-->

Senin, 27 November 2017

Destinasi Wisata Spiritual Baru Penglukatan Pura Taman Campuhan Sala

Bangli,Balikini.Net--Sebagai destinasi  wisata spiritual baru,Minggu (26/11/2017)  dilaksanakan acara peletakan cupu atau payuk di Penglukatan Pura Taman  Campuan Sala ,Desa Pekraman Sala,Desa Abuan,Kecamatan Susut Bangli. Prosesi peletakan jatu ini dihadiri Ketua PHRI ( Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ) Bali Cok Oka Arta Ardana Sukawati ,di dampingi Wakil Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Arta, bersama DPRD Prov. I Nyoman Budi Utama , I Nyoman Adnyana, DPRD Kab.Bangli I Wayan Kriasa , Satria Yudha ,Prajuru Adat dan Masyarakat Desa Pakraman Sala.

Menurut Bendesa Pakraman Adat Sala I Ketut Kayana, diawali dengan prosesi peletakan jatu berupa batu yang didatangkan  langsung dari sungai Gangga India, Watu Klotok,  Besakih ,Pura Ponjok Batu  dan   kemudian dimasukan ke dalam 108 guci yang nantinya akan digunakan untuk mudra di gelung kori tempat Penglukatan Pura Taman Campuhan Sala Kecamatan Susut Bangli.

 Semetara itu Ketua PHRI Bali Cok Oka Arta Ardana Sukawati / Cok Ace sangat berterima kasih atas kepercayaan seluruh warga Sala kepada dirinya.  Didaulat sebagai krama anyar Banjar Sala dari 108 guci Cok Ace diberikan kesempatan untuk meletakan Jatu pada satu guci sedangkan sisanya diisi oleh krama pengarep untuk Mudra Gelung Kori Penglukatan Pura Taman Campuhan Sala, pihaknya berharap  semoga genah atau tempat penglukatan suci  ini  menjadi peneduh, penerang dan penenang jiwa kepada pemedek yang tangkil apalagi akses jalan sudah baik ,tatanan disekitar sudah bagus penuh dengan alam yang relegi, dan mudah-mudahan  penglukatan suci ini cepat dikenal oleh wisatawan domestik bahkan manca negara.’ungkapnya.

Wakil Bupati Bangli Sang Nyoman Sedana Arta  dalam kesempatan ini mengatakan merasa bangga kepada warga masyarakat Sala dimana  pelestarian alam seperti  pura sejatinya untuk tempat suci  mendekatkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi, dibalik itu  masyarakat Sala mampu mengkemas dan mengembangkan melalui destinasi wisata spiritual yang tetap menjaga kesucian pura dan alam sekitar, niscaya dengat niat yang kuat dan tulus ini akan menjadi berkah untuk kita semua.”ungkapnya.” lanjut Wabup berpesan kepada seluruh warga, kita sadar dijaman era globalisasi sekarang ini  banyak pengaruh budaya luar yang belum tentu baik untuk budaya kita, untuk itu kita harus mampu memfilterisasi pengaruh negatif , mari bersatu  agar budaya kita tetap ajeg dan lestari. mudah-mudahan apa yang di kembangkan oleh Banjar Sala menjadi inspirasi bagi desa-desa yang lain di Kabupaten Bangli ini.’imbuhnya.

Sedana Arta pun  berharap kepada Ketua PHRI Bali sebagai jembatan dari wisatawan lokal maupun internasional, untuk memperkenalkan Kabupaten Bangli yang telah memiliki destinasi wisata spiritual baru dengan menampilkan keasrian alam dan kesucian Pura yaitu Penglukatan Pura Taman Campuhan Sala” harapnya.

Jumat, 17 November 2017

Bangkitkan Inner Beauty dengan Ilmu Leak

Bali Kini - Ilmu leak tak selamanya berkonotasi negatif. Ilmu yang dikembangkan dari ajaran Tantra Baerawa ini ternyata bisa digunakan untuk membangkitkan kecantikan atau Inner Beauty, seperti apa lelakunya?
  
Selama ini leak cenderung berkonotasi negatif. Leak dianggap sebagai ilmu sihir atau black magic yang dapat mengubah pikiran orang sesuai pikiran si penyihirnya. Orang yang mempraktikkan ilmu leak akan dapat mengubah wujudnya menjadi seperti bhutakala atau binatang. Karena itu, penekun ilmu leak sering dikucilkan dari kehidupan sosial masyarakat di Bali, bahkan tidak jarang diteror atau dibunuh. Sebab, menekuni ilmu leak di Bali dianggap sebagai sebuah kejahatan, kendati tanpa bukti.
Konotasi negatif tersebut berasal dari cerita yang mendiskriditkan keberadaan ilmu leak, sebagai ilmu sesat. Dalam lontar Durga Purana Tatwa, seperti disebutkan Prof. Dr. Ngurah Nala, MPH, cerita  cerita tentang ilmu leak tersebut bermula dari kisah istri raja Dirah, Maya Kresna yang dikhianati suaminya. Sang suami sangat suka mencari wanita-wanita cantik untuk pelampiasan hawa nafsunya. Maya Kresna kemudian memuja Bhatari Durga dan Kalika Maya di kuburan. Ia memohon agar suaminya kembali ke pangkuannya dan mencintai dirinya sedangkan wanita-wanita simpanan suaminya agar diberi penyakit dan mati. Permohonan Maya Kresna dikabulkan dan dia dianugerahi ilmu leak Calonarang. Ia dapat mengubah wujudnya menjadi sosok Bhatara Durga. Namun sebagai gantinya, ia harus mempersembahkan kakak perempuannya yang sulung, anak kandungnya, suami dan seorang berkasta brahmana, kestria, waisia dan sudra sebagai tumbal. Tidak hanya itu, setelah menekuni ilmu leak, timbul keinginan dalam dirinya untuk memakan hati, ginjal, jantung, paru dan organ tubuh orang yang sudah mati. 

Karena cerita itulah akhirnya ilmu leak dikultuskan sebagai ilmu sesat atau black magic. Namun sebenarnya tidak demikian. Ilmu itu tergantung dari pribadi orang yang mengamalkannya. Kalau untuk tujuan baik, ilmu itu akan menjadi baik atau sebaliknya.
Prof. Nala menambahkan, leak ada yang baik dan jahat. Leak yang baik disebut leak sari, leak petak atau leak putih yang diturunkan Dewa Brahma, sedangkan ilmu leak yang jahat disebut leak pamoroan, leak badeng atau leak selem.

Mangku Teja Kandel dari Desa Bangbang, Bangli berpendapat, leak adalah sebuah ilmu kaweruhan sebagai anugerah Tuhan untuk meningkatkan spiritual guna mencapai moksa – terbebasnya atma dari ikatan duniawi. Namun pelaksanaannya tergantung manusia itu sendiri. Kalau dibawa ke kiri ia akan menyakiti, sebaiknya bila dibawa ke kanan, ia dapat digunakan untuk kemuliaan.
Hal itu terbukti dari beberapa ilmu leak yang ditulis dalam lontar yang dapat digunakan untuk kepentingan positif. Salah satunya adalah membangkitkan inner beauty.

Kecantikan Dari Dalam
Inner beauty adalah kecantikan yang muncul dari dalam sebagai pancaran aura. Aura adalah pancaran cahaya tubuh sebagai medan energi elektromagnetik yang mengelilingi sekujur tubuh manusia. Bentuk aura berlapis-lapis, tetapi berhubungan satu sama lainnya. Aura paling dalam disebut aura eterik, kemudian aura astral/emosional, aura mental dan yang paling luar disebut aura spiritual. Aura berhubungan erat dengan emosional pribadi manusia sehingga kepadatan, kejernihan, dan daya tarik aura masing-masing orang berbeda. Aura akan berkembang seiring perbaikan moralitas dan perubahan watak. Berkembangnya aura akan menjadi kekuatan inner beauty.
Pancaran aura diakibatkan gerakan cakra dalam tubuh. Ada tujuh cakra mayor yang terdapat dalam tubuh yaitu cakra muladara yang terletak di tulang ekor, cakra swadistana (seks) di atas kemaluan, cakra manipura di pusar, cakra anahata di jantung, cakra visudha di tenggorokan, cakra ajna di antara kedua alis, dan cakra mahkota di ujung kepala. Sedangkan di wajah terdapat 14 titik cakra minor, di antaranya terletak di dahi empat titik, di pipi kiri dan kanan empat titik, di bawah mata dua titik, di hidung dan bibir dua titik, di dagu dua titik. Untuk membangkitkan cakra ini dibutuhkan energi, tetapi tidak sembarang orang bisa melakukan.  Dibutuhkan orang yang mengerti dan profesional tentang cakra untuk mengaktifkan aura tersebut. Salah satunya adalah dengan transfer energi melalui ilmu leak.

Rajah dan Mantra
Ada beberapa ilmu leak yang bisa digunakan untuk membangkitkan inner beauty yang ditulis dalam lontar-lontar pangiwa dan kawisesan. Pentransferan ilmu tersebut, selain menggunakan lelaku, juga dalam bentuk rajah dan mantra. Rajah bisa berupa gambar atau huruf-huruf magis yang ditulis di kertas, lempengan emas, perak atau tembaga, atau ditulis langsung di bagian tubuh seseorang.
Menurut salah seorang penekun lontar ilmu leak, I Made Pasek, ilmu leak untuk membangkitkan inner beauty ditulis dalam lontar Campur Tala. Kata lelaki dari Jl. Pekandelan, Krobokan, Badung ini, ilmunya disebut Guna Semara Tantra.
Adapun lelakunya dengan  ritual khusus memakai sesaji. Ritual dilakukan pada hari tertentu yang disebut Lulut (menurut kalender Bali), oleh orang yang profesional di bidangnya. Sarana lainnya adalah tebu ireng, madu dan pakaian dalam wanita. 

Dengan tebu ireng sebagai alat tulis dan madu sebagai tintanya, bagian gigi dirajah dengan huruf  magis Ung dan Mang. Lidah juga dirajah huruf magis Ongkara Merta, sedangkan kedua tangan dirajah huruf  Ang dan Ah. Sementara itu, pakaian dalam dirajah gambar kepala laki-laki dijepit kaki wanita. Saat merajah juga dirafalkan mantra-mantra gaib oleh orang yang profesional ini. Rajah disertai mantra ini akan membangkitkan kekuatan diri seseorang  sehingga tampak cantik di mata lawan jenisnya. Ada sebuah pantangan bagi yang menekuni lelaku ini, pakaian dalam yang telah dirajah tidak boleh dicuci karena kekuatannya akan hilang saat dicuci. Pakaian ini dipakai manakala diperlukan untuk menarik satu orang lawan jenis secara lebuih khusus.
Rerajahan lain yang bisa digunakan untuk membangkitkan inner beauty adalah rajah Ratna Mangali. Tentang ilmu dan lelakunya, menurut Pasek, ditulis dalam lontar Aji Piolas. Yang menggunakan rerajahan ini, katanya, akan mampu menarik dan memikat setiap hati pria. Rerajahannya berwujud wanita cantik yang ditulis di kertas. Kemudian rerajahan itu dibakar lalu dimakan  disertai sesaji dan mantra-mantra gaib dari yang mentransfer dan memberi energi rerajahan itu. Setiap makan, minum dan mandi nama rerajahan itu “Ratna Manggali” harus disebut agar selalu menyertai. Dalam kurun waktu 11 hari setelah melaksanakan lelaku itu, inner beauty akan memancar dari dalam tubuh. Si pemakai rerajahan ini akan tampak bagai Dewi Ratna Manggali, anak Walunatengdirah.
Ajian lain sebagai pembangkit inner beauty adalah Pangasih Jagat yang ditulis dalam lontar Aji Kawisesan. Sesuai isi lontar tersebut, kata Pasek, memakai sarana air putih dan bunga lima warna (merah, kuning, hijau, putih, dan hitam). Air dan bunga itu diberi mantra-mantra dan dimohonkan kekuatan kepada Bhatara Guru.

Adapun mantranya berbunyi: “Om idep aku rumawak bhatara Iswara, rumawak ring sariranku, sang jaya semara tejan awak sariranku, wastu wong kabeh asing ring awak sariranku …”. Setelah mantra-mantra dirafalkan, air suci diperciki ke kepala sebanyak lima kali, diminum lima kali dan dipakai membasuh muka sebanyak lima kali. Suarna [sb/r5]




Sabtu, 11 November 2017

Puncak Pujawali Pura Sakenan

Denpasar , Balikini.Net - Bertepatan dengan Saniscara Kliwon Kuningan Sabtu (11/11) , sejak pagi Umat Hindu dengan berpakaian adat kepura sudah memadati Pura Sakenan Desa Pekraman Serangan, Kecamatan Denpasar Selatan. Umat Hindu sangat antusias menyambut dan merayakan hari Raya Kuningan, selain sembahyang di merajan rumah masing-masing, umat juga tangkil ke sejumlah pura, salah satunya Pura Sakenan. Tak terkecuali Walikota I.B Rai Dharmawijaya Mantra berserta Pimpinan dan staf OPD di Lingkungan Pemkot Denpasar tampak hadir serta melakukan persembahyangan di Pura Sakenan yang juga bertepatan dengan puncak Karya Pujawali di pura setempat.

Persembahyangan bersama yang dipuput dua sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Putra Telaga dan Ida Pedanda Sari Arimbawa serta pelaksanaan puncak pujawali ini terasa sangat khusuk  diiringi dengan tarian wali, topeng, kekidungan dan gambelan . Pujawali ini merupakan suatu wujud rasa syukur yang dilaksanakan Pemkot Denpasar dalam upaya melanjutkan pembangunan di Kota Denpasar. Walikota Rai Mantra mengatakan Dengan selalu memohon petunjuk kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa dari pelaksanaan upacara ini mampu memantapkan Sradha Bhakti kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari namun tak terlepas dari hal tersebut, diharapkan kepada pemedek yang tangkil agar tertib dan mematuhi aturan yang ada, selalu menjaga kebersihan lingkungan Pura serta membuang pada tempatnya sarana-sarana persembahyangan yang telah selesai dipakai sehingga tercipta kenyamanan bersama.

Panitia Karya Pujawali Pura Sakenan Ida Bagus Gede Pidada yang ditemui disela-sela kegiatan mengatakan Pujawali kali ini menggunakan pebangkit disertakan pula pakelem alit ke segara. Lebih lanjut dikatakan seperti pujawali sebelumnya, Pujawali kali ini didukung oleh pemkot Denpasar dengan segala fasilitas. Menurutnya Pura Sakenan diempon oleh Puri Kesiman dan didukung empat desa adat yakni Desa Adat Serangan selaku pemiliki wilayah, Desa Adat Pemogan, Desa Adat Kepaon dan Desa Adat Kelan.

Sedangkan Lurah Serangan Wayan Karma mengatakan, Upacara pujawali ini secara rutin dilaksanakan  bertepatan pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan dilaksanakan selama 5 hari dan penyineban pada hari Selasa mendatang. “Kami berharap pemedek tidak berbondong-bondong tangkil pada puncak pujawali ataupun Manis Kuningan karena Ida Bathara akan ngejer selama tiga hari dan pada hari Selasa (14/11) karya baru masineb sehingga masih ada kesempatan untuk tangkil dan terhindar dari suasana ramai serta berdesak-desakan, demi kenyamanan bersama,” harapnya.

Terkait dengan penataan parkir maupun kenyamanan pemedek pihaknya mengaku sudah melaksanakan langkah intensif yang sudah dikoordinasikan dengan pengempon, pengemong, serta bantuan dari Pemkot Denpasar, demi kenyamanan dan keamanan pemedek yang setiap tahunnya bertambah. “Melalui bantuan dari Pemerintah Kota Denpasar serta seluruh komponen masyarakat agar selalu menjaga lingkungan areal Pura serta penataan parkir yang rapi diharapkan dapat memberi rasa nyaman dan aman dalam melaksanakan persembahyangan”, katanya. (Eka/r5)

Senin, 30 Oktober 2017

Semeton Karangasem di Kukuh Terima Bantuan Babi

Tabanan ,Balikini-Net - Perbekel Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, I Made Sugianto serahkan satu ekor babi seberat 116 kilogram kepada semeton Karangasem yang tinggal sementara di desa tersebut. Satu ekor babi itu diserahkan dan dipotong langsung di kantor Desa Kukuh, Marga, Senin (30/10). Babi untuk semeton Karangasem yang terdampak status awas Gunung Agung itu merupakan sumbangan salah seorang warga Tabanan.
Perwakilan pengungsi, Ketut Purna sampaikan terima kasih atas sumbangan satu ekor babi yang diserahkan Perbekel Kukuh Marga. Menurut warga asal Kecamatan Kubu, Karangasem ini, selama mereka tinggal sementara di Desa Kukuh telah banyak mendapat perhatian dari warga setempat, relawan, dan aparat desa. Selain dapat bantuan sembako, seragam sekolah, juga pemeriksaan dan pengobatan dari Puskesmas Marga II yang rutin ke tempat tinggal pengungsi. Termasuk pendampingan dari aparat Desa Kukuh saat dua semeton Karangasem rawat inap dan rawat jalan di BRSUD Tabanan. “Kami berterima kasih atas perhatian dari Pemerintah Desa Kukuh Marga,” ungkap Purna.
Perbekel Desa Kukuh, I Made Sugianto menjelaskan, jumlah semeton Karangasem yang tinggal sementara di Kukuh karena status awas Gunung Agung sebanyak 113 jiwa. Mereka tinggal mandiri dan di rumah keluarga di 6 titik yakni Banjar Lodalang, Banjar Tengah, Banjar  Munggal, Banjar Tegal, Banjar Denuman, dan Banjar Tatag. Hanya saja saat Pengejukan Galungan, Senin (30/10) sebagian telah pulang ke kampung halaman untuk merayakan Galungan. “Hari ini masih ada 17 kepala keluarga yang tinggal di Desa Kukuh. Hanya yang menetap dapat bagian daging babi,” ungkap Sugianto.
Sugianto mengaku berupaya berikan perhatian kepada semeton Karangasem di Kukuh. Selama hampir sebulan mereka tinggal di Kukuh, ia mengajak para relawan salurkan bantuan untuk para pengungsi. Mulai dari alumni SMPN Penebel, alumni SMAN 2 Tabanan, warga setempat, travel agent, hingga anggota DPRD Tabanan salurkan bantuan untuk semeton Karangasem. “Karang Taruna di desa kami bahkan ngelawang barong bangkung dan ngamen di jalan untuk menggalang dana. Saya bangga tumbuh jiwa-jiwa peduli sesama di desa,” ungkap perbekel yang gemar menulis cerita berbahasa Bali ini. [sgt/r6]


Jumat, 27 Oktober 2017

Bupati Eka Ngeratep Ratu Gede di Pura Dalem Cacab Jangkahan, Biaung

Tabanan ,Balikini.Net  – Masyarakat Banjar Cacab Jangkahan, Biaung, Penebel, Tabanan melaksanakan Upacara Melaspas dan Ngeratep, pada rahina Sukra Kliwon Sungsang, Jumat (27/10) kemarin. Serangkaian telah selesainya perbaikkan Tapakan Barong, Ida Ratu Hyang Bethari, Ida Ratu Mas Sakthi dan Ida Ratu Bagus Sakti.
Upacara Dewa Yadnya tersebut dihadiri langsung oleh Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti, sebagai bentuk dukungan terhadap upacara yang digelar masyarakat Cacab Jangkahan di Pura Dalem setempat. Didampingi Cokorda Anglurah Tabanan dan Pinesepuh Siwa Murti Bali Jero Mangku Subagya.
Hadir juga Anggota DPRD Kabupaten Tabanan I Putu Eka Putra Nurcahyadi, I.GA. Supartiwi selaku Camat  Penebel serta Perbekel dan tokoh adat setempat.
Kehadiran Bupati perempuan pertama di Bali ini dan juga selaku Penasehat Perguruan Siwa Murti bisa dibilang sangat special, selain sebagai penyaksi, Bupati Eka juga diberi kehormatan Ngeratep tapakan Ida Ratu Hyang Bethari, Ida Ratu Mas Sakthi dan Ida Ratu Bagus Sakti, didampingi oleh Jero Mangku Subagya. Hal tersebut diberikan atas dukungan total Bupati berparas Cantik ini kepada Masyarakat Cacab Jangkahan.
Disela-sela acara Bupati yang akrab disapa Eka ini mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Cacab atas kesempatan yang telah diberikan. Hal ini dikatakannya merupakan suatu kebangkitan masyarakat Cacab menyambut kehidupan baru.
“Tiang Matur Suksema sareng semeton sami. Ini merupakan kebangkitan. Kebangkitan artinya, kehidupan baru antuk kayun sane becik, manah sane becik, lan laksana sane becik. Dumogi Ida mesueca, ngicenin pemargi ida dane Titiang sareng sami cumpu masikian”, ucap Eka.
Bupati Eka juga menegaskan bahwa selain berharap bisa selalu berbuat baik. Juga selama dirinya diberi kesehatan, apapun akan dia jalankan asal Ngayah terhadap masyarakat. Dikatakannya kesehatan yang diberikan Tuhan padanya adalah anugerah yang tidak bisa dibeli. Selama Beliau sehat, beliau takkan ada henti-hentinya membantu meringankan beban masyarakat.
“Yang penting Tiang sehat, seger, presida Tiang ngayah Tiang siap. Karena puniki paici Ida Betara yang luar biasa ring dewek Tiang. Dumogi Titiang Presida melaksana sane becik, ngayah ring sekala lan niskala”, pungkas Srikandi Cantik asal Tegeh, Angseri tersebut.
Dia-pun meminta masyarakat agar selalu menjaga kekompakan, menjaga persatuan. Karena kompak adalah hal sangat penting. Ditegaskan juga bahwa membuat itu mudah namun merawat dan menjaga itu yang sulit. Merusak itu cepat namun mejaga itu susah.
“Mangkin tunas Titiang idadane sareng sami mangde kompak dan bersatu. Kompak niki penting dan bersatu niki penting, karena mebuat nika mudah merawat nika sulit. Ngae wuug lima menit ngidang, ngae boya-boya lima menit ngidang namun merawat nika sulit. Artinya nanti dirawatlah dengan baik, merawat niki harus rawat dengan hati yang bersih serta rasa yang tulus ikhlas”, pinta Eka.
Dalam kesempatan tersebut, sebagai bentuk dukungan Bupati Eka juga melakukan persembahyangan sembah bakthi cihna bukti sujud kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, dan memberikan punia yang diterima oleh panitia. Serta setelah acara usai Beliau juga tida lupa bercengkerama dengan masyarakat sembari melakukan sesi photo bersama, sesuai permintaan Ibu-ibu setempat.

Senin, 16 Oktober 2017

Pelingih Sakral Persimpangan Gunung Agung di Pura Luhur Sekartaji

[Foto 1: Pelinggih Ageng di Pura Luhur Sekartaji]
Tabanan Balikini.Net - Pura Luhur Sekartaji, demikianlah nama khayangan atau pura yang berlokasi di desa pakraman yang namanya sama dengan pura tersebut. Yakni di Desa Pakraman Sekartaji, Desa Sesandan, Tabanan. Pura ini berdiri sekitar dua ratus meter keselatan dari pemukiman penduduk Desa Pakraman Sekartaji dan dikelilingi hutan bambu dan tegalan. Seperti apa sejarah keberadaan dan perjalanan kekinian Pura Luhur Sekartaji tersebut? Berikut laporannya.

Terkait dengan sejarah keberadaan pura tersebut, saat ini sedang disusun purana Pura Luhur Sekartaji oleh tim penyusun purana yang diketuai Drs. I Gusti Ngurah Tara Wiguna, M.Hum., yang merupakan seorang dosen pada Program Studi Arkeologi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Menurutnya, Pura Luhur Sekartaji ini telah berdiri antara abad I hingga abad VIII masehi. Hal ini berdasarkan adanya bukti-bukti peninggalan prasasti megalitik berupa tahta batu yang ada dibagian depan setiap pelinggihnya.

Tara Wiguna menjelaskan, pada jaman pemerintahan Cokorda Sekar inilah dilakukan penataan Pura Luhur Sekartaji ini. Termasuk pula menambah pelinggih-pelinggih yang terwarisi hingga saat ini selain juga mewariskan laba pura seluas kurang lebih lima belas hektar. “Sementara untuk pengelolaan Pura Luhur Sekartaji ini diserahkan kepada Mekel Sekartaji bersama masyarakat Sekartaji,” jelasnya.

Terkait dengan fungsi pura ini, Tara Wiguna mengatakan bahwa Pura Luhur Sekartaji ini hampir sama dengan Pura Penaataran. Sehingga pura ini layak dikunjungi oleh seluruh lapisan umat, termasuk pula oleh para penekun spiritual. Terlebih lagi, keberadaan pelinggih yang berusia tua dan ornamen ukirannya yang unik dan kuno menjadikan nuansa pura ini selain menyejukkan secara bathin juga terkesan pingit.

Pantang Gula Merah dan Pisang Kepok
Sementara Mangku Gede Pura Luhur Sekartaji, Mangku Wayan Sukadana menyebutkan bahwa pura ini berdiri pada lahan seluas kurang lebih dua puluh are yang terbagi atas tiga palebahan atau tiga zona, berupa jeroan atau utamaning mandala, jaba tengah dan nistaning mandala.

Keberadaan pelinggih-pelinggih di pura ini telah berusia tua dan ornamennya ukirannya terbilang langka. Bahkan diyakini berusia ratusan tahun. Termasuk pula keunikan dan nuansa kuno patung-patung yang disucikan dipelinggih-pelinggih, terutama pada Pelinggih Ageng. Sementara, adapun keberadaan pelinggih-pelinggih di utamaning mandala di Pura Luhur Sekartaji ini sebagai berikut. Pada bagian utara menghadap selatan berdiri Pelinggih Pesimpangan Petali yang posisinya paling barat. Disebelah timurnya berturut-turut berdiri Pelinggih Pesimpangan Batukaru dan Pelinggih Pesimpangan Gunung Agung. Tepat didepan antara Pelinggih Pesimpangan Petali dan Pelinggih Pesimpangan Batukaru terdapat pelinggih bebaturan sebagai stana Ratu Wayan Ratu Nyoman.

Berikutnya, disebelah selatan Pelinggih Kramat Pesimpangan Gunung Agung di tempat ini pemedek sering mendapatkan pawisik terhadap situasi Bali termasuk sebelum Gunung Agung di tetapkan menjadi level IV awas pemedek sempat kerauhan mengingatkan akar terjadi gejolak alam beliau mengatakan kepada kita semua untuk waspada dalam mengadapi situasi saat ini terutama mereka yang tingal di sekitar Gunung Agung agar selalu mawas diri , selanjutnya  terdapat Pelinggih Manik Galih Rambut Sedana, Pelinggih Ageng berupa gegedongan, Pelinggih Puseh Angrurah dan Pesimpangan Pakendungan. Didepan Pelinngih Ageng terdapat bangunan Bale Pangiasan sekaligus tempat jro mangku saat nganteb upakara. Konon, pada jaman dulu ketika Raja Tabanan berkunjung ke pura ini, duduk di bale tersebut. “Satu pelinggih lagi ada di jaba selatan, tepat dibawah pohon beringin yang dinamakan Pelinggih Beten Bingin,” imbuhnya.

Menariknya lagi, Pura Luhur Sekartaji ini memiliki tiga buah beji. Yakni Beji Baleran yang posisinya sekitar lima puluh meter kearah barat daya dari pura. Berikutnya Beji Taman Telaga yang posisinya juga sekitar lima puluh meter kearah barat laut pura. Terakhir Beji Kangin posisinya sekitar seratus meter kearah timur pura dan berada ditepi Tukad (sungai) Yeh Empas.

Mangku Sukadana menambahkan, pura yang pujawalinya jatuh setiap rahina Anggara Kasih wuku Medangsia ini memiliki dua pantangan, khususnya pantangan untuk dipersembahkan pada Pelinggih Ageng. Pantangan tersebut adalah sama sekali tidak boleh menghaturkan kue, jajanan ataupun persembahan lainnya yang menggunakan gula merah. Pantangan lainnya, sama sekali tidak boleh mempersembahkan biu gedang saba atau pisang kepok.

Terkait dengan sedang disusunnya purana Pura Luhur Sekartaji, ketua prajuru pura ini, I Gede Susila, mengatakan, setelah nantinya purana tersusun akan dilanjutkan dengan penyusunan purana pada media lempengan tembaga untuk kemudian menjadi prasasti. Adapun prasasti ini akan dipelaspas dan dipasupati bertepatan pada pujawali yang akan datang yang jatuh pada 20 November 2017 nanti. “Saat itu juga kami juga akan melakukan pemelaspasan Pelinggih Pesimpangan Batukaru dan juga menggelar prosesi ngelungsur bagi semua krama Desa Pakraman Sekartaji,” ungkapnya.

Susila yang juga Kadis Pendidikan Tabanan ini menjelaskan, tata organisasi di pura ini masih melestarikan tradisi yang telah berjalan dari dulu. Yakni Puri Kaleran sebagai Penganceng dan Ki Jero Mekel Sekartaji selaku Pengemong. Selain itu juga ada Krama Pengempon yang kini berjumlah 120 kepala keluarga dan Jan Bangul atau Pemangku. Adapun pemangku-pemangku tersebut terdiri dari Mangku Gede,Pemangku Beji Kaler atau Beji Madhya dan Pemangku Beji Telag serta Penyarikan.

Untuk menuju khayangan ini, perjalanan dari pusat kota Tabanan menuju kearah barat atau dengan melintasi jalur Tabanan – Buruan. Sekitar dua ratus meter arah utara dari Taman Kupu-kupu Desa Wanasari, masuk ke timur hingga sampai di pertigaan Desa Pakraman Sekartaji. Dari pertigaan ini masuk keselatan sekitar dua ratus meter. Seratus meter sebelum memasuki pura, perjalanan disambut oleh sejuknya suasana hutan yang menjadikan perjalanan untuk memasuki Pura Luhur Sekartaji ini menyejukkan dan melahirkan rasa haru untuk menghaturkan sembah bhakti, nyuksemayang keagunganNya dalam menganugerahkan kehidupan. (BK/tbn/r5)




Sabtu, 07 Oktober 2017

Tumpek Atag ,,Otonan Tumbuh-tumbuhan di Bali

Karangasem,Balikini.Net –“Kaki-kaki galungan bin selae, nged… nged… nged…” sebuah kata sarat dengan makna yang diucapkan pada saat melakukan prosesi ngatag. Prosesi tersebut berlangsung setiap enam bulan sekali tepatnya 25 hari menjelang hari raya Galungan yang disebut dengan “tumpek uduh” atau disebut juga “tumpek atag” otonannya tumbuh-tumbuhan.

Meskipun Gunung Agung saat ini berstatus awas, Desa yang sehari-hari sepi bak Desa mati pagi ini nampak ramai, banyak warga berseliweran membawa sesajen untuk melakukan prosesi “ngatag” ke kebunnya masing-masing.

“Saya sengaja pulang hari ini untuk ngatag ke kebun,” kata Ni Kadek Widianti, salah satu warga Dusun Geriana Kangin saat melakukan ritual “ngatag”.

Dirinya mengakui cukup was-was, pasalnya sejak tadi pagi selain diguyur hujan deras juga dikagetkan dengan guncangan gempa yang lumayan terasa. Dirinya sengaja pulang dari tempat pengungsian hanya untuk melakukan prosesi enam bulanan tersebut.

Prosesi ngatag sendiri dilakukan di kebun-kebun warga menggunakan berbagai sarana seperti, tipat taluh yang didalamnya berisi campuran bubur, samsam segau dan jajan kelepon. Samsam segau sendiri terbuat dari daun temen, daun dapdap, kunyin dan beras. Nantinya tipat taluh dengan campurannya tersebut di selipkan pada tubuh pohon yang sudah di pasangi daun ambu sebelumnya. Setelah itu, batang pohon dipukul-pukul menggunakan perabotan berkebun seperti sabit dan dibacakan mantra seperti diatas. Setelah itu, kemudian dilanjutkan dengan prosesi melemparkan jajan kelepon kearah.
Menurut kepercayaan, ritual ini dilakukan ialah sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada tuhan atas berkat dan limpahan hasil kebun yang diperoleh selama ini. Ritual ini juga bertujuan untuk mendoakan agar nanti menjelang hari raya Galungan hasil kebun melimpah sehingga bisa dipakai sebagai perlengkapan banten nanti.(tawan/r6)

Senin, 11 September 2017

Pengantin Pantang Lewat Di Bawah Bunut Bolong

Jembrana (Balikini.Net) - Bunut Bolong yang berlokasi di Desa Manggis Sari, Kecamatan Pekutatan, Jembrana adalah satu diantara obyek wisata di wilayah Bali Barat yang menawarkan keindahan alam yang sejuk dan asri dan indah.

Terlepas dari keindahannya, obyek wisata Bunut Bolong ini juga memiliki keunikan tersendiri. Dinamai Bunut Bolong, karena dilokasi tumbuh pohon bunut besar berumur ratusan tahun yang berlobang. Sehingga pengguna jalan yang melintasi kawasan tersebut layaknya melintasi trowongan sebab keberadaan pohon bunut itu tepat di tengah-tengah jalan.

Kawasan wisata ini juga ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun domestik. Namun dibalik keindahan, keindahan alam serta keunikannya, tersimpan cerita mistis yang hingga kini melegenda dan dipercayai oleh warga sekitar maupun warga dari daerah lain. Bahkan cerita mistis yang melegenda merupakan pantangan yang sangat ditaati masyarakat sekitar dan masyarakat Bali. Masyarakat percaya, jika pantangan itu dilanggar akan mendatangkan bencana.

Pantangan itu berlaku bagi "pengantin" atau rombongan/iring-iringan pengantin. Pasangan pengantin atau iring-iringan pengantin dilarang melintas di bawah pohon bunut tersebut. Lantarang ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

"Tidak ada yang berani menentang larangan itu karena masyarakat meyakini jika ditentang atau dilanggar akan mendatangkan petaka bagi pasangan pengantin itu,” ujar Wayan Sudipta, salah seorang warga setempat, Senin (11/9).

Lebih lanjut Sudipta yang juga sebagai pemandu wisata Bunut Bolong menuturkan, jika pantangan tersebut dilanggar oleh pasangan pengantin baru, maka pasangan pengantin itu tidak langgeng dan akan bercerai. "Pantangan itu juga berlaku buat pasangan yang berbulan madu. Jika pasangan berbulan madu lewat dibawah pohon bunut besar tersebut, maka diyakini akan bercerai. Sudah banyak yang melanggar pantangan ini akhirnya bercerai. Makanya pantangan atau larangan itu masih ditaati oleh masyarakat Bali,” imbuhnya.

Karena pantangan itu menurutnya, pemerintah dan pihak adat setempat kemudian membuatkan jalan kusus bagi pasangan pengantin atau iring-iringan pengantin melintas. Sehingga tidak lewat di bawah pohon Bunut Bolong tersebut.

Jalan kusus buat pasangan atau iring-iringan pengantin tersebut dibuat di sebelah barat pohon bunut besar tersebut, sehingga tidak melintas di bawah Bunut Bolong tersebut. Bahkan di jalan tersebut juga diisi rambu petunjuk bagi pasangan pengantin yang melintas di kawasan tersebut. (JMS)

Sabtu, 09 September 2017

Batik Bali Buka Ajang New York Fashion Week, The First Stage

Batik Bali bernuansa emas dan hitam mendominasi rancangan Catherine Njoo dalam NYFW 2017.
Enam desainer Indonesia turut membuka ajang New York Fashion Week 2017. Mereka adalah Barli Asmara, Catherine Njoo, Dian Pelangi, Riza Assegaf dan Farah Shahab dari Doris Dorothea, Melia Wijaya, and Vivi Zubedi. Untuk pertama kalinya mereka tampil bersama di panggung The First Stage, yang merupakan bagian dari agenda New York Fashion Week the Show, sebuah pagelaran fashion paling bergengsi di kota New York. Dengan tema pagelaran busana Indonesian Diversity, para desainer ini menampilkan keragaman seni fashion Indonesia. Lebih dari 500 tamu hadir memenuhi ruangan the Gallery of the Dream Downtown, yang berada di area trendi Manhattan, Chelsea Market. Desainer busana muslim Indonesia Dian Pelangi menampilkan gaya batik hijab yang sesuai dengan pasar New York.

Menurut Dian, koleksi kali ini justru terinspirasi dari kota New York, “Detail-detail payet dalam desain saya melambangkan gedung-gedung di kota New York” ujar desainer yang namanya sudah banyak dikenal di seluruh Indonesia. Dian menggabungkan antara ide “Human of New York” dengan materi-materi tradisional Indonesia, seperti kain batik dan songket.
Sementara Barli Asmara dan Catherine Njoo menampilkan gaya busana yang berbeda. Barli tampil dengan desain elegan dan anggun, dominasi warna putih tampak terlihat dalam koleksi Barli Asmara yang mendapat sambutan hangat dan tepuk tangan dari para hadirin. Barli Asmara sebelumnya juga pernah mengikuti fashion show Couture Fashion Week di New York tahun 2015.


Desainer Indonesia lainnya, Catherine Njoo mengeksplorasi nuansa batik tradisional Bali Indonesia yang dipenuhi dengan motif-motif emas dan hitam. Koleksinya juga dilengkapi beberapa hiasan kepala yang elegan, topeng emas dan perhiasan etnik dengan desain modern.
Pasangan Riza Assegaf dan Farah Shabab pemilik brand tas Doris Dorothea dari Indonesia juga turut menampilkan koleksi mereka. Tantangan terbesar sebagai desainer tas menurut Farah adalah “menyeimbangkan agar tas tersebut bisa dipakai oleh seluruh desainer.”

Meskipun baru pertama kali tampil di New York Fashion Week, desainer Indonesia Vivi Zubedi penuh percaya diri menampilkan rancangan koleksi jilbab dan abaya warna-warni dengan berpola batik sebagai pernyataan terhadap keputusan Presiden AS Trump yang dituduh membatasi imigran muslim. Vivi juga menuturkan kalau ia sudah memiliki sejumlah klien tetap di Amerika.
Kejutan ditampilkan oleh Melia Wijaya yang menampillkan desain kontemporer. Terinspirasi dengan cerita-cerita rakyat Indonesia, Melia Wijaya berhasil menggunakan irama perkusi dan suara panggilan-panggilan burung untuk menarasikan sebuah cerita rakyat Indonesia dengan menampilkan karya busana kontemporer yang dipenuhi detail material bulu-bulu di New York Fashion Week 2017, penonton pun berdecak kagum dan menikmati pagelaran busananya.
Desainer Melia Wijaya terilhami cerita rakyat tradisional Indonesia menampilkan rancangan dengan detail bulu-bulu burung.
Desainer Melia Wijaya terilhami cerita rakyat tradisional Indonesia menampilkan rancangan dengan detail bulu-bulu burung.
Salah seorang penonton, Pepi Sonugo, pengamat fashion di New York, mengatakan “Secara keseluruhan semua karya para desainer ini sangat cantik, dan mereka sangat beragam, saya suka dengan desain hijab namun tetap tampil menarik.”
Pagelaran fashion ini, didukung oleh Wardah dan Indonesia Fashion Gallery

Minggu, 20 Agustus 2017

Karangasem (Balikini.Net)  - Pohon Wani setinggi 75 meter berusia 200 tahun yang berada di belakang Terminal Menanga, Rendang, Karangasem, Konon merupakan gerbang pusat pemerintahan "Wong Samar" atau mahluk astral. Berbagai macam fenomena mistis seperti penampakan dan suara-suara aneh sering terdengar diareal pohon wani tersebut.

"Waduh saya baru datang kesini udah disambut dengan kejadian mengerikan," ujar Abdur Rohman 26 tahun asal Semarang.

Abdur sendiri menyewa sebuah kos-kosan yang berada disekitar pohon tersebut, sejak tinggal disana, dirinya mengaku sudah tiga kali mengalami kejadian diluar akal sehat manusia. Kejadian pertama sekitar pukul 24.30 wita. Saat itu malam pertama dirinya mulai tinggal dikosan tersebut, lampu tiba-tiba mati kemudian ada cahaya seperti sepasang bola mata berwarna merah. Setelah itu, yang kedua usai berjualan sekitar pukul 21.00 wita, dirinya ada yang melempari krikil sebanyak tiga kali dari arah pohon, sempat di cek tetapi tidak ada siapapun. Dan yang terakhir beberapa minggu lalu, dirinya kembali melihat sesosok putih besar berdiri di bawah pohon tersebut.

"saya tidak berani menatapnya, karena takut ya saya langsung panik dan berlari," ungkapnya.

Di areal pohon, menurut penuturan Wijaya Mataram pemilik rumah yang hanya berjarak satu meter dari pohon angker tersebut, ada pelinggih tempat berstananya Ida Ratu Nyoman Poleng dimana setiap menjelang hari raya galungan tepatnya pada hari Sugihan Jawa rutin dilaksanakan odalan.

Diakui Wijaya, bahwa keluarganya juga sering mengalami fenomena gaib, bahkan beberapa waktu ini anak pertamanya yaitu Ni Kadek Marsya Gayatri Arthania 12 tahun juga mengalami kejadian tak masuk diakan.

Saat itu, gadis 12 tahun yang akrab dipanggil Chacha hendak latian menari sekitar pukul 19.00 wita, saat akan berangkat dan mengambil motor, dirinya merasa ada seseorang yang memanggil namun dengan nada yang lemah.

"Seperti suara anak perempuan, Cha.. sini cha..!!! Cha.. sini Cha.....!! Saya ketakutan dan langsung lari, ketika menoleh ternyata ada dua bayangan berdiri di samping gerbang garasi," ungkapnya.

Hal serupa juga dialami oleh sepupunya yaitu Ketut Gunawan Sandika 14 tahun. Dirinya bahkan sering mengalami kesurupan saat tinggal di salah satu kamar kosan tersebut. Bahkan dirinya mengaku sering didatangi mahluk pucat berwujud anak perempuan yang sering melambaikan tangannya. Selain itu, Gunawan sendiri merupakan anak dengan kemampuan khusus yakni bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk tak kasap mata tersebut.

"Ada seperti anak perempuan melambaikan tangannya tapi tidak bersuara, mungkin saya mau diajak bermain," ujarnya.

Menurut cerita warga disana, dahulu ada yang mematok pohon Wani tersebut menggunakan paku, namun paku tersebut hilang sepeti tertelan kedalam pohon dan hingga kina pohon tersebut dianggap keramat oleh warga Menanga.(twn)

Pohon Berusia 200 Tahun di Jadikan Pusat Kerajaan "Wong Samar"

Karangasem (Balikini.Net)  - Pohon Wani setinggi 75 meter berusia 200 tahun yang berada di belakang Terminal Menanga, Rendang, Karangasem, Konon merupakan gerbang pusat pemerintahan "Wong Samar" atau mahluk astral. Berbagai macam fenomena mistis seperti penampakan dan suara-suara aneh sering terdengar diareal pohon wani tersebut.

"Waduh saya baru datang kesini udah disambut dengan kejadian mengerikan," ujar Abdur Rohman 26 tahun asal Semarang.

Abdur sendiri menyewa sebuah kos-kosan yang berada disekitar pohon tersebut, sejak tinggal disana, dirinya mengaku sudah tiga kali mengalami kejadian diluar akal sehat manusia. Kejadian pertama sekitar pukul 24.30 wita. Saat itu malam pertama dirinya mulai tinggal dikosan tersebut, lampu tiba-tiba mati kemudian ada cahaya seperti sepasang bola mata berwarna merah. Setelah itu, yang kedua usai berjualan sekitar pukul 21.00 wita, dirinya ada yang melempari krikil sebanyak tiga kali dari arah pohon, sempat di cek tetapi tidak ada siapapun. Dan yang terakhir beberapa minggu lalu, dirinya kembali melihat sesosok putih besar berdiri di bawah pohon tersebut.

"saya tidak berani menatapnya, karena takut ya saya langsung panik dan berlari," ungkapnya.

Di areal pohon, menurut penuturan Wijaya Mataram pemilik rumah yang hanya berjarak satu meter dari pohon angker tersebut, ada pelinggih tempat berstananya Ida Ratu Nyoman Poleng dimana setiap menjelang hari raya galungan tepatnya pada hari Sugihan Jawa rutin dilaksanakan odalan.

Diakui Wijaya, bahwa keluarganya juga sering mengalami fenomena gaib, bahkan beberapa waktu ini anak pertamanya yaitu Ni Kadek Marsya Gayatri Arthania 12 tahun juga mengalami kejadian tak masuk diakan.

Saat itu, gadis 12 tahun yang akrab dipanggil Chacha hendak latian menari sekitar pukul 19.00 wita, saat akan berangkat dan mengambil motor, dirinya merasa ada seseorang yang memanggil namun dengan nada yang lemah.

"Seperti suara anak perempuan, Cha.. sini cha..!!! Cha.. sini Cha.....!! Saya ketakutan dan langsung lari, ketika menoleh ternyata ada dua bayangan berdiri di samping gerbang garasi," ungkapnya.

Hal serupa juga dialami oleh sepupunya yaitu Ketut Gunawan Sandika 14 tahun. Dirinya bahkan sering mengalami kesurupan saat tinggal di salah satu kamar kosan tersebut. Bahkan dirinya mengaku sering didatangi mahluk pucat berwujud anak perempuan yang sering melambaikan tangannya. Selain itu, Gunawan sendiri merupakan anak dengan kemampuan khusus yakni bisa melihat dan berkomunikasi dengan mahluk tak kasap mata tersebut.

"Ada seperti anak perempuan melambaikan tangannya tapi tidak bersuara, mungkin saya mau diajak bermain," ujarnya.

Menurut cerita warga disana, dahulu ada yang mematok pohon Wani tersebut menggunakan paku, namun paku tersebut hilang sepeti tertelan kedalam pohon dan hingga kina pohon tersebut dianggap keramat oleh warga Menanga.(twn)

Senin, 14 Agustus 2017

Tradisi Langka ngangon Pada Sasih Karo

Karangasem (Balikini.Net)  - Masyarakat Desa Pakraman Geriana Kangin, Selat, Karangasem melaksanakan tradisi unik yang disebut upacara "ngangon". Upacara yang dilaksanakan setahun sekali tersebut dipercaya mampu menghindarkan hewan ternak warga dari segala macam penyakit atau disebut juga penangkal "grubug".

"Prosesi "ngangon" sendiri hampir mirip dengan upacara mecaru, ini dilaksanakan setahun sekali setiap nemuning rahina Kajeng Kliwon uudan
atau Kajeng Kliwon Kresna Paksa Sasih Karo," ujar I Nyoman Sudartana selaku Penyarikan Desa Pakraman Geriana Kangin didampingi Kubayan Jero Mangku Ketut Diatmika, Minggu (13/8).

Upacara "Ngangon" tersebut dilaksanakan  sekali setiap tahunnya di
empat titik pojok Desa secara bergilir. Setiap upacaranya dilakukan bergilir mengikuti arah jarum jam.

Ngangon kali ini dilaksanakan di pojok tenggara Desa yang dipuput oleh Ide Pedanda Gede Ngenjung dari Geria Gede Duda, Selat, Karangasem, menggunakan upakara Banten Adandanan, Banten pebangkit, Caru manca pitu memakai sarana hewan sapi dan Bebek belang kalung.

Nantinya seluruh daging Sapi akan dibagikan kepada warga sementara
untuk upakara hanya diambil blulangnya saja seperti, kepala, kulit, kaki, ekor dan beberapa bagian tulang yakni bagian tulang iga, kaki dan tulang belakangnya.
Selain itu, juga dipersiapkan "ajang" berupa nasi yang dicacar menggunakan alas daun tutub yang berjumlah sesuai dengan jumlah kerama.

Nantinya seluruh nasi ajang dijejerkan diseluruh areal tempat upacara ngangon dilaksanakan. Diakhir upacara, seluruh kerama akan dipersilahkan untuk ngelungsur ajang tersebut untuk dibawa pulang dan diberikan kepada ternak yang dipeliharanya. Namun ada yang unik saat ngelungsur ajang tersebut
yakni krama harus berteriak menirukan suara hewan seperti kambing dan sapi.

"Secara tidak langsung kita mendoakan hewan pliharaan agar selamat terhindar dari penyakit dan gerubug," ujar Jero Mangku Diatmika.

Dirinya juga mengatakan, total penghabisan untuk upacara tersebut
lebih dari 10 juta, dimana seluruh perlengkapan upakara seperti kelapa, nasi acatu dan peturunan dana seluruhnya dari krama.

Selain kerama asli Geriana Kangin hal yang sama juga dibebankan kepada warga pendatang yang tinggal di Desa Pakraman Geriana Kangin.

"Upacara ini termasuk upacara pelemahan Desa Pakraman Geriana Kangin yang memang sudah dikonsep oleh leluhur sejak turun temurun," ungkapnya. (sud/r6)

Kamis, 20 Juli 2017

Setelah 66 tahun, Desa Pakraman Sukaluwih Laksanakan Karya Agung

Karangasem(Balikini.Net) – Masyarakat Desa Pakraman Sukaluwih nampak antusias mengikuti  tahapan demi tahapan prosesi Karya Agung Ngenteg Linggih, Munggah Lan Pedagingan yang hari ini, Kamis (20/7) dilaksanakan di dua Pura yakni Pura Pakel dan Pura Prajapati. 
 
Kedua Pura yang merupakan bagian dari tiga Pura yang tergabung dalam satu rangkaian upacara Karya Agung di Pura Dalem Desa Pakraman Sukaluwih yang puncaknya pada 2 Agustus mendatang.

Menurut Bendesa Adat Sukaluwih I Kadek Sudarmanta  mengatakan, Karya Agung Ngenteg Linggih, Munggah Lan Pedagingan ini baru bisa dilaksanakan setelah kurun waktu 66 tahun lamanya. “Terakhir kali Karye pada tahun 1951,” ujarnya.

Dalam Karya Agung ini di kurbankan hewan caru  menggunakan Sapi dan beberapa hewan langka lainnya seperti, Angsa, Penyu, Petu (sejenis kera) dan masih ada hewan caru lainnya. Dirinya juga mengatakan bahwa sumber dana dari pelaksanaan Karye Agung tersebut berasal dari “Peturunan” warga pengempon yang berjumlah 240 KK.

“Upacara Karya Agung ini sudah kami persiapkan sejak tiga bulan lalu, setelah prosesi hari ini, nanti pada tanggal 28 Juli mendatang akan dilaksanakan prosesi “Melasti”ke Segara Buitan, Manggis, Karangasem,”ujarnya .
 
Prosesi Karya yang berlangsung hari ini di Pura Pakel dan Pura Prajapati di puput oleh Ide Pedanda Gede dari Geria Suci Lusuh, Selat, Karangasem, dengan rangkaian prosesi yang sama yakni
Mendem Pedagingan dan “Ngerarung”.
 
Sebelum dilaksanakannya Karye Agung warga telah melaksanakan pembugaran terhadap hampir seluruh bangunan pelinggih di ke tiga Pura tersebut memakai pelinggih dari batu hitam Karangasem dengan menghabiskan total dana hingga lebih dari Rp.2,5 Miliar.(sum/r7)
 


Selasa, 11 Juli 2017

Eksistensi Pura Dan Sejarah Nusantara

Balikini.Net - Pura tua yang terdapat di Bali adalah peninggalan arkeologis penting yang dibangun pada periode yang sama dengan sebaran candi-candi di seluruh nusantara. Secara kuantitas, sebaran peniggalan pura tua di Pulau Bali adalah yang terbesar jumlahnya serta tersebar secara merata di seluruh wilayah Pulau Bali, dan melampaui jumlah seluruh situs di nusantara yang terdata. Karena itu data terpadat dan terlengkap dari sejarah nusantara terdapat di Pulau Bali. Adanya kegiatan-kegiatan yang merusak data-data arkeologis nusantara baik melalui renovasi maupun penambahan/pengurangan/perubahan detail-detail pada pura tua, menyebabkan data-data penting sejarah nusantara terancam hilang seiring waktu. Karena itu gerakan penyelamatan dan konservasi pura tua yang ada di Bali menjadi hal yang sangat penting dan harus segera dilaksanakan secara masiv oleh semua kalangan yang berkompeten.

Salah satu data terpenting yang telah berhasil diungkap melalui data-data perlambang pada pura tua di Bali adalah kejelasan mengenai tokoh Raja Udayana, seorang Maharaja dari Bali yang juga menurunkan raja-raja yang berkuasa di Jawa. Data mengenai Raja Udayana adalah salah satu kunci untuk memahami data sejarah yang terkait dengan nusantara. Data tersebut akan disajikan secara singkat pada makalah ini sebagai bahan kajian mengenai pentingnya nilai pura tua yang ada di Bali. Juga akan disajikan hasil kajian di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan Desa Bungkulan, Buleleng yang merupakan peninggalan arkeologis yang sangat penting terkait dengan data-data perlambang yang menyimpan kunci pengungkapan sejarah nusantara di Pura tersebut.

Data-data yang terdapat pada pura tua dan seluruh peninggalan arkeologis nusantara termasuk candi, petirtan, dan tempat suci lainnya dapat dipahami dengan metodologi baca perlambang (ikonografi) yang sangat akurat dan konsisten diterapkan di seluruh situs peninggalan nusantara, dan untuk memahami data perlambang tersebut hanya bisa dilakukan dengan mempelajari pura tua yang ada di Bali yang merupakan data utama dari sejarah seluruh nusantara.

Hasil analisis  Team Surya Majapahit mendapatkan data Raja Udayana memiliki nama lengkap

"Shri Dharmadayana Marakatapangkaja Stanatunggadewa". "Shri Darmadayana" memiliki arti bahwa Raja Udayana yg menjalankan pemerintahan dengan Dharma. "Marakatapangkaja" dapat diterjemahkan dengan meraket atep pangkaja yg artinya menyatu berkumpul diutara yg menjurus kepada salah satu desa tepat di utara Bali. Desa yang dimaksud yakni desa Bungkulan yg merupakan sebutan atau nama lain dari marakarapangkaja stanatungga dewa. Sedangkan "Stanatunggadewa" memiliki arti tempat berstananya para dewa atw asal usulnya para dewa.

Jika dikupas secara menyeluruh artinya: Raja Udayana yg menjalankan pemerintahan dgn Dharma yg berasal dari Bungkulan yg merupakan tempat tinggalnya para Dewa yg arah tata letaknya tegak lurus di Utara Bali.

Berikutnya untuk menelusuri kebenaran tersebut maka harus dibuktikan dan diuji dgn mencari dan menemukan bukti-bukti yang dimaksudkan. Hingga ditemukanlah sebuah pura kawitan yg menggunakan nama putra mahkota beliau yg sekaligus pelanjut tahta kekuasaan beliau yakni Pura kawitan "Dalem Ketut atau Anak Wungsu". Pura kawitan tersebut merupakan pura pusat kawitan dinasti Dalem Kepakisan yg letaknya persis diutara pulau Bali dan berdekatan dengan pedharman beliau dan leluhur para raja nusantara lainnya.

bukti2 lainnya yg menandakan kebenaran beliau sebagai pembentuk serta penerus kerajaan Majapahit pun lengkap diterakan didalamnya hingga sekaligus mengungkap tabir misteri Gajah Mada dan biografinya yg sesungguhnya yang tidak lain adalah Raja Udayana.

(Iwan /r6 /der )

Rabu, 14 Juni 2017

Mukjizat Pangelukatan Siwa Gangga Di Pura Tirtha Lan Segara Dangkhyangan Rambutsiwi

Jembrana (Balikini.Net) - Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi adalah merupakan salah satu dari 9 (sembilan) Pura di kawasan Pura Rambutsiwi yang terletak di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.

Pemangku di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi, Jro Mangku Suardana menjelaskan dimana manifetasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang distanakan atau dipuja di Pura ini adalah Dewa Siwa Gangga sebagai Dewa dari segala sumber Air Suci (Tirtha) dan Dewa Bharuna sebagai Dewa penguasa lautan.

Pura ini terbagi atas tiga halaman (tri mandala), yakni :

Pertama adalah halaman Utama disebut Utama Mandala, adalah berada dalam goa yang kira-kira lokasinya tepat di bawah Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi terdapat alur goa seperti sebuah perempatan (Catus Pata) yang masing-masing alurnya laksana tanpa batas karena hingga saat ini tidak ada seorangpun yang mengetahui ujung atau akhir dari masing-masing alur goa ini. Namun, secara alam Niskala (gaibnya) umat meyakini bahwa alur goa yang mengarah ke Timur Laut berujung ke Pura Besakih di Gunung Agung, itu sebabnya keberadaan Pura Luhur Dangkahyangan Rambutsiwi juga dipercayai sebagai penghayatan ke Pura Besakih, sedangkan alur goa yang mengarah ke Barat Laut diyakini berujung ke Pura Melanting di Pulaki sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi juga ada pengayatan Pura Melanting dan alur goa yang mengarah ke Tenggara diyakini berujung ke Pura Dalem Ped di Nusa Penida sehingga di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi ada pengayatan Pura Dalem Ped, sementara alur goa yang mengarah ke Barat Daya sebagai ke pintu keluar goa yang mengarah ke Laut (Segara) diyakini umat sebagai pengayatan ke setiap pura yang ada di luar pulau Bali seperti Pura Blambangan, Pura Alas Purwa, Pura Semeru Agung dan seterusnya.

 
Kedua, halaman Tengah disebut Madya Mandala, dimana pada halaman ini terdapat beberapa Palinggih dan Archa, diantaranya sebuah palinggih Piasan adalah difungsikan sebagai stana Pralingga dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam berbagai manifestasi. Dua buah palinggih diantaranya 1 buah Padmasana sebagai stana pemujaan Ida Bhatara dalam manifestasi tertinggi ialah Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan 1 buah Padmasari sebagai stana Dewa Siwa Gangga. Sebuah Gunung Rata difungsikan sebagai tempat Bebanten (sarana Sembahyanga). Selanjutnya keberadaan dua buah Archa diantaranya, Archa Ida Pedanda Wawu Rawuh dan Archa Ida Pedanda Istri Sri Patni Kaniten ialah Sakti dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, guna mengenangkan jasa-jasa suci beliau sebagai cikal bakal penyempurnaan Pura Dangkahyangan Rambutsiwi. Archa naga cobra berkepala tiga sebagai simbol bahwa kesatuan semesta ini sesungguhnya terbagi atas tiga tingkatan alam disebut Tri Loka, yakni alam Bhur Loka adalah alam para Bhuta Kala, alam Bwah Loka adalah alam Manusia, Hewan serta Tumbuhan (Bumi) dan alam Swah merupakan alam para Dewa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Wdhi Wasa. Archa naga cobra berkepala tiga ini juga merupakan simbul naga Basuki digunakan menjadi alas archa Dewa Siwa Ganga Murti yang merupakan simbol Dewa sebagai sumber segala Air Suci saat beryoga dan memberikan anugerah. Sepasang Lingga Yoni merupakan simbul Dewa Siwa dan Dewi Sakti sebagai lambang cikal bakal kehidupan bersumber dari Rwa Bhineda (Perdhana-Purusha atau Kiwa-Tengen) adalah merupakan kekuatan keseimbangan berlakunya hukum alam. Sebuah taman Maha Tirtha sebagai tempat keluarnya Air Suci (Tirtha) yang nerupakan anugrah dari Dewa Siwa Gangga Murti untuk dioergunakan dalam berbagai keperluan sepiritual dan kehidupan. Dua buah Archa Macan yakni macan Petak (Putih) dan macan Gading (Orange) merupakan simbul Ancangan (Pengawal jelmaan Ratu Nyoman Sakti Pengadang-Adang). Balai Pengastawa adalah berfungsi sebagai tempat Pemangku dalam memimpin persembahyangan umat.

Ketiga adalah halaman Luar disebut Pratama Mandala, terdapat sebuah Palinggih berupa Padma sebagai pengayatan ke Daleming Segara (Laut) atau Dewa Bharuna dan Bale Pesandekan.

 
Seperti apa yang tersurat dalam kutipan sastra tua yakni Dwijendra Tattwa yang digunakan sebagai salah satu Purana dari Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, dijelaskan dimana kala itu warga sekitar setelah mengetahui informasi tentang keberadaan Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang memiliki kemampuan sepiritual sangat tinggi berada di kawasan yang sekarang ini bernama Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, membuat seluruh warga datang menghadap sang Pendeta untuk memohon bimbingan sepiritual, ada pula yang memohon kesembuhan, anugerah kesejahteraan, dan sebagainya hingga ketika itu Sang Pendeta berkenan menunda keberangkatannya dalam melasanakan perjalanan suci (napak tilas) untuk menjelajahi alam Bali sekira abad ke-14 atas seiijin Dalem (Raja). Disini Sang Pendeta memberikan bimbingn kepada seluruh warga yang datang dan memohon untuk memperdalam tuntunan agama terutama ajaran bhakti kepada Ida Sang Hyang Parama Kawi (pencipta alam semesta), kepada Dewa-Dewi atau Bhatara-Bhatari sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Parama Kawi, juga bhakti kepada Leluhur, termasuk memberikan tuntunan ajaran kerohanian Hakekat Lingga Aksara, pertanian, perkebunan, peternakan, pertukangan dan sebagainya agar memperoleh kedamaian, keselamatan serta kesejahteraan hidup secara lahir maupun bhatin, juga tuntunan mengharmonisasi unsur-unsur gaib (tak kasap mata) agar kekuatannya tidak menjadi jahat tetapi justru dapat melindungi hidup manusia. Setelah seluruh warga tercerahkan, saat pagi hari ketika sang surya (matahari) mulai memancarkan cahayanya ke seluruh persadha, seusai melaksanakan sembahyang (Surya Sewana), sang Pendeta kemudian memercikkan Tirtha yang dibuat dari sumber air yang mengalir dari salah satu goa yang ada di kawasan tersebut dan tanpa pernah mengering walau dikala musim kemarau sekalipun (sekarang Pura Tirtha).

"Legenda inilah yang mendasari hingga sekarang di Pura ini diyakini sebagai tempat bertapa (payogaan) dari Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh serta keberadaan air bersumber dari dalam goa yang ada di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi dan terus mengalir tanpa pernah mengering walau di saat musim kemarau sekalipun, hingga kini juga dipercayai sebagai tempat memohon Air Suci (Tirtha) yang diperuntukkan dapat digunakan dalam berbagai keperluan kehidupan sepiritual. Hingga setiap saat terutama rahinan (hari suci) atau ketika pujawali (piodalan) yang jatuh enam bulan sekali tepatnya tiap hari Rabu Umanis wuku Perangbakat seluruh umat Hindu bahkan dari luar Bali pedek tangkil datang) untuk bersembahyang serta memohon anugrah juga mukjizat dari Tirtha Siwa Gangga ini misal digunakan sebagai Titrha untuk Pangelukatan, Tirtha Pasupati, Tirtha untuk memohon Penyembuhan, Keturunan, Peleburan Desti, Panyibeh, dan sebagainya", jelas Jro Mangku Suar.

Sementara salah seorang Pamedek, Ni Komang Sugiantari (35) asal Jembrana menerangkan dimana keluarganya dulu pernah sakit. "Saat itu mertua perempuan saya menderita sakit seperti kelumpuhan dan anak saya ada benjolan di bagian kaki. Saya sudah berupaya mengantar berobat baik secara medis maupun sepiritualis namun juga tidak kunjung sembuh dan astungkara sekarang sudah pulih kembali atas kekekuasaan Hyang Widhi setelah memohon dan melukat di Pura Tirtha Lan Segara Dangkahyangan Rambutsiwi", jelasnya.

Sedangkan pemedek lainnya bahkan umat dari Manca Negara banyak yang bersembahyang serta menghaturkan suksma (ucapan terima kasih) karena doa mereka terkabulkan setelah memohon anugerah berbagai hal atas kemulyaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui Pura Dangkahyangan Rambutsiwi. (Arn)

Senin, 12 Juni 2017

Sanur Gelar Lomba Layang-Layang Hindari Kemacetan Tekankan Penilaian Layangan Knockdown

Sanur (Balikini.Net )- Bergerak dari pengalaman lomba layang-layang yang selama ini telah dilaksankan sering menimbulkan keluhan masyarakat terutama kemacetan lalu lintas. Untuk itu Desa Sanur yang menggelar lomba layang-layang memadukan dengan teknologi yang berbasis layangan knockdown. Hal tersebut disampaikan Ketua Panitia lomba layang-layang Kadek Suprapta Meranggi ditemui usai beraudensi dengan Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra, Senin (12/6) di Gedung Sewaka Dharma.

"Lomba yang kami selenggarakan sekarang ini memadukan teknologi, mulai dari pendaftaran sampai pada layang-layang yang dibuat harus knockdown," ujarnya. Dengan demikian diharapkan dapat menghindari kemacetan yang ditumbulkan. Hal ini juga untuk menghilangkan kesan lomba layang-layang tidak selalu menimbulkan kemacetan. Disamping itu untuk lomba layang-layang yang dilaksankan dari tanggal 22-23 Juli mendatang juga harus rama lingkungan. Terutama turut menjaga kebersihan dilingkungan lomba yang akan dilaksanakan. Untuk itu pihaknya menggandeng LSM Malu Dong untuk turut melakukan sosialisasi dalam menjaga kebersihan di tempat lomba. Dalam penilian lomba layang-layang kali ini tidak hanya menilai layang-layang itu sendiri tetapi juga menilai kebersihan setiap peserta apakah peduli terhadap lingkungan atau tidak. Hal ini akan mempengaruhi sekali terhadap penilaian yang dilakukan. "Kita harus mulai dari diri sendiri untuk turut menjaga kebersihan lingkungan sehingga lingkungan yang ada tetap bersih," harapnya.

Lerlebih lagi peserta lomba layang-layang tiap tahunnya terus mengalami peningkatan dan untuk tahun ini diperkirakan mencapai 1800 peserta. Ini merupakan jumlah yang sangat besar peran serta mereka untuk menjaga lingkungan terutama mewujudkan lingkungan bersih.

Disamping itu Kadek Suprapta menjelaskan lomba layang-layang yang dilaksankan juga sebagai ajang atraksi pariwisata. Mengingat setiap pelaksanaan lomba layang-layang banyak wisatawan menyaksikannya dan bahkan mereka merasa kagum terhadap lomba layang-layang tersebut. Lomba layang-layang ini merupakan salah satu event besar yang sangat menarik karena memiliki keunikan budaya yang sama seperti Festival Kesenian Bali. Karena dalam lomba layang-layang yang dilaksanakan menampilkan berbagai jenis layang-layang. "Lomba layang-layang yang dilaksanakan merupakan even besar sehingga menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan,"ujarnya.

Walikota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra menyambut baik terhadap lomba layang yang akan dilaksanakan bula Juli ini. Ia berharapa lomba layang yang telah menjadi event tahunan  selain sebagai atraksi pariwisata juga menjadi pelestarian budaya. "Kami harapkan lomba layang-layang yang dilaksanakan menjadi salah satu atraksi wisata yang telah ada selama ini," ujarnya. Namun demikian Rai Mantra menekankan pada panitia untuk turut menjaga lingkungan terutama kebersihan. Mengingat dalam lomba layang-layang tersebut melibatkan banyak peserta tentu akan membawa dampak terhadap kebersihan. Untuk itu Rai Mantra sangat setuju bila panitia melibatkan semua LSM yang peduli terhadap lingkungan melakukan sosialisasi kebersihan terhadap para peserta. (Gst )

Minggu, 11 Juni 2017

Gubenur Pastika Jadi Pembicara Utama dalam Wold Hindu Wisdom Meet (WHWM ) 2017

Balikini.Net,Denpasar - Gubernur Bali Made Mangku Pastika menjadi pembicara utama (Keynote Speaker) dalam  pertemuan World Hindu Wisdom Meet (WHWM) 2017 yang digelar di  Gedung Natya Mandala Kampus ISI Denpasar, Minggu (11/6). Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Pastika menyampaikan bahwasanannya sebagai agama yang tertua di dunia, agama Hindu merupakan agama yang bersifat universal dimana hal ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran yang terkandung didalam  kitab suci Weda.  Weda  merupakan sumber dari ilmu pengetahuan  serta  sumber dari  hukum semesta yang keberadaanya tidak perlu diragukan lagi. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab suci Weda mencakup segala aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia. Untuk itu ajaran yang tekandung di dalamnya  hendaknya  terus digali dan dipahami secara mendalam sehingga dapat memberi manfaat nyata di segala  aspek kehidupan  bagi seluruh umat manusia di dunia.. "Weda adalah kebenaran yang utama, sumber dari ilmu pengetahuan. Ajaran yang terkandung dalam Weda sangat berguna untuk hidup dan  bersifat universal. Mari kita membangun jembatan bukan dinding pemisah. Bangun jembatan antara generasi  tua dengan generasi muda, antar satu kepercayaan dengan kepercayaan lain. Jangan mengkotak kotakkan diri.  Dengan demikian ajaran Weda yang universal dapat dimengerti dan berguna bagi seluruh umat manusia di  dunia, "imbuhnya.  Gubernur Pastika juga mengajak umat Hindu untuk tidak hanya mengetahui / sekedar tahu apa saja yang tekandung dalam kitab suci Weda namun harus dapat berbuat, berbicara serta berpikir seperti apa yang diajarkan dalam Weda. Pada bagian lain, orang nomor satu di Bali ini juga menyoroti tentang keberagaman ritual agama Hindu yang dimiliki oleh masing-masing daerah / tempat, dimana menurutnya perbedaan ritual tersebut hendaknya tidak menyebabkan perpecahan maupun konflik. Mengingat agama  Hindu sangatlah fleksibel, pelaksanaan ritual dapat  disesuaikan dengan desa kala dan patra ( tempat, waktu dan suasana) ritual tersebut dilaksanakan. "Meskipun  ritual disatu tempat bisa berbeda dengan ritual di daerah lainnya, hal itu bukanlah penyebab  konflik. Kita semua percaya dan meyakini dengan adanya Brahman, percaya dengan adanya atman, karmaphala, punarbhawa dan moksa. Kelima unsur Panca Sradha inilah yang mempersatukan Hindu diseluruh dunia.  Lima keyakinan ini akan selalu menjadi pedoman kita dalam menjalani kehidupan dimuka bumi, "tuturnya. Hal senada juga disampaikan oleh Dirjen Bimas Hindu Kementrian Agama RI  Prof. Drs I Ketut Widnya, MA, M.Phil, Ph.D dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Ka. Kanwil  Kementrian Agama Provinsi Bali dimana  pihaknya memberikan apresiasi atas penyelenggaraan WHWM 2017 pada  pagi hari ini. Penyelenggaaran kegiatan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi umat Hindu di Bali pada khususnya dan dunia pada umumnya. Umat Hindu diharapkan untuk percaya diri bahwa Weda dapat  memberikan tuntunan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberadaan  Weda harus terus digali dan diekplorasi  sehingga  umat Hindu dapat berkontribusi dalam menghadapi tantangan global. Kegiatan ini juga diharakan dapat memacu cendikiawan Hindu  untuk makin berkontribusi nyata dalam melakukan bedah Weda dan  lebih berpartisipasi dalam membangun peradaban Hindu di jagad raya ini. Acara yang dibuka secara resmi oleh Gubernur Bali dengan penyalaan Dipa ini  mengangkat tema "Para and Apara Vidya As The Base Of Hindu Body Of Knowlegde" atau pengetahuan spiritual dan  ilmu pengetahuan serta teknologi sebagai dasar pohon keilmuan Hindu, diselenggarakan sebagai upaya menemukan materi, struktur, berbagai teori Hindu dan hubungannya dengan pengetahuan Veda, ilmu pengetahuan modern dan teknologi untuk membimbing umat manusia mencapai tujuan hidup tertinggi. Pelaksanaan WHWM 2017 memilki tujuan khusus untuk memahami secara lebih mendalam dan mengkonstruksi teori dan ilmu-ilmu pengetahuan Hindu yang dituangkan secara metodis, kritis, sistematis, koheren dan konsisten sesuai dengan kriteria ilmu pengetahuan  ilmiah. Acara yang turut dihadiri oleh Ketua PHDI Pusat Mayjen TNI Purn. Wisnu Bawatenaya, Wakil Ketua DPRD Provisni Bali Alit Putra, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali Dewa Gede Mahendra Putra, para Pandita se-Bali, Bendesa Adat serta para mahasiswa ini berlangsung selama dua hari  dan diisi dengan beberapa pembicara diantaranya Swami Paramatmananda Saraswati, Prof. Binayak S. Choudhury, Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, MA serta Ngakan Putu Putra, SH, MA. [pro/r6]

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved