-->

Rabu, 16 Agustus 2017

GIGIR MANUK, Jajaran Pura Kuno Yang Menguak Tabir Sejarah Nusantara

Balikini.net - Tidak banyak masyarakat yang mengenal wilayah “Gigir Manuk”, namun dalam beberapa sumber literatur tua wilayah ini banyak disebut sebagai wilayah awal pembentukan peradaban Pulau Bali. Gigir Manuk adalah wilayah yang berada di titik paling utara dari pulau Bali. Dan jika melihat pada bentuk pulau bali yang menyerupai ayam (manuk), wilayah tersebut tepat berada di punggung (gigir/geger) dari Pulau Bali. Letak wilayahnya yang berada di punggung Pulau Bali ini yang menjadi cikal-bakal penyebutan Gigir Manuk. Wilayah Gigir Manuk tersebut, sesuai dengan komposisi peninggalan arkeologisnya meliputi Desa Bungkulan, Kubutambahan, Sangsit dan sekitarnya  yang dulunya merupakan satu wilayah besar yang saling terkait dengan Desa Bungkulan sebagai titik pusatnya. Terdapat puluhan situs arkeologis yang merupakan peninggalan era awal nusantara di wilayah tersebut yang membentuk komposisi sebuah pusat pemerintahan di masa lalu. Situs arkeologis tersebut berupa jajaran Pura Kuno yang menyimpan data berupa pola perlambang tentang sejarah nusantara di masa lalu. Meskipun sebagian dari Pura Kuno tersebut sudah mengalami pemugaran sehingga menghilangkan sebagian data perlambangnya, namun masih bisa ditelusuri sejarahnya dari data perlambang yang disisakan.
Diantara peninggalan arkeologis penting diantaranya adalah: Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan, Pura Kawitan Dalem Alit, Pura Dalem Purwa, Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, Pura Dalem Balingkang, Pura Agung, Pura Negara Penyucian, Pura Pasek, Pura Sari Besikan, Pura Segara yang semuanya berada di wilayah Desa Bungkulan, Buleleng. Di wilayah Kubutambahan terdapat Pura Meduwe Karang dan Pura Patih serta Pura Beji yang berada di wilayah Sangsit. Masih banyak situs lain yang berada di wilayah Gigir Manuk tersebut, yang akan disajikan pada kesempatan yang lain.
Menurut Iwan Pranajaya, titik pusat dari seluruh jajaran peninggalan arkeologis tersebut adalah dua Pura Kawitan yang berdiri berdampingan, yakni Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang merupakan Pura Kawitan Raja-Raja Nusantara serta Pura Kawitan Dalem Alit yang merupakan Pura Kawitan dari Raja-Raja Trah Sunda.
Di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan tersimpan data perlambang yang memuat jatidiri tokoh-tokoh besar nusantara seperti Sri Jayapangus, Sri Udayana, Gajah Mada, Kebo Iwa, Singamendawa, Anak Wungsu, Dalem Waturenggong dan tokoh-tokoh besar lainnya. Pura tersebut juga menyimpan puluhan stempel penting nusantara, diantaranya Stempel Surya Majapahit, Stempel Raja Udayana, Stempel Kebo Iwa, dan lainnya. Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan juga terkait erat dengan keberadaan situs Candi Tebing Gunung Kawi di Tampak Siring, Gianyar, Bali.  Sementara di Pura Kawitan Dalem Alit menyimpan data perlambang terkait dengan keberadaan Prabu Siliwangi, serta data-data perlambang terkait dengan Trah Sunda.
Kedua Pura Kawitan yang menjadi central tersebut didampingi dengan keberadaan Pura Dalem Purwa yang merupakan Pedharman dari Raja-Raja Nusantara, juga keberadaan Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, dan Pura Negara Penyucian yang merupakan indikasi adanya sebuah Pusat Pemerintahan Besar di Wilayah tersebut, serta Pura kuno lainnya yang data perlambangnya saling berhubungan satu sama lain termasuk keberadaan Pura Dalem Balingkang yang jarang diketahui oleh masyarakat Bali.
Terdapat juga dua Pura Kuno yang bersifat monumental di area Kubutambahan, yakni Pura Meduwe Karang yang merupakan simbol dari keberadaan penguasa tertinggi di wilayah Gigir Manuk,  Pura Patih yang merupakan simbol dari adanya konsep Mahapatih (Maharaja yang mengambil posisi mendampingi Raja-Raja di seluruh wilayah), serta Pura Beji Sangsit yang banyak memuat data tokoh-tokoh besar tersebut. Ketiga Pura Kuno tersebut sesuai data perlambangnya, merupakan data penguat dari Pemerintahan Besar yang berpusat di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan.
Menurut hasil penelitian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit, wilayah Bungkulan dan sekitarnya (Gigir Manuk) memang merupakan sebuah Pusat Pemerintahan Besar pada masanya. Dan berdasarkan data perlambang yang tertera pada jajaran Pura Kuno tersebut, wilayah tersebut memang merupakan Pusat Pemerintahan nusantara dari era Mataram Kuno hingga Majapahit. “Fakta ini memang mengejutkan namun karena bukti-bukti yang ada sangat valid dan ilmiah, perlahan baik masyarakat umum maupun kalangan akademisi sejarah dan arkeologi mulai bisa melihat kebenaran dan menerima hasil penelitian kami. Konsultasi dengan pihak terkait memang kami lakukan secara intens seperti dengan Universitas Udayana, ahli-ahli sejarah, budaya dan arkeologi, termasuk dengan PHDI dan masyarakat umum” ungkap Iwan Pranajaya pada salah satu kesempatan. Hasil kajian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit memang memberi dampak yang sangat positif, dimana masyarakat yang telah teredukasi tentang adanya data sejarah berupa pola perlambang di Pura Kuno yang tersebar di seluruh Bali menjadi aktif berpartisipasi dalam upaya-upaya pelestarian Pura Kuno di Bali. Proses pemugaran pura-pun kini terlihat lebih selektif dan berhati-hati, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa adanya arus politik yang memanfaatkan dana bansos seringkali menjadi penyebab rusak dan hilangnya data perlambang karena dana bansos cenderung diarahkan untuk pemugaran Pura tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Balai Cagar Budaya maupun pihak-pihak terkait yang paham proses renovasi Pura yang benar. (ctr/jro/r7)

Senin, 12 Juni 2017

AGAMA UNTUK HIDUP

AGAMA UNTUK HIDUP

oleh: Made Mangku Pastika

( Balikini,Net ) - Hari minggu (11/6) yang lalu, saya diundang untuk memberikan keynote speech pada pembukaan “World Hindu Wisdom Meet 2017” di Denpasar, yang dihadiri cendikiawan Hindu dari berbagai negara di dunia. Pertemuan ini sangat penting dan strategis, yang turut menentukan perjalanan Hindu dalam percaturan global. Penyelenggaraan pendidikan hindu, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia Hindu akan sangat menentukan eksistensi agama Hindu ke depan. Pada era globalisasi saat ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena sosial yang mendegradasi keluhuran ajaran agama mulai merebak, mulai dari konflik antar umat, sampai pada gerakan radikalisme. Kita harus melakukan langkah nyata untuk menyelamatkan Hindu, serta turut menjaga harmoni keberagaman di muka bumi.

Saya menyampaikan “kerisauan” saya atas kondisi Hindu saat ini. Bukan untuk menggurui para cedikiawan atau bahkan rohaniwan yang hadir, tetapi semata-mata “membangunkan dan menyadarkan” kita semua bahwa Hindu berada dalam tantangan global yang sangat kompleks.

Saya memulai dari gambaran sering terjadinya konflik antar umat Hindu, tidak hanya di Bali, tetapi juga di luar Bali, bahkan hampir di seluruh dunia. Hal ini terjadi karena umat Hindu masih memahami agama pada tingkat ritual atau upacara. Umat belum memahami betul unsur susila (etika) dan tatwa (filsafat), apalagi mampu melaksanakannya. Padahal agama terdiri atas tiga unsur sebagai satu kesatuan, tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual).

Pada tataran tatwa (filsafat), sumber tatwa agama Hindu adalah Weda. Weda adalah sumber ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan material (aparavidya) dan spiritual (paravidya) yang juga merupakan penjabaran “natural law” meliputi seluruh aspek kehidupan, yang tidak dapat dibantah kebenarannya. Weda adalah sebuah ajaran dharma, kebenaran yang universal, sekaligus abadi (sanatana dharma). Hanya dalam proses internalisasi kepada umat, metode yang diterapkan mungkin kurang tepat, sehingga belum mengarah pada terbangunnya kemauan dan kemampuan umat untuk mempraktikkan ajaran Hindu dalam kehidupan nyata, apalagi mampu membuatnya menjadi Hindu.

Dalam tatwa, secara universal semua manusia di muka bumi percaya adanya Tuhan, adanya atman, adanya hukum karma, adanya kelahiran kembali, dan percaya moksa.  Dengan demikian, tatwa bagi agama Hindu adalah nilai-nilai kebenaran universal.

Pembelajaran agama Hindu secara berjenjang harus diarahkan agar umat mengetahui (to know), kemudian mampu mempraktikkan dalam hidup (to do), setelah itu barulah untuk menjadi Hindu (to be). Semua praktik konsepsi Hindu juga mengarah pada tiga tahapan tersebut, seperti: catur asrama: mulai dari Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta, sampai pada Bhiksuka.

Pada tataran susila (etika), Hindu sudah mengajarkan tata susila dalam berbagai konsep seperti: Tri kaya parisudha, Tri hita karana, Vasudewa kutumbakam, Tat wam asi, serta desa, kala, patra. Di samping konsep tersebut, tentu masih banyak konsep yang sudah diimplementasikan sebagai nilai etika Hindu.

Pada tingkat upacara, “kulit luar” dari agama, sangat tergantung pada desa, kala, patra. Inilah yang membedakan Hindu di Bali dengan Hindu di luar Bali, bahkan Hindu di seluruh dunia.

Pada akhir tahun 2016 yang lalu, saat Konferensi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama di Bali, seorang pemuka agama Islam dari Medan bertanya kepada saya, “Apakah berbeda agama Hindu di Medan dengan agama Hindu di Bali?” Saya menjawab “berbeda, karena unsur upacaranya itu”. Bahkan di Bali saja, ada paling sedikit “1.488 agama Hindu” yang berbeda,  karena ada 1.488 desa pakraman, yang dengan otonominya masing-masing memiliki konsep upacara walaupun tetap mengacu pada tatwa Weda.

Ketiga unsur ini, tatwa, etika dan upacara, harus diajarkan dan diterapkan seluruh umat secara utuh dalam kehidupan beragama. Orang belum beragama, kalau hanya memahami dan melaksanakan satu atau dua unsur tersebut. Oleh karena itu, Hindu mengajarkan umat untuk menempuh jalan sesuai dengan kemampuan menuju atau menyembah Tuhan, melalui catur marga, yaitu bhakti marga melalui upacara, karma marga melalui etika, serta jnana dan raja marga melalui Tatwa.

Menghadapi zaman global, yang menurut Prof. Rhenald Kasali, bercirikan 3S, yaitu: speed, surprise, and suddenshift, ada pertanyaan besar, “Apa yang sedang terjadi?” dan  “Mengapa Hindu kelihatannya berangsur-angsur menghilang?”

Di zaman global ini, umat Hindu harus dapat hidup, memenuhi kebutuhan hidupnya dan mewujudkan kesejahteraan hidup, berlandaskan ajaran agama. Ajaran agama dan ilmu harus mampu membuat umat untuk “hidup”. Tanpa mampu untuk itu, agama akan ditinggalkan. Kita harus berhenti berdebat dan berhenti berkonflik. Mari kita buat agama menjadi praktis, Mari kita jabarkan ajaran Weda untuk dipedomani umat, sekaligus mampu mewujudkan kehidupan umat menjadi lebih baik. Ajaran Hindu adalah bersifat universal, sehingga harus mampu menjadi jembatan, baik jembatan antar agama atau keyakinan, maupun jembatan antar generasi Hindu. Kita harus hindari Hindu yang menjadi sekat, yang mengkotak-kotakkan dan memisahkan antar umatnya, atau bahkan memisahkan umatnya dengan umat lain di muka bumi.

Tantangan bagi para guru-guru, para rohaniwan, dan para cendikiawan Hindu saat ini adalah:

“Bagaimana mengajarkan kepada umat Hindu  agar tidak hanya tahu dan paham ajaran Hindu, tetapi juga dapat mempraktikkan, dan pada akhirnya dapat menjadi Hindu yang sesungguhnya?”

Diperlukan pola pendidikan yang tepat, serta diperlukan tauladan dari para rohaniwan, dari para cendikiawan, serta dari semua yang sudah merasa Hindu.

Penyelenggaraan pendidikan yang terintegrasi, antara penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pembinaan karakter dan budi pekerti berdasar nilai-nilai Hinduism, harus mulai dikembangkan. Sekolah-sekolah atau perguruan tinggi Hindu harus memiliki pola pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas sumber daya umat, serta mampu menerapkan ajaran Hinduism, sehingga akan melahirkan lulusan yang tidak hanya pintar menyebarkan ajaran Hindu dan memberikan pencerahan kepada sesama, tetapi juga mampu membuat lulusannya “menjadi Hindu”, dan pada akhirnya mampu membuat umat hidup dan sejahtera, serta mampu bersaing dalam zaman globalisasi ini. Pola pendidikan pasraman, sangat tepat dikembangkan pada semua jenjang sekolah, sebagaimana yang saya terapkan pada SMAN dan SMKN Bali Mandara di Buleleng.  

Agama ditinggalkan  juga karena masih dipandang sebagai dogma atau doktrin, belum dipahami sebagai sumber ilmu, dan sumber kehidupan. Hindu akan ditinggalkan umatnya apabila tidak memberikan manfaat nyata bagi kehidupan umatnya. Sebagaimana ilmu marketing, produk akan diterima konsumen apabila produk itu good, useful, reliable, applicable, practical, dan easy, compact, pretty serta attractive. Inilah sebetulnya penjabaran filosofi “satyam, shivam, sundaram” dalam kekinian.

Memang, agama bukan produk, tetapi dengan mengkemas ritualnya sebagai sesuatu yang tidak memberatkan dan dapat dicintai umatnya, maka Hindu akan semakin berkembang dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umatnya dan bagi perdamaian dunia.  Semoga!

Rabu, 24 Mei 2017

Tim Redaksi Radio, Antara Ada dan Tiada.

Tim Redaksi Radio, Antara Ada dan Tiada.

 Balikini.Net - Media cetak, online dan TV selama ini menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan berita aktual. Radio sebagai sebuah media juga memiliki kemampuan untuk menyajikan informasi dan berita kepada masyarakat. Bahkan radio memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan media lainnya dalam penyampaian informasi kepada masyarakat. Dengan keunggulan kecepatan melalui anggota tim redaksinya atau reporternya, radio mampu menyajikan informasi dan berita langsung pada saat kejadian dan langsung dari lokasi atau tempat kejadian. Namun berapa radio yang masih memiliki tim redaksi? Atau justru hanya memiliki seorang reporter?

Sebagai sebuah perusahaan media, radio tidak ada bedanya dengan perusahaan media lainnya seperti TV, media cetak dan online. Sebagai sebuah media atau lembaga pers maka radio memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan perekat sosial. Lembaga penyiaran radio juga harus tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan etika profesi kewartawanan. Dalam Undang-Undang 32 Tahun 2002 tentang penyiaran juga disebutkan bahwa Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan. Sebagai media komunikasi masa dan sebagai lembaga yang memiliki fungsi media informasi maka sebuah lembaga penyiaran radio wajib memiliki tim redaksi.

Tim redaksi pada sebuah lembaga penyiaran radio memiliki peran sentral terutama dalam mempertanggungjawabkan perencanaan, mengelola hingga penyiaran sebuah berita. Tim redaksi menjadi otak dibalik kebijakan redaksi pemberitaan radio. Tim redaksi yang memegang peran penting dalam memutuskan informasi dan berita yang layak atau tidak layak disampaikan kepada pendengar. Tim redaksi yang menentukan informasi atau berita yang sesuai dengan segmentasi pendengar, termasuk format dan cara penyajian informasi kepada pendengar. Dengan adanya tim redaksi maka sebuah lembaga penyiaran radio akan memiliki pandangan atau sikap terhadap suatu permasalahan yang ada dan berkembang di masyarakat.

Mengutif hasil survey uji petik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Bali pada 2014 terhadap 15 radio menunjukkan hanya satu radio yang mengaku memiliki tim redaksi, walaupun dalam tim redaksi yang dimaksud hanya 1 orang penanggungjawab berita dan 1 orang reporter. Sedangkan media radio lainnya yang tidak memiliki redaksi cenderung menyiarkan informasi yang diambil dari media cetak dan online. Memang menjadi aneh ketika sebuah lembaga penyiaran radio mengambil informasi dari media cetak atau koran. Tentu menjadi pertanyaan, masihkan radio tersebut mengedepankan konsep kecepatan dan ketersegeraan dalam penyampaian informasi? Memang secara aturan tidak ada larangan radio mengambil dan menyiarkan berita dari koran, namun secara konsep kecepatan penyampaian informasi tentu menjadi tidak lazim. Sepatutnya radio menyiarkan berita dengan mengedepankan konsep kecepatan penyiaran, buka membaca berita dari koran yang kejadiannya sudah terjadi kemarinnya.

Kejadian yang umum terjadi yaitu Pemilihan dan editing terhadap informasi atau berita dilakukan langsung oleh penyiar. Permasalahanya kemudian adalah ketika terjadi kesalahan editing atau pelanggaran etika jurnalistik, maka siapa yang akan bertanggungjawab? Apakah semua kesalahan akan langsung dibebankan pada seorang penyiar yang tugasnya hanya menyiarkan? Maka pada kondisi seperti inilah pentingnya sebuah tim redaksi dengan kebijakan redaksi dan tanggungjawab redaksinya. Tim redaksi memegang peran penting dalam menentukan arah kebijakan dan sikap redaksi. Radio sebagai sebuah lembaga media semestinya memiliki sikap redaksi yang tidak dipengaruhi dan mendapatkan tekanan dari pihak manapun, termasuk pemilik saham.

Terdapat beberapa alasan dari lembaga radio yang menganggap tim redaksi tidak penting pada sebuah stasiun radio. Salah satu alasan tersebut yaitu alasan segmentasi dan format siaran radio yang mengarah pada hiburan. Tentu alasan tersebut tidak masuk akan dan sangat mengada-ada. Seharusnya apapun segmentasi dan format radio, seharusnya pengelola radio ingat bahwa lembaga yang dikelola adalah lembaga media, bukan café atau sekedar tempat karaoke. Sebagai sebuah media memiliki kewajiban untuk menyajikan informasi dan berita. Ketika menyajika informasi dan berita maka perlu tim pengelola yang biasa disebut sebagai tim redaksi. Pengelola radio perlu membuka kembali berkas proposal pengajuan permohonan ijin atau perpanjangan ijin yang diserahkan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam proposal tersebut terdapat komitmen dari manajemen radio untuk melengkapi siaran dengan informasi dan berita. Persentase penayangan informasi dan berita yang terdapat dalam proposal permohonan ijin yang menentukan adalah lembaga radio sendiri dan bukan dari KPI. Namun pada sisi lain juga terdapat lembaga radio dengan nama radio berita atau mengambil format berita tetapi isi siaranya didominasi musik. Parahnya lagi pengelola radio tidak memiliki kemampuan untuk membedakan informasi dan berita.

Alasan lain dari pengelola radio yang tidak memiliki tim redaksi adalah tidak memiliki dana untuk membiayai operasional tim redaksi. Alasan ini cukup masuk akal jika dilihat dari sudut pandang ketersediaan modal. Dalam artian untuk apa menyiapkan tim redaksi jika tidak memiliki modal. Namun menjadi aneh jika dilihat dari sudut pandang operasional sebuah lembaga media. Bagaimana mungkin mengelola media dengan tidak menyiapkan modal untuk operasional tim redaksi? Apakah niatnya membuat media atau sekedar membuat toko penyedia jasa pemutar musik? Sebagai sebuah media tentu sudah menjadi kewajiban memiliki tim redaksi dan lengkap dengan biaya operasionalnya. Biaya operasional tim redaksi menjadi sebuah kebutuhan, agar tim redaksi dapat bekerja secara optimal.

Alasan lain yang cukup aneh dari pengelola radio yang tidak memiliki tim redaksi yaitu tidak memiliki Sumber Daya Manusia (SDM). Alasan ini menjadi aneh karena bagaimana mungkin sebuah media berupa lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik berdiri tanpa memiliki SDM?. Pengelola radio harus mengingat kembali bahwa yang hendak dibangun adalah sebuah media yang memerlukan SDM yang memiliki kemampuan jurnalistik dan mampu bekerja dalam sebuah tim redaksi. Jika memang tidak memiliki SDM tentu pengelola radio dapat melakukan pelatihan. Pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM tentu tidak hanya dapat dilakukan sekali atau dua kali saja, tetapi secara berkesinambungan.
Radio sebagai sebuah lembaga media menjadi aneh jika tidak memiliki tim redaksi. Apapun segmentasi radio maka keberadaan akan tim redaksi menjadi penting dan sangat dibutuhkan. Membentuk sebuah tim redaksi pada sebuah lembaga radio menjadi sebuah kebutuhan wajib. Tim redaksi pada sebuah lembaga radio bukan hanya bertugas menyediakan informasi dan berita untuk dibaca oleh penyiar. Keberadaan tim redaksi juga menunjukkan sikap dan harga diri lembaga. Tim redaksi bukanlah sebuah tim pelengkap dalam lembaga radio, tetapi nadi dari sebuah operasional radio. Bagaimana mungkin sebuah lembaga radio dapat disebut sebagai sebuah media jika dalam operasionalnya tidak memiliki tim redaksi?. Berdasarkan keputusan redaksilah sebuah informasi dan berita dapat disiarkan. Jangan sampai akibat ketiadaan tim redaksi menyebabkan seorang penyiar harus menanggung kesalahan sendiri akibat menyampaikan informasi atau berita yang salah. [Oleh : I Nengah Muliarta]

Selasa, 16 Mei 2017

CTC Serukan Perlindungan Hiu di Perairan Bali

Balikini.Net-Lembaga konservasi kelautan Coral Triangle Center (CTC) menyerukan pentingnya perlindungan hiu di kawasan perairan Bali. Seruan tersebut disampaikan menyusul ditemukannya kasus penangkapan hiu oleh nelayan di beberapa lokasi perairan Bali. Penangkapan hiu dikhawatirkan akan menyebabkan ancaman terhadap populasi hiu di perairan Bali.

Learning Site Manager CTC, Marthen Welly pada keteranganya di Denpasar (13/5/2017) menyampaikan bahwa keberadaan ikan hiu di perairan Bali dalam kondisi terancam.  Menyusul masih dijumpai kegiatan penangkapan ikan hiu oleh nelayan dibeberapa tempat.  Beberapa lokasi dimana kerap dijumpai ikan hiu yang tertangkap nelayan adalah Klungkung, Karangasem dan Badung.  Bahkan, pelabuhan Benoa disinyalir sebagai salah satu lokasi dilakukannya ekspor sirip hiu.  “keberadaan ikan hiu di dunia saat ini terancam.  Sekitar 100 juta ikan hiu mati setiap tahunnya diseluruh dunia” ungkap Marthen

Berdasarkan survei yang dilaksanakan Coral Triangle Center (CTC) bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali dengan didukung oleh The Nature Conservancy (TNC) Indonesia pada tahun 2015 menunjukkan dari 41 lokasi penyelaman, masih dijumpai keberadaan ikan hiu di perairan Bali seperti di Pulau Menjangan (Bali Barat), Amed (Karangasem), Gili Biaha dan Gili Mimpang (Karangasem), Saba (Gianyar), Sanur, dan Serangan.  Kebanyakan berasal dari jenis ikan hiu karang sirip hitam (black tip reef shark) dan ikan hiu karang sirip putih (white tip reef shark).  Selama survey paling tidak dijumpai tiga hiu karang sirip hitam, 14 hiu karang sirip putih, dan dua hiu bambu.  Lebih jauh keberadaan ikan hiu di perairan Bali merupakan aset penting bagi wisata bahari khususnya penyelam.

Menurut Marthen, jika keberadaan ikan hiu terancam, maka akan mengganggu rantai makanan yang ada di laut.  Sebagai contoh, jika ikan hiu punah maka salah satu makanannya yaitu ikan herbivora berupa  ikan yang memakan alga dan lumut seperti baronang (rabbit fish) akan melimpah karena tidak ada yang memangsanya.  Akibatnya akan terjadi konsumsi alga dan lumut yang massif dari ikan herbivora dengan jumlah melimpah.  Lambat laun, alga dan lumut akan habis dan berakhir dengan punahnya ikan herbivora disebabkan makanannya habis atau tidak ada lagi di laut.  Demikian seterusnya terjadi dengan rantai makanan diatasnya.  Hal ini menggambarkan terganggunya atau hilangnya rantai makanan jika ikan hiu sebagai salah satu top predator di laut terganggu.

Keberadaan ikan hiu di Indonesia sendiri sudah dilindungi melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.59/2014. Ikan hiu yang sudah dilindungi seperti ikan Hiu Koboi (Charcharinus longimanus), ikan Hiu Martil (Sphyrna spp.) dan ikan Hiu Paus (Rhyncodon typus) yang dilindungi melalui Keputusan Menteri Kelautan No.18/2013.

Marthen menegaskan walaupun keberadaan jenis hiu lainnya belum dilindungi, namun keberadaannya sangat penting bagi perairan Bali sebagai salah satu top predator dalam rantai makanan di laut.  Lebih jauh, ikan hiu merupakan aset penting bagi wisata bahari di Bali, khususnya bagi para penyelam.  Disisi lain, anggapan mengkonsumsi sirip ikan hiu akan menambah vitalitas hanyalah mitos.  Berdasarkan beberapa penelitian, terdapat kandungan merkuri di dalam sirip dan daging ikan hiu.  Akan berpotensi menimbulkan penyakit bagi manusia jika dikonsumsi.  “Pemerintah China sendiri sudah melarang penyajian sirip ikan hiu di negaranya dan penangkapan ikan hiu dinyatakan illegal dengan ancaman hukuman 10 tahun” tegas Marthen .

Marthen mengingatkan bahwa keberadaan ikan hiu bagi perairan Bali memiliki nilai penting , sehingga seharusnya ada upaya bersama menjaga dan melindungi ikan hiu yang ada.  Masih banyak jenis ikan yang dapat dikonsumsi di laut seperti tongkol, kakap, tenggiri, cakalang, tuna, kuwe, bawal, kembung dan lain sebagainya.

Marthen menambahkan bahwa Ikan hiu merupakan salah satu top predator di dalam rantai makanan yang ada di laut.  Namun karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang ikan hiu, hewan laut ini kerap dipandang sebagai predator yang menakutkan di laut dan layak untuk ditangkap.  Padahal data dari berbagai sumber menyebutkan tidak lebih dari 10 jiwa/tahun meninggal karena serangan ikan hiu, sedangkan manusia 725.000 meninggal karena gigitan nyamuk setiap tahunnya.  Begitu juga serangan ikan hiu terjadi karena manusia mengganggu habitatnya dan yang kedua adalah peristiwa “tabrak lari” dimana ikan hiu salah menduga manusia adalah mangsanya.

Kepala Seksi Program dan Evaluasi, Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Permana Yudiarso mengakui masih adanya penangkapan hiu di Bali. Namun penangkapan ikan hiu bukan merupakan target penangkapan utama, tetapi merupakan hasil tangkapan sampingan. “hasil tangkapan samping kapal penangkap tuna yang beroperasi di wilayah laut lepas dan terdaftar dalam IOTC atau organsiasi tuna samudera hindia” kata Yudiarso.

Menurut Yudiarso, walaupun penangkapan ikan hiu hanya merupakan hasil tangkapan sampingan tetapi tetap akan mengancam populasi jika tidak dikontrol dan kendalikan, sehingga pemerintah indoensia ada regulasi utk melaporkan hasil tersebut dalam sistem perikanan. Pada sisi lain, Yudiarso membantah tudingan bahwa pelabuhan Benoa merupakan pintu ekspor ikan hiu. Justru Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Tanjung Perak yang cukup tinggi frekeuensi dan volumenya ekspor ikan hiu. “Rata-rata penangkapan hiu oleh nelayan, data pastinya ada di setiap pelabuhan perikanan, BPSPL Denpasar juga melakukan pencatatan di beberapa loaksi pelabuhan perikanan di Jatim, Bali, NTB dan NTT” ungkap Yudiarso

Yudiarso menambahkan dari 118 species Hiu tercatat hanya 2 jenis yang dilindungi  di Indonesia. Kedua jenis hiu tersebut  yaitu HIu Paus (Rhincodon typus) dan Hiu Gergaji  atau pari gergaji (Pristis spp.) (muliarta).

Kamis, 04 Mei 2017

Jaga Kerukunan, Masyarakat Bali Perlu Revitalisasi Konsep Menyama Braya


Jaga Kerukunan, Masyarakat Bali Perlu Revitalisasi Konsep Menyama Braya

Balikini.Net - Direktur Tri Sakti Institut Dr. I Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya, SP. M.Agr menyerukan kepada masyarakat Bali untuk merevitalisasi atau menghidupkan kembali semangat menyama braya. Konsep menyama braya selama ini terbukti mampu menjaga dan menciptakan kehidupan yang rukun di Bali. Menyama braya telah menjadi sebuah kearifan lokal yang menjadi landasan moral dalam membangun relasi sosial bagi masyarakat Bali. “ini menjadi sebuah kekayaan sosial masyarakat Bali untuk menjaga keharmonisan, karena meletakkan pandangan bahwa semua orang adalah saudara dan keluarga, walau berbeda agama, ras atau suku” papar Alit Susanta Wirya saat ditemui di Denpasar, Kamis, (4/5/2017).

Menurut Alit Susanta, semangat dari konsep menyama beraya harus dihidupkan kembali dan harus mampu di implementasikan kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Menyama braya menjadi konsep yang sangat universal karena memiliki makna plural dengan menghargai perbedaan dan menempatkan orang lain sebagai keluarga. “jika ini mampu dipahami secara baik, tidak ada konflik yang akan berujung pada perpecahan” tegas Alit Susanta yang juga seorang akademisi dari Universitas Udayana.

Alit Susanta menyampaikan pengejawantahan dari konsep menyama braya selama ini terkesan luntur dengan mulai timbulnya bentrok antar pemuda dan kelompok ormas. Sebagai langkah antisipasi maka perlu melakukan revitalisasi terhadap semangat dari konsep menyama braya. Semangat menyama braya mengingatkan bahwa hidup perlu bermasyarakat dan bersosialisasi, sehingga terdapat kesadaran untuk selalu menjaga hubungan baik dengan orang lain.

Seorang pekerja pariwisata Jeffrey Wibisono mengaku sangat bersyukur selama 23 tahun tinggal di Bali dan marasakan semangat menyama braya masyarakat Bali. Walau berbeda agama dan bukan orang Bali, Jeffrey mengaku tidak pernah dianggap orang asing. Apalagi bagi masyarakat Bali hidup bersosialisasi merupakan hal penting dalam bermasyarakat. “Kekerabatan masyarakat Bali sangat terasa dan tidak ada di daerah lain seperti ini” ungkap Jeffrey Wibisono.

Jeffrey Wibisono mengakui bahwa masyarakat Bali sangat menjaga semangat menyama braya, terbukti ketika pertama kali tinggal di Bali dan kost di rumah orang Bali justru merasa seperti menjadi anak dari pemilik kost.  Masyarakat Bali memiliki personality yang hangat sehingga setiap pendatang merasa sebagai kerabat.”Jadi turis saja datang tanpa rasa was-was dan kekerabatan itu yang membuat mereka datang berulang ulang” ujar  Jeffrey Wibisono.

Bagi Jeffrey, hal yang paling berkesan adalah ketika merasakan Nyepi pertama di Bali. Nyepi bersama satu keluarga yang seluruh anggota keluarganya beragama Hindu. “saya bisa berbaur dan malah mendapat pengetahuan tentang Nyepi dari keluarga tersebut” kenang Jeffrey.

Jeffrey berharap semangat menyama braya tetap mampu dipertahankan oleh masyarakat Bali secara terus menerus. Semangat menyama braya menjadi ciri masyarakat Bali menjaga keseimbangan alam, salah satunya menjaga hubungan antar manusia. Menjaga kekerabatan dengan saling menghargai sehingga terwujud kerukunan dalam bermasyarakat.

Budayawan Bali Made Nurbawa menyampaikan bahwa konsep menyama braya yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali pada intinya adalah memanusiakan manusia. Hal ini sejalan dengan konsep “Tat Twam Asi” (aku adalah kamu) yang memiliki makna bahwa pada hakekatnya manusia adalah satu. “Artinya tatanan budaya Bali sangat menghargai kesamaan derajat manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan” tegas Nurbawa.

Nurbawa menjelaskan bahwa konsep menyama braya merupakan implementasi dari nilai-nilai Pancasila. Dalam pandangan masyarakat Bali setara dengan Panca Sradha yang berarti lima keyakinan yang dimiliki oleh umat Hindu di Bali. Kelima keyakinan tersebut meliputi percaya terhadap adanya Brahman (Tuhan), percaya terhadap adanya Atman (kehidupan), percaya terhadap adanya hukum Karmaphala (hukum sebab-akibat), percaya terhadap adanya Punarbhawa (kelahiran kembali) dan percaya terhadap adanya Moksa (kebebasan dari ikatan duniawi).

Dalam perkembanganya semangat menyama braya mengalami penurunan dengan semakin berkembangnya sektor pariwisata di Bali. Dampaknya sebagian besar masyarakat Bali yang bekerja di sektor pariwisata memiliki waktu yang terbatas untuk bermasyarakat. Kondisi yang hampir sama juga dialami masyarakat Bali yang bekerja di sektor lain. “pandangan yang menyatakan waktu bermasyarakat berkurang karena bekerja harus diluruskan, bekerja bukan hanya untuk memperoleh pendapatan, tetapi ketika bekerja yang tujuanya membantu orang juga bagian dari menyama braya” kata Nurbawa.

Nurbawa memaparkan pandangan menyama braya selama ini hanya diartikan sebatas saling membantu dalam komunitas sosial yang sempit seperti dalam satu lingkungan desa. Sedangkan menyama braya dalam arti umum cukup luas. Menyama memiliki makna memandang setiap orang sebagai saudara dan braya lebih pada pemaknaan ikatan kebersamaan yang melahirkan keharmonisan dalam bermasyarakat.

Jalinan kerukunan dan toleransi dalam semangat menyama braya di Bali telah ada sejak lama. Berbagai bukti peninggalan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali mampu hidup rukun walaupun terdapat perbedaan agama. Sebagai contoh adanya Pelinggih (bangunan) Ratu Dalem Mekah di Pura Gambur Anglayang Desa Kubu Tambahan, Buleleng dan adanya bangunan Klenteng di Pura Ulun Danu Batur Bangli. (Muliarta/balikini).

Selasa, 02 Mei 2017

Jangan Lakukan Pembiaran Terhadap Siaran Pengobatan Alternatif di Lembaga Penyiaran

Balikini.Net - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali diharapkan tidak melakukan pembiaran terhadap maraknya siaran iklan pengobatan alternatif di lembaga penyiaran. KPID Bali juga diharapkan segera memanggil dan memberikan sanksi bagi lembaga penyiaran yang tetap menyiarkan jasa pengobatan alternative yang tidak memiliki ijin. Harapan tersebut disampaikan Konsultan Bali Broadcast Academia (BBA) I Nengah Muliarta saat ditemui di Kampus BBA Jl. Suli-Denpasar (2/5/2017).

Menurut mantan reporter Voice of America (VOA) tersebut, sangat disayangkan siaran iklan pengobatan alternatif kembali marak di lembaga penyiaran dan justru terkesan terjadi pembiaran. Semestinya dengan alat monitoring yang dimiliki KPID Bali melakukan pemantauan dan melakukan evaluasi terhadap siaran iklan pengobatan alternatif yang disiarkan lembaga penyiaran. “KPID Bali harus mengkonfirmasi ke lembaga penyiaran, apakah jasa pengobatan yang diiklankan memiliki Surat Terdaftar Penyehat Tradisional (STPT) dan Surat Izin Penyehat Tradisional (SIPT). Hanya pemegang SIPT yang berhak melakukan promosi” ujar Muliarta.

Muliarta menegaskan sangat disayangkan terhadap kembali maraknya siaran iklan pengobatan alternatif. Padahal sebelumnya dengan adanya dengan keluarnya Keputusan Gubernur Bali Nomor 532/03-B/HK/2016 tentang tim pembina dan pengawas khusus untuk pengobatan alternatif dan tradisional, siaran iklan pengobatan sempat tidak ada di lembaga penyiaran. “ini terkait komitmen dari lembaga penyiaran, KPID Bali harus memberikan sanksi dan mempertimbangkan kembali untuk memberikan rekomendasi kelayakan perpanjangan ijin lembaga penyiaran tersebut” tegas Muliarta.

Muliarta memaparkan jika dicermati Undang-Undang no. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, terutama pasal 36 ayat (5) poin a ditegaskan bahwa “isi siaran dilarang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong”. Pelanggaran terhadap pasal 36 ayat (5) seperti yang tertuang dalam padal 57 adalah berupa pidana penjara 5 tahun dan atau denda Rp.1 miliar untuk penyiaran radio. Sedangkan untuk penyiaran televisi pidana penjara selama 5 tahun dan atau denda Rp. 10 miliar.

Begitu juga aturan terkait siaran kesehatan pada lembaga penyiaran juga telah dituangkan dalam peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran. Pada pasal 11 ayat (3) disebutkan program siaran yang berisi tentang kesehatan masyarakat dilarang menampilkan penyedia jasa pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak memiliki izin dari lembaga berwenang”. “Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka lembaga penyiaran berhak menayakan izin dari jasa pelayanan kesehatan yang ingin berpromosi” jelas Muliarta.

Muliarta mengungkapkan lembaga penyiaran hanya boleh menyiarkan (program atau iklan) seputar jasa pelayanan kesehatan masyarakat (pengobatan alternatif atau pengobatan modern) yang sudah melalui proses perizinan dari lembaga yang berwenang. Langkah ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada publik. Menayakan legalitas juga merupakan langkah proteksi bagi lembaga penyiaran. Sebab jika diperhatikan dalam Pasal 46 Ayat 5 UU Penyiaran menyebutkan bahwa “siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran”. Klausul pasal ini menjelaskan bahwa lembaga penyiaran mempunyai konsekuensi hukum dalam menyiarkan iklan niaga, tak terkecuali iklan pengobatan alternatif.

Hasil pendataan Dinas kesehatan Bali di Bali terdapat sekitar 3.024 jasa pengobatan alternatif dan hanya sekitar 5 persen yang memiliki ijin. Sedangkan dari hasil uji petik pembinaan kepada 6 sarana pengobatan alternatif di Denpasar menunjukan keseluruhanya tidak memiliki izin. Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan pada 13-14 Pebruari 2014 juga menunjukkan bahwa jasa pengobatan tersebut telah menyesatkan masyarakat. Parahnya dalam obat yang diberikan kepada pasien terkadang dicampur dengan antibiotik, padahal jika salah menggunakan antibiotik dapat menjadi racun.

Muliarta menambahkan yang cukup disayangkan adalah kembali digunakanya format testimony dalam siaran pengobatan. Pada kenyataanya testimoni tersebut justru menjerumuskan pasien lainnya. Masyarakat akan terjebak untuk ikut mencoba akibat adanya testimoni. Dimana testimoni yang disampaikan diduga tidak jujur karena diberikan oleh orang yang bukan pasien atau pengguna jasa pengobatan yang dipromosikan. Hal ini tentunya bertentangan dengan pasal 4 Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Dalam pasal 4 tersebut dijelaskan bahwa “hak konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur”. Pasal 5 poin i Undang-Undang Penyiaran juga telah mengamanatkan bahwa “ penyiaran diarahkan untuk memberikan informasi yang benar, seimbang dan bertanggungjawab”.


Senin, 17 April 2017

Siaran Tanpa Naskah, Penyiar Radio Mengigau

 Balikini.net - Lembaga penyiaran radio memiliki peran strategis dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Radio dengan kegiatan penyiaran yang dilakukan merupakan bentuk kegiatan komunikasi massa yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan sebagai perekat sosial. Radio memiliki kekuatan audio untuk mempengaruhi masyarakat pendengarnya. Penyiar radio menjadi ujung tombak bagi radio untuk menyampaikan informasi, pendidikan,  dan hiburan kepada masyarakat.
Permasalahanya sering kali penyiar radio bersiaran tanpa naskah radio, entah karena merasa sudah senior, sudah mampu atau bahkan menganggap naskah siaran radio tidak penting-penting amat. Maka tidak jarang mendengar penyiaran radio saat bersiaran hanya menyampaikan judul lagu, membacakan kiriman salam atau sekedar menjadi jam becker. Bahkan tidak jarang penyiar radio menyampaikan topik pembicaraan yang sama secara berulang-ulang dalam siarannya.
Bersiaran tanpa naskah membuat seorang penyiar radio tidak jauh bedanya dengan sedang mengigau. Bagaimana seorang penyiar radio akan mempengaruhi pendengarnya jika hanya mengigau? Bagaimana seorang penyiar radio akan memberikan informasi yang bermanfaat jika bersiaran tanpa bahan siaran yang akan disampaikan kepada pendengarnya? Secara teori, radio adalah “theatre of mind” yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan mengembangkan imajinasi pendengarnya dengan kekuatan suara lewat kata-kata penyiarnya. Tentunya menjadi tanda Tanya, bagaimana seorang penyiar yang bersiaran tanpa naskah akan mampu mempengaruhi imajinasi pendengarnya jika tanpa persiapan dan tanpa naskah? Apakah siaran yang disampaikan benar dan dapat dipercaya?. Bagi seorang penyiar radio tentunya bersiaran tanpa naskah atau bahan siaran tidak ada bedanya dengan menjadi seorang petugas operator di studio. Apalagi pendengar tidak mendapatkan nilai tambah saat mendengarkan siaran sang penyiar.
Selama ini, naskah radio hanya dipandang perlu ketika penyiar radio akan membacakan sebuah berita radio. Padahal apapun format acara radio dan juga segmentasi radio tetap perlu naskah siaran. Ibaratnya dalam bersiaran “apapun yang disiarkan, itulah yang ditulis dan apapun yang ditulis, itulah yang disiarkan. Informasi sekecil apapun yang akan disiarkan tentunya harus dibuatkan naskah siaran. Naskah siaran menjadi cara sederhana agar informasi yang disampaikan tidak rancu sehingga dapat disampaikan secara singkat, aktual, dan jelas dalam pengucapan.
Seorang penyiar tentunya tidak akan mampu secara spontan menyusun alur cerita, fakta, data dan pemikiran secara terstruktur. Perlu suatu persiapan yang baik sehingga penting dituangkan dalam satu naskah siaran. Naskah radio menjadi cara sederhana bagi seorang penyiar untuk menyampaikan alur pikiran secara logis dan terstruktur. Naskah siaran akan menuntun penyiar dalam menjaga alur bertutur. Ketersediaan naskah siaran akan mempermudah penyiar dalam memahami informasi yang akan disampaikan. Namun harus juga diingat dalam mempersiapkan naskah radio sangat berbeda dengan mempersiapkan informasi di media cetak. Menulis naskah siaran radio adalah menulis untuk telingan, sehingga harus singkat, jelas, aktual dan jelas dalam pengucapan.
Naskah siaran radio akan membantu mempermudah penyiar dalam menyampaikan ide atau gagasan kepada pendengarnya. Sebuah ide atau gagasan tentu harus disampaikan secara terstruktur. Namun keterbatasan durasi dalam siaran menyebabkan penyiar tidak akan mampu menyampaikan secara detail. Dengan menyusun ide atau gagasan tersebut dalam sebuah naskah siaran maka akan dapat dibuat secara ringkas, singkat, jelas dan menggunakan kata-kata yang sederhana. Pentingnya menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti adalah agar pendengar yang tidak mampu membaca dan menulis juga mengerti apa yang disampaikan penyiar radio.
Naskah siaran radio memiliki nilai penting karena dapat dijadikan arsip atau dokumentasi siaran. Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 pasal 45 ayat (1) disebutkan “lembaga penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio, rekaman video, foto dan dokumen sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun setelah disiarkan”. Pada ayat (2) disebutkan “bahan  siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku”. Aturan terkait dokumen siaran juga termuat dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (PKPI) Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) pada Pasal 74. Dimana pada ayat (1) disebutkan “lembaga penyiaran wajib menyimpan materi rekaman program siaran secara baik dan benar paling sedikit selama satu tahun setelah disiarkan”. Pada ayat (2) disebutkan “untuk kepentingan penelitian, penilaian, dan/atau proses pengambilan keputusan sanksi administratif oleh KPI berdasarkan aduan masyarakat, lembaga penyiaran wajib menyerahkan materi rekaman program siaran yang diadukan bila diminta KPI secara resmi”. Bagi lembaga penyiaran arsip naskah siaran dapat menjadi bahan pembelaan saat terdapat tudingan pelanggaran siaran atau saat mendapat sanksi dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika tidak terdapat arsip naskah siaran ataupun rekaman siaran tentu lembaga penyiaran tidak akan mampu membela diri, apalagi memberikan tanggapan ketika terdapat sanksi dari KPI.
Naskah siaran pada dasarnya juga merupakan pagar pembatas bagi penyiar agar bersiaran sesuai rambu-rambu yang berlaku. Rambu-rambu tersebut adalah Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Dengan adanya naskah siaran maka penyiar tinggal membaca naskah siaran tanpa rasa takut akan adanya kesalahan dalam penyampaian informasi. Jika tanpa naskah siaran maka besar kemungkinan dalam pemilihan kata penyiar akan vulgar dan tanpa control menyampaikan informasi. Apalagi dalam P3 dan SPS terdapat pedoman terkait pembatasan informasi yang bernuansa porno, mengandung kekerasan, perjudian, minuman keras dan lain-lain. Apabila informasi telah disusun dalam naskah siaran, maka baik produser, editor maupun kepala pemberitaan dapat melakukan sensor internal terhadap naskah sebelum disiarkan.
            Pada sisi lain, naskah siaran radio juga upaya untuk menghindari over lapping informasi yang disampaikan antara penyiar yang satu dengan yang lainnya. over lapping informasi kemungkinanya besar sekali terjadi apabila penyiar cuap-cuap tanpa naskah siaran. Apalagi jika kemudian penyiar mengambil informasi dari sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. Belum lagi jika penyiar mengambil informasi dari satu sumber dan tidak membandingkan dengan sumber lainnya. Apabila kondisi ini terjadi maka yang menjadi korban adalah pendengar. Padahal pendengar berharap mendapatkan informasi yang benar dan akurat sesuai fakta.
            Kemungkinan permasalahan lainnya ketika penyiar bersiaran tanpa naskah adalah besar kemungkinan penyiar akan beropini. Beropini dalam artian, penyiar akan memberikan opini pribadinya terhadap suatu informasi. Padahal tugas seorang penyiar adalah menyiarkan informasi, bukan memberikan komentar atau opini pribadi. Sedikit saja penyiar menambahkan opini pribadinya maka secara langsung ataupun tidak, akan mempengaruhi persepsi pendengar. Seperti halnya seorang wartawan ketika menulis berita, sangat dilarang menambahkan opini pribadi dalam berita yang ditulisnya. Penambahan opini pribadi dapat menyebabkan penyimpangan informasi dan menimbulkan persepsi yang salah pada pendengar radio.
            Dalam prakteknya, khususnya di Bali sangat jarang penyiar radio bersiaran menggunakan naskah siaran. Beberapa alasan yang menjadi alasan diantaranya sudah biasa bersiaran tanpa naskah, hanya siaran musik hingga alasan tidak diwajibkan oleh pihak manajemen. Alasan lain yang cukup menggelitik yaitu honor rendah sehingga malas menyiapkan naskah siaran, belum lagi di studio radio tidak ada petugas penulis naskah siaran. Alasan-alasan tersebut seakan menjadi pembenar dan akhirnya pendengar tidak mendapatkan informasi apapun dari media radio.
            Beberapa penyiar ada yang mencoba melengkapi siarannya dengan tambahan informasi yang diambil dari media cetak. Sayangnya kalimat-kalimat dalam media cetak tersebut langsung di baca tanpa mengubahnya terlebih dahulu dalam bentuk format radio. Hasilnya penyiar akan ngos-ngosan membaca informasi, karena kalimat dalam media cetak cenderung panjang dan kalimat bertingkat. Informasi yang sampaikan juga menjadi sangat rinci sehingga memerlukan durasi yang panjang. Padahal karakteristik informasi radio adalah padat, singkat, jelas dan akurat. [r7/]
  
Oleh :I Nengah Muliarta
Praktisi Penyiaran Bali dan Konsultan Bali Broadcast Academia (BBA)

Jumat, 07 April 2017

Presenter TV, Jangan Sebatas Camera Face

Balikini.Net - Pemilihan presenter TV selama ini cenderung hanya mengutamakan penampilan wajah semata atau camera face. Seorang presenter TV juga wajib memiliki kemampuan jurnalistik, kemampuan membaca dan komunikasi yang baik. Harapan tersebut disampaikan Praktisi Penyiaran Bali yang juga Konsultan Bali Broadcast Academia (BBA) I Nengah Muliarta di sela-sela acara audisi presenter di Denpasar, Jumat (7/4/2017).

Menurut Muliarta, selama ini terdapat kecenderungan pemilihan presenter hanya mengutamakan camera face. Padahal presenter merupakan seorang jurnalis yang wajib memiliki kemampuan jurnalistik dan memahami kerja seorang jurnalis. Presenter juga wajib memahami nilai berita, unsur berita dan kode etik jurnalistik. “kualitasnya bisa kita lihat, tentu akan berbeda antara presenter yang latar belakang seorang jurnalis dengan hasil seleksi audisi yang hanya mengandalkan tampang” kata mantan reporter VOA tersebut.

Muliarta menyebutkan pemilihan presenter TV selama ini lebih mengutamakan camera face karena logika yang digunakan lebih pada pola pikir bahwa TV mengutamakan tampilan gambar. Harapanya adalah tayangan layar kaca lebih mengenakan ketika ditonton. Pola pikir tersebut seakan menjadi benar dan terbiasa dilakukan dalam seleksi presenter oleh lembaga penyiaran TV.

 
Permasalahanya kemudian adalah sebagian besar presenter TV hasil seleksi audisi tidak dibekali dengan pengetahuan jurnalistik. Presenter semestinya mendapatkan pembekalan penuh mengenai jurnalistik karena kerja sebagai presenter merupakan bagian dari kerja jurnalis. “ya akhirnya banyak kita temui, dimana presenter merasa buka sebagai seorang jurnalis, dan presenter lebih merasa bak seorang artis” ujar pria yang juga merupakan konseptor berdirinya BBA.

Akibat mengutamakan camera face, pemilihan presenter TV juga akhirnya menomor-duakan wawasan seorang presenter TV. Bahkan kemampuan komunikasi seorang presenter hanya menjadi syarat tambahan. Dampaknya cukup sering ditemui seorang presenter gelap-gapan ketika membaca berita. Cara membaca berita juga seperti orang membaca biasa, tanpa memperhatikan ritme dan intonasi.

Mantan Komisioner KPID Bali Periode 2014-2017 tersebut juga mengingatkan lembaga penyiaran untuk membekali para presenter dengan pengetahuan terkait Undang-Undang Penyiaran, Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Prilaku Siaran (SPS). Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS merupakan pengetahuan wajib bagi pekerja penyiaran karena menjadi pedoman bagi pekerja penyiaran dalam bekerja. “Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS merupakan sofskill yang wajib dipahami dan diketahui oleh pekerja penyiaran, ini panduan dasar dan keahlian wajib” tegasnya.

Pengetahuan terkait Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS sebenarnya dapat diberikan oleh lembaga penyiaran dengan melakukan pelatihan dan pendidikan secara periodik. Namun sayangnya selama ini sangat jarang terdapat pelatihan bagi pekerja penyiaran. Padahal jika kembali melihat proposal pengajuan ijin oleh lembaga penyiaran kepada KPI maka akan terdapat surat penyataan mematuhi Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS. Pada dasarnya implementasi dari surat penyataan tersebut adalah adanya pelatihan terkait Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS bagi pekerja penyiaran.

Pada sisi lain, Muliarta berharap KPID Bali lebih berperan aktif dalam upaya melakukan pengawasan terhadap keseriusan lembaga penyiaran dalam melakukan pelatihan Undang-Undang Penyiaran, P3 dan SPS. Apalagi dalam Undang-Undang Penyiaran pada pasal 8 ayat (3) poin f disebutkan bahwa KPI mempunyai tugas dan kewajiban menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. “KPI jangan hanya monitor siaran saja, lakukan juga pengawasan secara kelembagaan terhadap pengembangan SDM penyiaran, jangan hanya memberikan rekomendasi kelayakan tetapi tidak melakukan evaluasi” ucap Muliarta.

Kepala Biro Kompas TV Dewata Bali Bambang Callistus mengakui mulai tahun ini perekrutan presenter di Kompas TV Dewata mengutamakan wawasan, termasuk wawasan jurnalistik. Sebelum diangkat menjadi presenter maka akan ditugaskan turun kelapangan selama 6 bulan hingga satu tahun. Jika kemudian dinilai memiliki wawasan dan kemampuan pada tahun kedua akan ditetapkan sebagai presenter dan menjadi karyawan tetap. “ kita rencanakan tahun lalu sudah mulai, Cuma kita pikir perlu disosialisasikan terlebih dahulu agar diketahui secara umum” ujar Bambang Callistus.

Menurut Callistus, selain mengutamakan wawasan, seorang jurnalis dan presenter di Kompas TV Dewata juga dinilai dari segi integritas. Integritas menyangkut kepribadian seorang jurnalis yang memegang teguh etika jurnalistik. Syarat ketiga khusus bagi seorang presenter adalah camera face. Jadi Camera face buka lagi menjadi syarat utama dalam pemilihan seorang presenter.

Callistus menegaskan bahwa tantanganya kedepan adalah menjadikan profesi presenter bukan lagi sebagai profesi sampingan, tetapi menjadi sebuah jenjang karir. Seorang presenter wajib memiliki pengetahuan dan wawasan dasar tentang jurnalistik. “presenter Tv bukan lagi pekerjaan sampingan tetapi harus menjadi sebuah profesi yang memiliki jenjang karir” tegas Callistus.

Sedangkan salah satu peserta audisi presenter Putu Diah Fesvi Arina mengakui bahwa selama ini terdapat kecenderungan pemilihan presenter TV lebih mengutamakan camera face. Padahal seorang presenter dituntut bukan hanya memiliki kemampuan untuk menginformasikan suatu berita semata tetapi juga memiliki kemampuan jurnalistik dan wawasan yang luas.

Gadis berumur 21 tahun yang juga merupakan Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Udayana tersebut mengakui bahwa pendidikan yang didapatkan terkait penyiaran selama ini lebih banyak bersifat teori. Padahal yang diharapkan lebih pada adanya praktek lapangan sehingga dapat berguna saat terjun ke dunia kerja. “praktek atau kerja lapangan sangat kita harapkan, karena ketika turun kelapangan harus mampu mempraktekkan teori yang didapatkan” ujar Putu Diah Fesvi Arina. [mul/r7]

 

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved