisional Indonesia, seperti kain batik dan songket.
Sementara Barli Asmara dan Catherine Njoo menampilkan gaya busana yang berbeda. Barli tampil dengan desain elegan dan anggun, dominasi warna putih tampak terlihat dalam koleksi Barli Asmara yang mendapat sambutan hangat dan tepuk tangan dari para hadirin. Barli Asmara sebelumnya juga pernah mengikuti fashion show Couture Fashion Week di New York tahun 2015.


Desainer Indonesia lainnya, Catherine Njoo mengeksplorasi nuansa batik tradisional Bali Indonesia yang dipenuhi dengan motif-motif emas dan hitam. Koleksinya juga dilengkapi beberapa hiasan kepala yang elegan, topeng emas dan perhiasan etnik dengan desain modern.
Pasangan Riza Assegaf dan Farah Shabab pemilik brand tas Doris Dorothea dari Indonesia juga turut menampilkan koleksi mereka. Tantangan terbesar sebagai desainer tas menurut Farah adalah “menyeimbangkan agar tas tersebut bisa dipakai oleh seluruh desainer.”

Meskipun baru pertama kali tampil di New York Fashion Week, desainer Indonesia Vivi Zubedi penuh percaya diri menampilkan rancangan koleksi jilbab dan abaya warna-warni dengan berpola batik sebagai pernyataan terhadap keputusan Presiden AS Trump yang dituduh membatasi imigran muslim. Vivi juga menuturkan kalau ia sudah memiliki sejumlah klien tetap di Amerika.
Kejutan ditampilkan oleh Melia Wijaya yang menampillkan desain kontemporer. Terinspirasi dengan cerita-cerita rakyat Indonesia, Melia Wijaya berhasil menggunakan irama perkusi dan suara panggilan-panggilan burung untuk menarasikan sebuah cerita rakyat Indonesia dengan menampilkan karya busana kontemporer yang dipenuhi detail material bulu-bulu di New York Fashion Week 2017, penonton pun berdecak kagum dan menikmati pagelaran busananya.
Desainer Melia Wijaya terilhami cerita rakyat tradisional Indonesia menampilkan rancangan dengan detail bulu-bulu burung.
Desainer Melia Wijaya terilhami cerita rakyat tradisional Indonesia menampilkan rancangan dengan detail bulu-bulu burung.
Salah seorang penonton, Pepi Sonugo, pengamat fashion di New York, mengatakan “Secara keseluruhan semua karya para desainer ini sangat cantik, dan mereka sangat beragam, saya suka dengan desain hijab namun tetap tampil menarik.”
Pagelaran fashion ini, didukung oleh Wardah dan Indonesia Fashion Gallery

Minggu, 20 Agustus 2017

Karangasem (Balikini.Net)  - Pohon Wani setinggi 75 meter berusia 200 tahun yang berada di belakang Terminal Menanga, Rendang, Karangasem, Konon merupakan gerbang pusat pemerintahan "Wong Samar" atau mahluk astral. Berbagai macam fenomena mistis seperti penampakan dan suara-suara aneh sering terdengar diareal pohon wani tersebut.

"Waduh saya baru datang kesini udah disambut dengan kejadian mengerikan," ujar Abdur Rohman 26 tahun asal Semarang.

Abdur sendiri menyewa sebuah kos-kosan yang berada disekitar pohon tersebut, sejak tinggal disana, dirinya mengaku sudah tiga kali mengalami kejadian diluar akal sehat manusia. Kejadian pertama sekitar pukul 24.30 wita. Saat itu malam pertama dirinya mulai tinggal dikosan tersebut, lampu tiba-tiba mati kemudian ada cahaya seperti sepasang bola mata berwarna merah. Setelah itu, yang kedua usai berjualan sekitar pukul 21.00 wita, dirinya ada yang melempari krikil sebanyak tiga kali dari arah pohon, sempat di cek tetapi tidak ada siapapun. Dan yang terakhir beberapa minggu lalu, dirinya kembali melihat sesosok putih besar berdiri di bawah pohon tersebut.

"saya tidak berani menatapnya, karena takut ya saya langsung panik dan berlari," ungkapnya.

Di areal pohon, menurut penuturan Wijaya Mataram pemilik rumah yang hanya berjarak satu meter dari pohon angker tersebut, ada pelinggih tempat berstananya Ida Ratu Nyoman Poleng dimana setiap menjelang hari raya galungan tepatnya pada hari Sugihan Jawa rutin dilaksanakan odalan.

Diakui Wijaya, bahwa keluarganya juga sering mengalami fenomena gaib, bahkan beberapa waktu ini anak pertamanya yaitu Ni Kadek Marsya Gayatri Arthania 12 tahun juga mengalami kejadian tak masuk diakan.

Saat itu, gadis 12 tahun yang akrab dipanggil Chacha hendak latian menari sekitar pukul 19.00 wita, saat akan berangkat dan mengambil motor, dirinya merasa ada seseorang yang memanggil namun dengan nada yang lemah.

"Seperti suara anak perempuan, Cha.. sini cha..!!! Cha.. sini Cha.....!! Saya ketakutan dan langsung lari, ketika menoleh ternyata ada dua bayangan berdiri di samping gerbang garasi," ungkapnya.

Hal serupa juga dialami oleh sepupunya yaitu Ketut Gunawan Sandika 14 tahun. Dirinya bahkan sering mengalami kesurupan saat tinggal di salah satu kamar kosan tersebut. Bahkan dirinya mengaku sering didatangi mahluk pucat berwujud anak perempuan yang sering melambaikan tangannya. Selain itu, Gunawan sendiri merupakan anak dengan kemampuan khusus yakni bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk tak kasap mata tersebut.

"Ada seperti anak perempuan melambaikan tangannya tapi tidak bersuara, mungkin saya mau diajak bermain," ujarnya.

Menurut cerita warga disana, dahulu ada yang mematok pohon Wani tersebut menggunakan paku, namun paku tersebut hilang sepeti tertelan kedalam pohon dan hingga kina pohon tersebut dianggap keramat oleh warga Menanga.(twn)

Pohon Berusia 200 Tahun di Jadikan Pusat Kerajaan "Wong Samar"

Karangasem (Balikini.Net)  - Pohon Wani setinggi 75 meter berusia 200 tahun yang berada di belakang Terminal Menanga, Rendang, Karangasem, Konon merupakan gerbang pusat pemerintahan "Wong Samar" atau mahluk astral. Berbagai macam fenomena mistis seperti penampakan dan suara-suara aneh sering terdengar diareal pohon wani tersebut.

"Waduh saya baru datang kesini udah disambut dengan kejadian mengerikan," ujar Abdur Rohman 26 tahun asal Semarang.

Abdur sendiri menyewa sebuah kos-kosan yang berada disekitar pohon tersebut, sejak tinggal disana, dirinya mengaku sudah tiga kali mengalami kejadian diluar akal sehat manusia. Kejadian pertama sekitar pukul 24.30 wita. Saat itu malam pertama dirinya mulai tinggal dikosan tersebut, lampu tiba-tiba mati kemudian ada cahaya seperti sepasang bola mata berwarna merah. Setelah itu, yang kedua usai berjualan sekitar pukul 21.00 wita, dirinya ada yang melempari krikil sebanyak tiga kali dari arah pohon, sempat di cek tetapi tidak ada siapapun. Dan yang terakhir beberapa minggu lalu, dirinya kembali melihat sesosok putih besar berdiri di bawah pohon tersebut.

"saya tidak berani menatapnya, karena takut ya saya langsung panik dan berlari," ungkapnya.

Di areal pohon, menurut penuturan Wijaya Mataram pemilik rumah yang hanya berjarak satu meter dari pohon angker tersebut, ada pelinggih tempat berstananya Ida Ratu Nyoman Poleng dimana setiap menjelang hari raya galungan tepatnya pada hari Sugihan Jawa rutin dilaksanakan odalan.

Diakui Wijaya, bahwa keluarganya juga sering mengalami fenomena gaib, bahkan beberapa waktu ini anak pertamanya yaitu Ni Kadek Marsya Gayatri Arthania 12 tahun juga mengalami kejadian tak masuk diakan.

Saat itu, gadis 12 tahun yang akrab dipanggil Chacha hendak latian menari sekitar pukul 19.00 wita, saat akan berangkat dan mengambil motor, dirinya merasa ada seseorang yang memanggil namun dengan nada yang lemah.

"Seperti suara anak perempuan, Cha.. sini cha..!!! Cha.. sini Cha.....!! Saya ketakutan dan langsung lari, ketika menoleh ternyata ada dua bayangan berdiri di samping gerbang garasi," ungkapnya.

Hal serupa juga dialami oleh sepupunya yaitu Ketut Gunawan Sandika 14 tahun. Dirinya bahkan sering mengalami kesurupan saat tinggal di salah satu kamar kosan tersebut. Bahkan dirinya mengaku sering didatangi mahluk pucat berwujud anak perempuan yang sering melambaikan tangannya. Selain itu, Gunawan sendiri merupakan anak dengan kemampuan khusus yakni bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk tak kasap mata tersebut.

"Ada seperti anak perempuan melambaikan tangannya tapi tidak bersuara, mungkin saya mau diajak bermain," ujarnya.

Menurut cerita warga disana, dahulu ada yang mematok pohon Wani tersebut menggunakan paku, namun paku tersebut hilang sepeti tertelan kedalam pohon dan hingga kina pohon tersebut dianggap keramat oleh warga Menanga.(twn)

Senin, 14 Agustus 2017

Tradisi Langka ngangon Pada Sasih Karo

Karangasem (Balikini.Net)  - Masyarakat Desa Pakraman Geriana Kangin, Selat, Karangasem melaksanakan tradisi unik yang disebut upacara "ngangon". Upacara yang dilaksanakan setahun sekali tersebut dipercaya mampu menghindarkan hewan ternak warga dari segala macam penyakit atau disebut juga penangkal "grubug".

"Prosesi "ngangon" sendiri hampir mirip dengan upacara mecaru, ini dilaksanakan setahun sekali setiap nemuning rahina Kajeng Kliwon uudan
atau Kajeng Kliwon Kresna Paksa Sasih Karo," ujar I Nyoman Sudartana selaku Penyarikan Desa Pakraman Geriana Kangin didampingi Kubayan Jero Mangku Ketut Diatmika, Minggu (13/8).

Upacara "Ngangon" tersebut dilaksanakan  sekali setiap tahunnya di
empat titik pojok Desa secara bergilir. Setiap upacaranya dilakukan bergilir mengikuti arah jarum jam.

Ngangon kali ini dilaksanakan di pojok tenggara Desa yang dipuput oleh Ide Pedanda Gede Ngenjung dari Geria Gede Duda, Selat, Karangasem, menggunakan upakara Banten Adandanan, Banten pebangkit, Caru manca pitu memakai sarana hewan sapi dan Bebek belang kalung.

Nantinya seluruh daging Sapi akan dibagikan kepada warga sementara
untuk upakara hanya diambil blulangnya saja seperti, kepala, kulit, kaki, ekor dan beberapa bagian tulang yakni bagian tulang iga, kaki dan tulang belakangnya.
Selain itu, juga dipersiapkan "ajang" berupa nasi yang dicacar menggunakan alas daun tutub yang berjumlah sesuai dengan jumlah kerama.

Nantinya seluruh nasi ajang dijejerkan diseluruh areal tempat upacara ngangon dilaksanakan. Diakhir upacara, seluruh kerama akan dipersilahkan untuk ngelungsur ajang tersebut untuk dibawa pulang dan diberikan kepada ternak yang dipeliharanya. Namun ada yang unik saat ngelungsur ajang tersebut
yakni krama harus berteriak menirukan suara hewan seperti kambing dan sapi.

"Secara tidak langsung kita mendoakan hewan pliharaan agar selamat terhindar dari penyakit dan gerubug," ujar Jero Mangku Diatmika.

Dirinya juga mengatakan, total penghabisan untuk upacara tersebut
lebih dari 10 juta, dimana seluruh perlengkapan upakara seperti kelapa, nasi acatu dan peturunan dana seluruhnya dari krama.

Selain kerama asli Geriana Kangin hal yang sama juga dibebankan kepada warga pendatang yang tinggal di Desa Pakraman Geriana Kangin.

"Upacara ini termasuk upacara pelemahan Desa Pakraman Geriana Kangin yang memang sudah dikonsep oleh leluhur sejak turun temurun," ungkapnya. (sud/r6)

Kamis, 20 Juli 2017

Setelah 66 tahun, Desa Pakraman Sukaluwih Laksanakan Karya Agung

Karangasem(Balikini.Net) – Masyarakat Desa Pakraman Sukaluwih nampak antusias mengikuti  tahapan demi tahapan prosesi Karya Agung Ngenteg Linggih, Munggah Lan Pedagingan yang hari ini, Kamis (20/7) dilaksanakan di dua Pura yakni Pura Pakel dan Pura Prajapati. 
 
Kedua Pura yang merupakan bagian dari tiga Pura yang tergabung dalam satu rangkaian upacara Karya Agung di Pura Dalem Desa Pakraman Sukaluwih yang puncaknya pada 2 Agustus mendatang.

Menurut Bendesa Adat Sukaluwih I Kadek Sudarmanta  mengatakan, Karya Agung Ngenteg Linggih, Munggah Lan Pedagingan ini baru bisa dilaksanakan setelah kurun waktu 66 tahun lamanya. “Terakhir kali Karye pada tahun 1951,” ujarnya.

Dalam Karya Agung ini di kurbankan hewan caru  menggunakan Sapi dan beberapa hewan langka lainnya seperti, Angsa, Penyu, Petu (sejenis kera) dan masih ada hewan caru lainnya. Dirinya juga mengatakan bahwa sumber dana dari pelaksanaan Karye Agung tersebut berasal dari “Peturunan” warga pengempon yang berjumlah 240 KK.

“Upacara Karya Agung ini sudah kami persiapkan sejak tiga bulan lalu, setelah prosesi hari ini, nanti pada tanggal 28 Juli mendatang akan dilaksanakan prosesi “Melasti”ke Segara Buitan, Manggis, Karangasem,”ujarnya .
 
Prosesi Karya yang berlangsung hari ini di Pura Pakel dan Pura Prajapati di puput oleh Ide Pedanda Gede dari Geria Suci Lusuh, Selat, Karangasem, dengan rangkaian prosesi yang sama yakni
Mendem Pedagingan dan “Ngerarung”.
 
Sebelum dilaksanakannya Karye Agung warga telah melaksanakan pembugaran terhadap hampir seluruh bangunan pelinggih di ke tiga Pura tersebut memakai pelinggih dari batu hitam Karangasem dengan menghabiskan total dana hingga lebih dari Rp.2,5 Miliar.(sum/r7)
 


Selasa, 11 Juli 2017

Eksistensi Pura Dan Sejarah Nusantara

Balikini.Net - Pura tua yang terdapat di Bali adalah peninggalan arkeologis penting yang dibangun pada periode yang sama dengan sebaran candi-candi di seluruh nusantara. Secara kuantitas, sebaran peniggalan pura tua di Pulau Bali adalah yang terbesar jumlahnya serta tersebar secara merata di seluruh wilayah Pulau Bali, dan melampaui jumlah seluruh situs di nusantara yang terdata. Karena itu data terpadat dan terlengkap dari sejarah nusantara terdapat di Pulau Bali. Adanya kegiatan-kegiatan yang merusak data-data arkeologis nusantara baik melalui renovasi maupun penambahan/pengurangan/perubahan detail-detail pada pura tua, menyebabkan data-data penting sejarah nusantara terancam hilang seiring waktu. Karena itu gerakan penyelamatan dan konservasi pura tua yang ada di Bali menjadi hal yang sangat penting dan harus segera dilaksanakan secara masiv oleh semua kalangan yang berkompeten.

Salah satu data terpenting yang telah berhasil diungkap melalui data-data perlambang pada pura tua di Bali adalah kejelasan mengenai tokoh Raja Udayana, seorang Maharaja dari Bali yang juga menurunkan raja-raja yang berkuasa di Jawa. Data mengenai Raja Udayana adalah salah satu kunci untuk memahami data sejarah yang terkait dengan nusantara. Data tersebut akan disajikan secara singkat pada makalah ini sebagai bahan kajian mengenai pentingnya nilai pura tua yang ada di Bali. Juga akan disajikan hasil kajian di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan Desa Bungkulan, Buleleng yang merupakan peninggalan arkeologis yang sangat penting terkait dengan data-data perlambang yang menyimpan kunci pengungkapan sejarah nusantara di Pura tersebut.

Data-data yang terdapat pada pura tua dan seluruh peninggalan arkeologis nusantara termasuk candi, petirtan, dan tempat suci lainnya dapat dipahami dengan metodologi baca perlambang (ikonografi) yang sangat akurat dan konsisten diterapkan di seluruh situs peninggalan nusantara, dan untuk memahami data perlambang tersebut hanya bisa dilakukan dengan mempelajari pura tua yang ada di Bali yang merupakan data utama dari sejarah seluruh nusantara.

Hasil analisis  Team Surya Majapahit mendapatkan data Raja Udayana memiliki nama lengkap

"Shri Dharmadayana Marakatapangkaja Stanatunggadewa". "Shri Darmadayana" memiliki arti bahwa Raja Udayana yg menjalankan pemerintahan dengan Dharma. "Marakatapangkaja" dapat diterjemahkan dengan meraket atep pangkaja yg artinya menyatu berkumpul diutara yg menjurus kepada salah satu desa tepat di utara Bali. Desa yang dimaksud yakni desa Bungkulan yg merupakan sebutan atau nama lain dari marakarapangkaja stanatungga dewa. Sedangkan "Stanatunggadewa" memiliki arti tempat berstananya para dewa atw asal usulnya para dewa.

Jika dikupas secara menyeluruh artinya: Raja Udayana yg menjalankan pemerintahan dgn Dharma yg berasal dari Bungkulan yg merupakan tempat tinggalnya para Dewa yg arah tata letaknya tegak lurus di Utara Bali.

Berikutnya untuk menelusuri kebenaran tersebut maka harus dibuktikan dan diuji dgn mencari dan menemukan bukti-bukti yang dimaksudkan. Hingga ditemukanlah sebuah pura kawitan yg menggunakan nama putra mahkota beliau yg sekaligus pelanjut tahta kekuasaan beliau yakni Pura kawitan "Dalem Ketut atau Anak Wungsu". Pura kawitan tersebut merupakan pura pusat kawitan dinasti Dalem Kepakisan yg letaknya persis diutara pulau Bali dan berdekatan dengan pedharman beliau dan leluhur para raja nusantara lainnya.

bukti2 lainnya yg menandakan kebenaran beliau sebagai pembentuk serta penerus kerajaan Majapahit pun lengkap diterakan didalamnya hingga sekaligus mengungkap tabir misteri Gajah Mada dan biografinya yg sesungguhnya yang tidak lain adalah Raja Udayana.

(Iwan /r6 /der )

Rabu, 14 Juni 2017

Mukjizat Pangelukatan Siwa Gangga Di Pura Tirtha Lan Segara Dangkhyangan Rambutsiwi

Jembrana (Balikini.Net) - Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi adalah merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Pura di kawasan Pura Rambutsiwi yang terletak di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.

Pemangku di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, Jro Mangku Suardana menjelaskan dimana manifetasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang distanakan atau dipuja di Pura ini adalah Dewa Siwa Gangga sebagai Dewa dari segala sumber Air Suci (Tirtha) dan Dewa Bharuna sebagai Dewa penguasa lautan.

Pura ini terbagi atas tiga halaman (tri mandala), yakni :

Pertama adalah halaman Utama disebut Utama Mandala, adalah berada dalam goa yang kira-kira lokasinya tepat di bawah Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi terdapat alur goa seperti sebuah perempatan (Catus Pata) yang masing-masing alurnya laksana tanpa batas karena hingga saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui ujung atau akhir dari masing-masing alur goa ini. Namun, secara alam Niskala (gaibnya) umat meyakini bahwa alur goa yang mengarah ke Timur Laut berujung ke Pura Besakih di Gunung Agung, itu sebabnya keberadaan Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi juga dipercayai sebagai penghayatan ke Pura Besakih, sedangkan alur goa yang mengarah ke Barat Laut diyakini berujung ke Pura Melanting di Pulaki sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi juga ada pengayatan Pura Melanting dan alur goa yang mengarah ke Tenggara diyakini berujung ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ada pengayatan Pura Dalem Ped, sementara alur goa yang mengarah ke Barat Daya sebagai ke pintu keluar goa yang mengarah ke Laut (Segara) diyakini umat sebagai pengayatan ke setiap pura yang ada di luar pulau Bali seperti Pura Blambangan, Pura Alas Purwa, Pura Semeru Agung dan seterusnya.

 
Kedua, halaman Tengah disebut Madya Mandala, dimana pada halaman ini terdapat beberapa Palinggih dan Archa, diantaranya sebuah palinggih Piasan adalah difungsikan sebagai stana Pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam berbagai manifestasi. Dua buah palinggih diantaranya 1 buah Padmasana sebagai stana pemujaan Ida Bhatara dalam manifestasi tertinggi ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan 1 buah Padmasari sebagai stana Dewa Siwa Gangga. Sebuah Gunung Rata difungsikan sebagai tempat Bebanten (sarana Sembahyanga). Selanjutnya keberadaan dua buah Archa diantaranya, Archa Ida Pedanda Wawu Rawuh dan Archa Ida Pedanda Istri Sri Patni Kaniten ialah Sakti dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, guna mengenangkan jasa-jasa suci beliau sebagai cikal bakal penyempurnaan Pura Dangkahyangan Rambutsiwi. Archa naga cobra berkepala tiga sebagai simbol bahwa kesatuan semesta ini sesungguhnya terbagi atas tiga tingkatan alam disebut Tri Loka, yakni alam Bhur Loka adalah alam para Bhuta Kala, alam Bwah Loka adalah alam Manusia, Hewan serta Tumbuhan (Bumi) dan alam Swah merupakan alam para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Wdhi Wasa. Archa naga cobra berkepala tiga ini juga merupakan simbul naga Basuki digunakan menjadi alas archa Dewa Siwa Ganga Murti yang merupakan simbol Dewa sebagai sumber segala Air Suci saat beryoga dan memberikan anugerah. Sepasang Lingga Yoni merupakan simbul Dewa Siwa dan Dewi Sakti sebagai lambang cikal bakal kehidupan bersumber dari Rwa Bhineda (Perdhana-Purusha atau Kiwa-Tengen) adalah merupakan kekuatan keseimbangan berlakunya hukum alam. Sebuah taman Maha Tirtha sebagai tempat keluarnya Air Suci (Tirtha) yang nerupakan anugrah dari Dewa Siwa Gangga Murti untuk dioergunakan dalam berbagai keperluan sepiritual dan kehidupan. Dua buah Archa Macan yakni macan Petak (Putih) dan macan Gading (Orange) merupakan simbul Ancangan (Pengawal jelmaan Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang). Balai Pengastawa adalah berfungsi sebagai tempat Pemangku dalam memimpin persembahyangan umat.

Ketiga adalah halaman Luar disebut Pratama Mandala, terdapat sebuah Palinggih berupa Padma sebagai pengayatan ke Daleming Segara (Laut) atau Dewa Bharuna dan Bale Pesandekan.

 
Seperti apa yang tersurat dalam kutipan sastra tua yakni Dwijendra Tattwa yang digunakan sebagai salah satu Purana dari Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, dijelaskan dimana kala itu warga sekitar setelah mengetahui informasi tentang keberadaan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang memiliki kemampuan sepiritual sangat tinggi berada di kawasan yang sekarang ini bernama Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, membuat seluruh warga datang menghadap sang Pendeta untuk memohon bimbingan sepiritual, ada pula yang memohon kesembuhan, anugerah kesejahteraan, dan sebagainya hingga ketika itu Sang Pendeta berkenan menunda keberangkatannya dalam melasanakan perjalanan suci (napak tilas) untuk menjelajahi alam Bali sekira abad ke-14 atas seiijin Dalem (Raja). Disini Sang Pendeta memberikan bimbingn kepada seluruh warga yang datang dan memohon untuk memperdalam tuntunan agama terutama ajaran bhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi (pencipta alam semesta), kepada Dewa-Dewi atau Bhatara-Bhatari sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Parama Kawi, juga bhakti kepada Leluhur, termasuk memberikan tuntunan ajaran kerohanian Hakekat Lingga Aksara, pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan dan sebagainya agar memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan hidup secara lahir maupun bhatin, juga tuntunan mengharmonisasi unsur-unsur gaib (tak kasap mata) agar kekuatannya tidak menjadi jahat tetapi justru dapat melindungi hidup manusia. Setelah seluruh warga tercerahkan, saat pagi hari ketika sang surya (matahari) mulai memancarkan cahayanya ke seluruh persadha, seusai melaksanakan sembahyang (Surya Sewana), sang Pendeta kemudian memercikkan Tirtha yang dibuat dari sumber air yang mengalir dari salah satu goa yang ada di kawasan tersebut dan tanpa pernah mengering walau dikala musim kemarau sekalipun (sekarang Pura Tirtha).

"Legenda inilah yang mendasari hingga sekarang di Pura ini diyakini sebagai tempat bertapa (payogaan) dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh serta keberadaan air bersumber dari dalam goa yang ada di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi dan terus mengalir tanpa pernah mengering walau di saat musim kemarau sekalipun, hingga kini juga dipercayai sebagai tempat memohon Air Suci (Tirtha) yang diperuntukkan dapat digunakan dalam berbagai keperluan kehidupan sepiritual. Hingga setiap saat terutama rahinan (hari suci) atau ketika pujawali (piodalan) yang jatuh enam bulan sekali tepatnya tiap hari Rabu Umanis wuku Perangbakat seluruh umat Hindu bahkan dari luar Bali pedek tangkil datang) untuk bersembahyang serta memohon anugrah juga mukjizat dari Tirtha Siwa Gangga ini misal digunakan sebagai Titrha untuk Pangelukatan, Tirtha Pasupati, Tirtha untuk memohon Penyembuhan, Keturunan, Peleburan Desti, Panyibeh, dan sebagainya", jelas Jro Mangku Suar.

Sementara salah seorang Pamedek, Ni Komang Sugiantari (35) asal Jembrana menerangkan dimana keluarganya dulu pernah sakit. "Saat itu mertua perempuan saya menderita sakit seperti kelumpuhan dan anak saya ada benjolan di bagian kaki. Saya sudah berupaya mengantar berobat baik secara medis maupun sepiritualis namun juga tidak kunjung sembuh dan astungkara sekarang sudah pulih kembali atas kekekuasaan Hyang Widhi setelah memohon dan melukat di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi", jelasnya.

Sedangkan pemedek lainnya bahkan umat dari Manca Negara banyak yang bersembahyang serta menghaturkan suksma (ucapan terima kasih) karena doa mereka terkabulkan setelah memohon anugerah berbagai hal atas kemulyaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Pura Dangkahyangan Rambutsiwi. (Arn)

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved